Ditambah lagi sebagian besar dusun dibangun di atas dataran aluvial dan kipas aluvial.
Pemberitaan Leidsch Dagblad berlanjut pada halamannya yang terbit pada 22 Juli 1909. Surat kabar ini menyampaikan informasi lanjutan tentang kondisi terkini Kerinci pasca dilanda gempa:
"........Dari Sanggaran Agung, masih ada beberapa informasi tentang fenomena  'vulkanis' terbaru  yang menyebabkan begitu banyak penderitaan. Selama berhari-hari, gempa bumi berlangsung secara berselang, meskipun tidak sekeras gempa yang pertama,  selama satu atau lima menit sehingga tidak memungkinan untuk tetap berdiri.  Di  Rawang dengan 27 Dusunnya, hanya beberapa rumah yang masih berdiri, demikian juga di Semurup dengan 31 dusunnya, Kemantan mengalami hancur total di 5 dusun. Sementara itu di Kota Petai, Tanjung Tanah, Penawar dan Tanah Kampung sepenuhnya 'terbaring'/rata di tanah . Di Tanjung Pauh sekitar 50 rumah terbakar akibat lampu yang terjatuh (karena gempa terjadi di malam hari); Dusun Lolo hancur total, sekitar 150 korban tewas dan 95 luka ditemukan. Total rumah  dan lumbung yang rusak diperkirakan sekitar 2000 dan total kerugian sekitar 3 ton (padi?). Guncangan alam dan tanah ambles dapat diamati pada banyak tempat di dataran"
Akhirnya dari sejarah gempa dahsyat yang melanda Kerinci di tahun 1909 M ini yang kemudian terulang pada tahun 1995 M, semoga dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk kita dan masyarakat di kawasan Kerinci, karena kita "tinggal" Â di atas jalur sesar yang rawan gempa.
Dan ini mengharuskan kita untuk selalu waspada menghadapi prakiraan bencana yang mungkin saja akan terjadi lagi. Â
Kita tidak dapat memprediksi waktu atau kapan terjadinya, kita hanya bisa mempersiapkan diri untuk menghadapinya agar dampak yang ditimbulkan bisa diminimalisir sebanyak mungkin.