Mohon tunggu...
hafizh fatah
hafizh fatah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Money

Sekilas Tantangan Penerapan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

16 Januari 2014   16:36 Diperbarui: 4 April 2017   16:40 9208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389864876977079087

Mulai12 Januari 2014, pemerintah Indonesia melarang ekspor mineral mentah (ore).Hasil mineral dari pertambangan di Indonesia harus diolah dan dimurnikanterlebih dahulu sebelum kemudian di ekspor keluar. Sejalan dengan pernyataan Menteri Perokonomian Hatta Rajasa di sela-sela kunjungan kerjanya di PuslitKoka dan Universitas Jember “Mulai 12 Januari 2014, kita tidak boleh menjual gelondongan bahan mentah pertambangan.[1]Ini merupakan salah satu ketetapan yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jika kita teliti lebih lanjutketetapan ini merupakan tindak lanjut dari implementasi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ada 2 Pasal yang menjadi sorotandalam penerapan UU No. 4 Tahun 2009 ini, Pasal 103 ayat 1 dan Pasal 170. [2]

 

Pasal103 ayat 1 : Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan didalam negeri. Pasal170: Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat – lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Jika merujuk pada 2 Pasal diatas maka secara singkat Undang-Undang Nomor 4 Tahun2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengharuskan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan didalam negeri. Aturan ini dilakukan paling lambat 5 tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diterbitkan. Ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemegang kontrak karya yang telah melakukan produksi di Indonesia harus melakukan pemurnian selambat – lambatnya 5 tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan. Deadline-nya, 12januari 2014 baik pemegang IUP maupun kontrak karya yang sudah berproduksi dilarang mengeskpor mineral mentah (ore).

 

Ini merupakan suatu usaha baik dari Pemerintah Indonesia untuk melindungi hasil kekayaan bumi Indonesia dan patut kita kawal bersama. Ditambah lagi kekayaan SDA Indonesia yang begitu melimpah merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga,dimanfaatkan sebaik – baiknya dan sebijak – bijaknya. Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.Sebagai indikasi berlimpahnya SDA Indonesia dalam hal mineral dan batubara, dapat dilihat pada tabel 1 tentang kegiatan ekspor batu bara dari Indonesia tahun 2014 – 2012. Bisakita lihat tren produksi dan ekspor batu bara yang semakin meningkat tiap tahunnya. [caption id="attachment_306383" align="aligncenter" width="809" caption="Tabel 1. Pasokan batu bara 2004-2012 (dalam skala ton) "][/caption] Peningkatan ini akan berdampak signifikan dan memberi dampak yang besar bagi kesejahteraanrakyat Indonesia berupa peningkatan devisa Negara, jika pada akhirnya dipergunakan dengan sebaik – baiknya untuk kesejahteran rakyat Indonesia. Namun ekspor barang tambang mentah merupakan sesuatu yang merugikan Indonesia, barang tambang mentah yang masih bercampur dengan pengotor, lumpur dan dikenai pajak jauh lebih rendah jika diekspor keluar dibanding dengan barang tambang jadi. Logika sederhananya sama dengan mengekspor “tanah” dengan “emas”. Tantangan pertama adalah ketika barang tambang mentah dimurnikan dan diekspor untuk meningkatkan nilai tambah, maka perlu dipastikan tidak terjadi kecurangan dari pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi dalam mengolah dan memurnikan barang tambang mentah hasil produksinya dengan kadar kemurnian yang sangat rendah hanya untuk lolos dari UUNo 4 Tahun 2009 dan menghindari pajak ekspor yang besar. Sehingga tujuan peningkatan nilai tambah yang diperlukan untuk mengoptimalkan konservasi sumber daya dan batubara, memenuhi kebutuhan bahan baku industri domestik serta memberikan dampak positif bagi perekonomian yang menghasilkan efek berantai signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik yang pada akhirnya memicu pengembangan sektor hilir (industri)[3]pada akhirnya tidak dapat berjalan maksimal.

