Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rahasia Tingginya Minat Baca Anak Italia dan Australia

23 Maret 2017   21:49 Diperbarui: 24 Maret 2017   10:00 2321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rak buku yang rapi kadang memberi semangat untuk membaca FOTO: pixabay.com

Salah satu tantangan di era digital adalah menumbuhkan minat baca. Membaca memang mesti menjadi budaya bagi setiap orang dan setiap bangsa. Bangsa yang tidak mempunyai budaya baca adalah bangsa terbelakang. Lihat budaya tua di dunia, hampir semuanya dikembangkan dalam kultur budaya baca yang tinggi. Tengok India, Mesir, Yunani, Italia, Prancis, Jerman, dan sebagainya.

Sebuah budaya—seperti apa pun bentuknya—akan bertahan lama jika diformat dalam bentuk tulisan. Kitab tua dari India seperti Mahabrata dan Ramayana sampai ke Indonesia karena sudah diformat dalam bentuk buku. Buku ini bertahan lama dan sampai berabad-abad. Penemuan Kitab Suci dalam dunia Kristen pun tidak lepas dari peranan budaya tulis menulis. Saat ini, kita mengenal kertas yang membentuk buku. Di situ tertera jenis tulisan. Bentuk ini—dulunya—hanyalah berupa perkamen (kulit binatang) tua.

Kulit itulah yang menyimpan banyak kisah dan cerita zaman dulu. Saat ini, kita pun bisa memahaminya karena jasa kulit itu. Saat perkembangan ilmu pengetahuan makin maju, kita pun mengubah kulit binatang itu dalam bentuk yang lebih modern. Tulisan tua itu pun kita pindahkan dalam bentuk kertas. Kertas dengan demikian menjadi sarana yang baik untuk mengenal dan memahami dunia zaman kuno.

Kertas itu pun saat ini sedang diubah lagi dalam bentuk yang lebih modern lagi. Kertas rencananya akan dihilangkan karena memboroskan pohon sebagai bahan dasarnya. Jika kayu banyak digunakan untuk produksi kertas, keberadaan satwa di hutan pun akan rusak. Dan, di sinilah lahir masalah lingkunan hidup. Untuk mengatasinya, lahirlah penemuan baru di mana kita bisa membaca hanya dengan monitor elektronik (komputer, tablet, iPad, hp, e-reader, dan sebagainya)

Kita pun kiranya paham, ini semua hanyalah sarana. Sarana mestinya tetap jadi sarana. Dari pekarmen menjadi kertas dan dari kertas menjadi perangkat elektronik hanyalah sarana yang kita temukan. Di balik sarana, tersimpan budaya yang berharga. Budaya itu adalah seni dan keahlian membaca. Tanpa budaya ini, perkembangan sarana tadi tidak akan kita capai.

Membaca itu mengasyikkan, FOTO: pixabay.com
Membaca itu mengasyikkan, FOTO: pixabay.com
Persis saat perkembangan dunia digital makin maju, kita makin pusing memecahkan masalah yang muncul. Kita pun boleh berspekulasi, kita sebenarnya belum siap menerima model hidup kita yang baru. Kita gagap dengan teknologi. Lebih parah lagi, kita seolah-olah dipaksa untuk melompat melewati dua tangga sekaligus. Mereka yang terbiasa dengan dunia baca di atas kertas akan melompat ke dunia baca dalam bentuk digital. 

Lompatan ini akan berbahaya dan akan ada peluang untuk jatuh bagi mereka yang tidak berbudaya baca sama sekali. Jadinya, mereka—meski tidak melewati budaya baca buku yang kuat—akan melompat ke dunia digital.

Budaya lompatan seperti ini ada di beberapa negara. Baru-baru ini, badan Unesco dari PBB merilis laporan tingkat kemampuan membaca dari banyak negara di dunia. Dari laporan itu, tampak bahwa beberapa negara masih di bawah jangkauan normal. Masih banyak warga negara yang tidak bisa dan belum bisa membaca. Indonesia dengan penduduknya yang banyak adalah salah satunya. Kita pun bisa paham sebab budaya kita masih melekat dengan kebiasaan berbicara (oral) ketimbang budaya menulis. Kita boleh bangga bisa mengenal isi cerita Mahabrata dari India tetapi sebetulnya kita mesti menyesal. Mengapa kita di Indonesia tidak punya budaya yang kuat dari zaman nenek moyang kita?

Ini menjadi tantangan bagi warga Indonesia untuk giat meneliti teks kuno yang masih tersebar di Indonesia. Teks itu mestinya diteliti. Dan, di sinilah kita perlu meningkatkan terlebih dahulu kemampuan membaca kita. Tanpa kemampuan ini, kita hanya menjadi penonton dari hiruk-pikuknya para geolog dan peneliti zaman kuno dari berbagai negara maju.

Kita kiranya boleh belajar dari Italia dan Australia. Italia tidak diragukan lagi sebagai negara berbudaya baca tinggi. Lihatlah para seniman, penulis, budayawan, sastrawan, arsitek, musisi, dan sebagainya yang dihasilkan oleh Italia. Demikian juga kemampuan beberapa universitas di Australia yang menjadi penghasil para peneliti dan akademikus di berbagai negara di Asia. Kiranya banyak mahasiswa Indonesia menimba ilmu di negeri Kanguru ini.

Membaca dengan perangkat digital, FOTO: pixabay.com
Membaca dengan perangkat digital, FOTO: pixabay.com
Minat baca orang Italia rupanya ditumbuhkan sejak kecil. Ibarat sebuah pohon, minat baca ini rupanya dipelihara sejak dini. Anak-anak Italia dibiasakan untuk membaca sejak di sekolah dasar. Tak heran jika novel-novel berbobot dan buku-buku sejarah Italia diformulasi dengan berbagai ragam bahasa agar bisa dibaca oleh para pelajar dari SD sampai universitas. Dan, untuk mencapai target ini, sekolah-sekolah di Italia tidak main-main. Mereka bahkan menerapkan kewajiban membaca pada para pelajar termasuk saat liburan panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun