Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Jauh Jangkau Langit di Ujung Mandau

13 Januari 2017   15:18 Diperbarui: 13 Januari 2017   15:35 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pada pagi menjelang siang ia melayang-layang sambil memandang hijau pepohonan di bawah sana jelas kalah dari setitik Taman Langit.

Begitulah ia selalu mengimani Langit tempat segala aduhai tersedia bebas diperuntukkan bagi orang suci saja bukan kaum pelahap babi. Ia mengimani Langit tempat paling mulia di ujung jalan juang para martir menjadi perintis bagi para musafir bukan kaum penista Langit. Ia mengimani Langit tempat pemberian banyak bidadari sebagai hadiah bagi para martir berhasil memelintir kalangan pandir penyembah batu kayu. Ia mengimani Langit mengukir janji abadi bukan di atas air mengalir di padang pasir. Ia telah menyampaikan isi seluruh imannya di mimbar-mimbar.

Pada pagi menjelang siang ia turun dari langit sudah bersiap para penyambut dengan mahkota bulu enggang. Upacara ngayau telah dipersiapkan sebagai pentahbisan paling murni bagi seorang paling suci sedunia akan segera martir melampaui kecepatan cahaya menuju Langit dalam liukan lidah di mimbar-mimbar.

Ia berhenti di puncak tangga sekilas memandang para penyambut seperti kaum penghuni langit lain dalam bulatan kepalanya. Bola matanya berjarak lebih dekat tanah daripada Langit. Jarak sejengkal adalah sebilah mandau daripada berkilometer karpet merah terbentang di depan mimbar. Berat melangkah tidaklah seringan meludah di tepi risalah darah para martir.

Gemetar sayap-sayap. Gemetar baling-baling. Gemetar roda-roda. Gemetar badan besi. Gemetar ia berbalik masuk hendak kembali ke betis langit mulus.

Memang jauhlah jangkau ke Langit. Sepetak jalan bumi urung dijelajahi. Sebab iman terpatri dalam kepala belum ikhlas secepat kilat lepas landas meninggalkan senyum bidadari aduhai di kursi besi yang ia duduki tadi tanpa hamparan padang pasir aliran air ukiran Langit penuh janji abadi penuh bidadari jadi hadiah bagi para martir. Memang jauhlah Langit tempat paling mulia di hadapan mahkota bulu enggang berhunuskan mandau dan cerca cekikik layar kaca berserat optik.

*******

Panggung Renung, 12 Januari 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun