Mohon tunggu...
Geyonk
Geyonk Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga 62

Photomood, Saya dan kopi hitam .:: IG::.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Dunia Fotografi, antara Cinta dan Ego

25 Februari 2017   02:03 Diperbarui: 25 Februari 2017   22:01 1831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cinta apa ego (dokumentasi pribadi)

Saya membaca postingan bersambung tentang pemahaman fotografi dasar di K beberapa hari yang lalu, karena ada yang bertanya apa maksud tulisan tersebut. Setelah membaca, dan membaca lagi pelan-pelan, karena tulisannya penuh hitungan matematika, sekian pangkat sekian, sehingga hasilnya bilangan jutaan hingga milyar, bikin otak yang agak bebal matematika ini pusing, ditambah pemahaman yang dicampur aduk, jadi yah wajar bila ada yang bertanya, apa maksudnya. Tulisannya juga mengandung kegusaran, kegusaran akan para fotografer atau orang yang mengaku-aku fotografer yang dianggapnya 'kurang tahu' sudah berani menjual sesuatu.

Seharusnya hal seperti itu tidak usah diungkapkan, sikapi dengan santai saja. Sama halnya seperti saya yang setiap hari pemakai setia motor, kemanapun ya pake motor, jauh dekat, panas ataupun hujan. Akan tetapi saya bukan tukang ojek(profesional), dan saya yakin kemampuan saya mengendarai motor tidak kalah dengan para profesional baik yang mangkal di pengkolan ataupun yang online.  Saya yakin penulis tulisan itupun sama, mungkin kemana-mana mengendarai mobil dan lebih canggih caranya mengemudi dari para profesional (dalam hal ini driver entah pribadi, angkot maupun taksi). Terus kenapa harus gusar? Saya rasa selama orang-orang yang ditunjuk-tunjuk oleh penulis itu tidak melakukan penipuan atau pelanggaran hukum sebaiknya biarkan saja, toh bila dianggap tidak mumpuni nanti akan ada 'seleksi alam'.

 Saya sendiri juga termasuk orang-orang yang mengaku-aku doang, bukan seorang pro. Fauxtography, faux dari kata Perancis yang artinya palsu, tography saya ambil dari photography. Jadi jelas saya ini fotografer KW alias abal-abal.

Terus mengenai pertanyaan, "Buat apa beli kamera yang mahal jikalau tidak paham?" 

Bagi saya membeli sebuah kamera tidak ada hubungannya dengan kemampuan/pengetahuan/pemahaman. Beli ya beli aja selama ada uang, dan uang itu bukan hasil kejahatan. Ada cerita untuk itu.

Ketika kita baru melangkah memasuki dunia fotografi dan memutuskan untuk mencari seorang 'guru', perhatikan jawabannya, saat kita bertanya kamera apa yang cocok buat saya mulai belajar? Jika jawabannya: 

"Buat apa beli mahal-mahal, kamera 1000/1100/1200/1300D, kamera D3000/3100/3200/3300 (semua kamera entry level lainnya) udah cukup buat kamu belajar, tidak usah ikut orang lain dengan kamera life style yg mahal........"

 Segera tinggalkan orang itu, dan carilah seorang yang lain untuk kita bisa jadikan tempat "meguru"

 Jika jawabannya: 

"Belilah kamera semahal-mahalnya yang bisa kamu beli." 

Maka orang ini, bisa kita jadikan tempat berlatih.

Kenapa harus tinggalkan orang dengan jawaban pertama, dan beralih pada orang yang menjawab dengan jawaban kedua, walaupun mungkin orang pertama itu sangat piawai dibanding orang dengan jawaban kedua dalam hal fotografi? Simpel, karena orang dengan jawaban yang pertama itu sangat-sangat merendahkan kita, merendahkan kemampuan kita untuk belajar dan berkembang, merendahkan kemampuan kita dalam fotografi kelak. Mungkin juga takut tersaingi di kemudian hari, maka saran yang keluar seperti itu. 

Bagi saya cinta itu memberi tulus dan Ego itu menuntut ; saat kita begitu mencintai dunia ini dengan tulus(dan berhasil memahaminya), maka seharusnya kita akan fokus memberikan pemahaman yang baik untuk orang lain, hanya bisa bercerita, tidak akan pernah memberikan instruksi pada siapapun, harus begini, harus begitu. Bagi yang benar-benar mencintai dunia ini harusnya mendorong orang lain yang juga cinta atau baru mulai jatuh cinta pada jalannya sendiri, bukan menunjuk "gini lho, ini lho, kamu harus begini, biar jadi begini".

Itulah cara terbaik yang harus dipilih bagi siapapun untuk menularkan cinta pada dunia rekam beku ini, sama seperti ide Ki Hajar Dewantara puluhan tahun yang lalu, yang akhirnya diadaptasi untuk semangat sistem pendidikan kita. Mendorong, bukan menunjuk. Tut Wuri Handayani, bukan Ing Ngarso Sung Tulodho. 

Jika sang penulis mempunyai harapan orang lain bisa paham tetapi dengan cara seperti itu hanya akan melahirkan, leader dan follower, ikuti aku, ini lho yang bener, kayak ini yang tepat(yang lain salah). Hanya ego semata, bukan cinta. Jika berhasilpun hanya akan menghasilkan camera operator yang hanya paham, teknis-teknis, dan teknis, bukan visual storyteller.

Membicarakan teknis juga harus hati-hati, ini sangat erat hubungannya dengan pemahaman banyak orang kelak. Bayangkan bila kita salah memberikan teori kepada dua orang misalnya, kemudian dua orang itu mengajarkan kepada temannya, masing-masing sepuluh orang, dan dari kesepuluh ini ada dua orang yang membuat vlog tentang teori yang salah, dan vlognya di lihat oleh seratus orang. Seratus orang ini akan memahami teori yang salah, dan akan membawanya kemana-mana. Seperti inilah asal muasal hoax.

contoh pada tulisan ini, Sebagai perbandingan, saya mengunakan layar iPad pro keluaran dari Apple. Ukurannya terbesarnya pada layar iPad pro adalah 2732 pixel × 2048 pixel = 5.595.136 pixel Bila kita ambil contoh dari camera berpixel banyak (Sony a99m2) dan di tampilkan pada layar iPad Pro, maka sebanyak 42 Juta pixel tidak akan muat pada layar yang hanya mampu menampilan 5,5 jutaan pixel. Kenapa bisa begini ? 
Dan, ini. Bila camera mampu memproses warna dengan 16 BIT pada 3 jalur (Channel) RGB, maka camera itu harus mampu mengolah ( 2 pangkat 16 ) kali 3 jalur = 65.536 x 65.536 x 65.536 = 281.474.976.710.656 (281 triliun) level Bayangkan saja camera yang mampu memproses gambar 16 BIT, kemudian disimpan kedalam format Raw 14 Bit. Maka ada informasi yang dihilangkan. Demikian juga bila disimpan dalam format Jpg 8 BIT, maka lebih banyak lagi informasi warna yang dibuang.

Ini teori yang campur aduk, antara bit depth, screen resolution, image resolution, pixel, pixel dimension, tonal range dicampur dengan color mode, color space, color profile, color range, color management. Perhatikan kalimat tidak akan muat/ada informasi yang dibuang, seperti tidak memahami tone dan color mapping. Berhubung bahasanya teknis banget ya jadi tersamar salahnya. Jika dianalogikan secara sederhana dalam makanan, antara sate ayam, karedok, ketoprak, pecel, lotek, gado-gado, tahu gimbal, tepo Madiun/Magetan, dan siomay. Mentang-mentang semua bumbu kacang terus dicampur aduk.

Mohon maaf sebelumnya jika saya agak kenceng, saya hanya memegang teguh kata-kata mentor dulu, "praktek boleh salah,  tetapi teori tidak boleh salah!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun