Sketsa wajah yang tersebar di sudut-sudut kota, di kantor-kantor kepolisian dan di seluruh awak media itu adalah wajah anakku,Â
anakku yang setahun lalu pergi dari rumah dengan alasan menimba ilmu.
Oh Tuhan, apakah aku tidak salah mendengar, berita gempar seantero negeri ini bahwa anak laki-laki yang paling ku sayangi itu telah menjadi bagian dari teroris.
Orang-orang yang keji membunuh dengan mengatasnamakan agama, apakah mereka lupa bahwasanya Tuhan pun mempunyai caranya sendiriÂ
dalam memberikan hukuman dan tak ada yang lebih pantas dan lebih adil memberikan hukuman selain Tuhan.
Aku dengar anakku berlindung ke dalam hutan, berlari dari kejaran aparat sambil memupuk siasat yang tak lain membuat onar kegaduhan.Â
Mendengarnya pun aku ngeri, merinding, entah apa yang mesti ku perbuat selain berdoa dan berdzikirÂ
semoga anakku selalu dalam lindunganNya dan taubat menyesali perbuatannya.
Padahal, sedikitpun aku tak pernah mengajarinya untuk bersikap kasar kepada seseorang, apalagi membunuh terhadap orang-orang yang lemah dan tak bersalah,
namun aku mengakui pendidikan agama tak banyak yang ku ajarkan kepadanya sebab aku lebih memilih dunia, membesarkan hidupmu karena aku orang yang tiada.
Anakku, bila kau ingin benar-benar berjihad, mengapa tidak kau angkat derajat keluargamu yang miskin ini dengan segala daya upaya yang kau punya.