The Chocolate Kiss (Secangkir Cokelat Yang Berbalut Cinta)
Selamat datang di La Maison des Sorcires. Kedai teh yang sangat terkenal di Pulau le Saint-Louis. Paris. Bersama kedua bibi tercinta, di sinilah aku---Magalie Chaudron---tinggal untuk membesarkan kedai yang sangat mengesankan ini.
Akan tetapi, semua kacau ketika Phillipe Lyonnais---pastry chef terkenal di Paris---membuka toko cabangnya di dekat kedaiku. Dengan (sok) polosnya, ia tidak tahu bahwa ia telah melanggar teritori dan merebut pelanggan-pelangganku? Dan, ditambah lagi lagaknya yang sombong, meremehkan semua resep menu spesial buatanku. Aarrgh... Mungkin ini saatnya bendera perang ku kibarkan.
-000-
Setting novel ini di Paris. Negara yang identik dengan fashion, cokelat, dan romantisme. Tapi, saat membacanya, ternyata sense-nya seperti drama Korea. Di mana si cewek lebih agresif dan cowoknya lebih tenang (sok cool).
Perhitungan Magalie kepada Phillipe dimulai ketika pastry chef terkenal itu resmi membuka tokonya. Pasalnya, kedai Magalie langsung sepi oleh pembeli---yang sebelum orang menyebalkan itu datang, cukup ramai. Magalie memaki-makinya. Tapi, Phillipe justru memberinya Macaron (salah satu menu di tokonya). Keramahan Phillipe tak lantas membuat Magalie menurunkan emosinya. Ia justru merasa kalau keramahan itu menginjak-injak harga dirinya. Pertengkaran demi pertengkaran pun terjadi setiap hari. Kedua bibi Magalie juga ikut mengompor-ngompori. Phillipe, ya sebenarnya ia juga kesal. Maka, ia membalas pertengkaran itu sewajarnya saja. Sewajarnya saja dengan tidak mengeluarkan urat dan lebih memilih bersikap angkuh.
Batu bertemu batu. Ya, terus saja bergesekan. Hingga akhirnya, pada bab 18, halaman 234, Phillipe meminta Magalie untuk mengajarkan salah satu resepnya. Cewek itu merasa jika ini kemenangannya! Akhirnya chefangkuh itu tunduk padanya. Tapi, setelah memikirkannya, ia merasa justru sekarang ia sedang memosisikan dirinya di bawah Phillipe.
Di sini adegan-adegan bak sinetron banyak terjadi. Tidak sengaja berpegangan tangan, saling menatap, kemudian nervous. Lalu yang menjadi klimaksnya adalah saling mendekat, berpelukan, dan berciuman. Mungkin pepatah Jawa Trisno Jalaran Soko Kulino (cinta datang karena terbiasa) terjadi di novel ini. Magalie akhirnya luluh oleh pesona Phillipe. Kebencian yang akhirnya berubah menjadi cinta tanpa adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk berdamai. Mereka menikmatinya begitu saja. Hingga suatu waktu, bibi Genevive memergoki mereka hampir berciuman. Lantas, kedua bibi Magalie pun meminta penjelasan tentang perasaannya pada Phillipe. Dan, ok... restu di dapat.
Meskipun restu di dapat, sebenarnya masih ada keraguan di hati Magalie. Ia tidak percaya benarkah ia mencintai Phillipe? Bukankah sebelumnya ia begitu membencinya sebagai pesaing? Namun, walau pun ragu, ia mempunyai keinginan untuk mendatangi apartemen Phillipe.
Sewaktu di jalan, ia melihat banyak pasangan kekasih---yang lantas membayangkan jika salah satu diantara mereka adalah dia dan Phillipe. Oh, kamu membohongi perasaanmu sendiri, Magalie! Di balik penampilannya yang (sok) cool ternyata Phillipe adalah sosok yang berbeda. Itu terbukti dari seleranya dalam memilih desain interior apartemennya. Magalie merasa ini menyenangkan.
Sesekali, Magalie masih dihinggapi keraguan. Benarkah ia mencintai Phillipe? Tapi, akhirnya ia menjadikan Phillipe sebagai sandarannya dengan menangis di dada cowok itu di depan publik.