 

Sudah seharusnya pemerintah lebih cermat dalam mengantisipasi celah – celah yang dapat dimanfaatkan oleh“oknum-oknum” pemain barang tambang Indonesia. Sudah seharusnya pula kata “pemurnian”disini harus dipertegas dengan tingkat kadar pemurnian yang jelas dan standar yang baik untuk selanjutnya diatur dalam Undang – Undang atau ketetapan pemerintah. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rahkmanto mengatakan bahwa penerapan pengolahan dan pemurnian bahan tambang di Indonesia masih fokus untuk "lolos" ekspor. Padahal, pemurniannya juga pasti tidak akan mencapai 100 persen sehingga nilai tambahnya tidak terlalu besar.Seandainya pemerintah mendorong bahan mentah yang sudah diolah itu digunakan untuk kepentingan industri dalam negeri, dampak pengganda ekonominya akan lebih besar.[4]

 

Tantangan kedua adalah kesiapan pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi dalam membangun fasilitas smelter. Smelter adalah sebuah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi untuk meningkatkan kemurnian kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Bahan tambang yang didapat dari perut bumi masih tercampur dengan pengotor, mineral – mineral lain, atau unsur –unsur tanah lain yang tidak diperlukan. Oleh karena itu bahan tambang yang telah didapat kemudian dibersihkan dan dimurnikan pada smelter. Pembangunan smelter membutuhkan biaya yang tidak sedikit, diperkirakan mencapai US$ 1,2-2miliar untuk membangun sebuah smelter. Maka akan menjadi masalah dan efek "bola salju" jika pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi enggan membangun smelter atau mereka ingin, namun tidak mampu dan terpaksa gulung tikar, maka otomatis akan berdampak juga pada kestabilan perekonomian Indonesia. Pemerintah harus siaga dalam mencari solusi ini jangan sampai pada akhirnya pemerintah melunak dan melanggar atau membatalkan ketetapan dari undang – undang No. 4 Tahun 2009 ini. Kemudian untuk operasional diperlukan tenaga – tenaga ahli yang terdidik dan terampil dalam pengoperasian smelter. Ini merupakan suatu kesempatan emas bagi anak bangsa untuk “unjukgigi” bahwa anak bangsa tidak kalah dengan bangsa lain dalam hal kemajuan dan penguasaan IPTEK, namun juga bisa jadi mimpi buruk jika pada akhirnya SDM Indonesia pun belum memadai. Sehingga lagi – lagi “orang asing” kembali mengambil kesempatan – kesempatan emas yang sudah seharusnya dapat digunakan dengan baik oleh anak bangsa.

 

Tantangan ketiga adalah kemampuan Pemerintah dalam menindak tegas “oknum – oknum” yang melanggar ketetapan Undang – Undang ini. Bukan rahasia lagi bahwa mayoritas pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi adalah orang – orang dengan ekonomi atas, dengan jabatan yang tidak sembarangan. Mengingat untuk mendapatkan IUP/IUPK Operasi Produksi tidaklah murah, serta sektor pertambangan adalah sektor yang menjanjikan dalam hal keuntungan. Pemerintah diharap tidak lengah dalam mendirikan hukum dan memastikan bahwa Undang – Undang apapun yang telah disahkan dapat berjalan dengan baik tanpa pelanggaran. Merupakan suatu keharusan memastikan semboyan  “Indonesia adalah Negara hukum” bukan sebatas kata – kata retoris indah tanpa bukti nyata. Jangan sampai penegakkan hukum di Indonesia seperti piasu yang tumpul keatas namun tajam kebawah. Tantangan terakhir adalah pemerintah harus lebih aktif mengakomodasi kepentingan dan aspirasi rakyat Indonesia dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dengan nasib bangsa dan rakyat Indonesia. Karena pemerintah dipilih dari, rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah harus banyak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang – undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun