Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nurhadi-Aldo Bukan Lambang Perlawanan, itu Hanya Lelucon

14 Januari 2019   01:00 Diperbarui: 14 Januari 2019   01:33 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa mereka merasa perlu menyusun strategi pemasaran? Jika ini kerja relawan, seperti yang disebutkan, tentu target yang dipasang sangat realistis, yakni hanya untuk mengajak yang senasib dan seperasaan saja, bukan untuk menggalang massa. Jadi, mengapa perlu susah-susah merumuskan strategi marketing?

Tiba-tiba insting subyektif saya semakin menduga bahwa ada udang di balik batu. Jangan-jangan, memang ini adalah salah satu agenda untuk menambah suara swing voters saja. Entah dari siapa, oleh siapa, dan kubu mana. Sehingga, pemilih yang awalnya sudah menentukan pilihan akhirnya menjadi bingung lagi. Atau setidaknya, anda dibuat santai dulu biar asik seperti mottonya, Maha Asyik. Alhasil konten yang vulgar dan seksis itu dikemas menjadi receh. Saya hanya berharap jangan sampai kita berdiam dengan perspektif mereka bahwa pertarungan politik hanya butuh suara laki-laki untuk menang, bukan suara perempuan. Itu kritik pertama saya atas Koalisi Tronjal-Tronjol.

 

HANYA LELUCON BUKAN HEROIK

Hal yang mengusik saya berikutnya adalah anggapan dari Puthut EA di Mojok.co dengan judul "Siapa yang Diuntungkan dan Dirugikan oleh Kemunculan Pasangan Nurhadi-Aldo?". Menurut Puthut, gerakan Nurhadi-Aldo dan koalisinya ini adalah ekspresi kekecewaan akan pasangan yang tersedia. Memang, grafik popularitas pasangan ini melesat lebih cepat ketimbang dua paslon yang ada. BBC Indonesia menyebut dalam dua minggu saja, akun Nurhadi-Aldo di Facebook telah memiliki lebih dari 81.000 pengikut, 18.600 di Twitter, dan 73.000 di Instagram.

Kehadiran pasangan ini menurut Puthut jelas kontraproduktif bagi dua pasangan calon yang ada. Dengan kata lain, pasangan fiktif ini adalah representasi dari kekecewaan masyarakat, sehingga dapat disebut ini adalah golongan yang sejak awal sudah tidak percaya pada politik. Mereka adalah orang yang tidak lagi percaya pada produk elektoral.

Saya menolak menyebut mereka yang tidak menyoblos sebagai orang yang golput atau golongan putih. Sebab, definisi golongan putih punya sejarah historis yang sangat heroik, tidak sama dengan Nurhadi-Aldo. Golongan putih adalah bentuk gerakan coblos di sisi lain kertas suara sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Orde Baru, yang mana saat itu pegawai negeri sipil dan masyarakat umumnya dalam beberapa komunitas, wajib memilih Golongan Karya atau Golkar.

Saya jadi ingin menegaskan pentingnya menjernihkan definisi golput, agar generasi muda penggiat Nurhadi-Aldo paham sejarah dan tidak menyamakan konteks sosial golput dengan semata tidak memilih. Atau kritik dan menjadi golput dengan memunculkan Nurhadi-Aldo.

Lagipula, dalam konstelasi Pilpres 2019 ini masih tersedia dua calon, dan anda bebas memilih siapapun. Termasuk coblos Nurhadi di belakang kertas, sesuai instruksi video yang diunggah di akun Instagram Koalisi Tronjal-Tronjol, betul? Saya rasa tidak ada paksaan dari rezim Jokowi yang sudah mengecewakan banyak orang untuk percaya memilih dia dua kali. Apalagi memilih Prabowo yang banyak rekam jejak kejahatan kemanusiaan, plus, belum ada pengalaman memimpin negara.

Berkat sejumlah argumentasi sejenis yang dilontarkan oleh Puthut EA, awak media yang suka mencari berita dengan mengandalkan pesan kunci, key messages, alias apa yang nge'lead' berbondong-bondong membuat pemberitaan dengan angle tersebut. Nurhadi-Aldo adalah fenomena golput. Saya sempat terseret logika berpikir itu, hingga saya berpikir dua kali. Apa iya demikian? 

Apa tidak tersedia posibilitas lain dari fenomena ini selain representasi angka golput? Namun, memang begitu media bekerja, sedemikian rupa framming dibentuk seolah mengafirmasi bahwa apa yang dilakukan kawanan Koalisi Tronjal-Tronjol adalah bentuk perlawanan. Ini adalah bentuk golongan yang menolak memilih. Padahal, bagi saya, ini lebih mirip lelucon politik di tengah tensi yang tinggi. Sungguh sangat menghibur, tetapi saya ragu menyebutnya perlawanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun