mendung di langitku mengundang cemas. bersama udara, awan berkumpul dan membawa titik-titik air. dedaunan kering berpamitan pada dahan. burung diudara terbang rendah dan tampak saling ricuh. ini tanda kehadirannya: angin terasa lembab, rumput hijau segar tebarkan aromatherapy, masuk pelan kedalam rongga pernafasan.
dulu,
di bawah lagit itu
aku menantikan saat rinai mulai berbisik
haru dan rindu menuntunku
menikmati hadirnya
tumpah di pekarangan,
menggenang tenang,
basahi tanah kering di permukaan
begitulah rindu
yang kusisipkan pada akar tanaman
dulu,
saat hujan menerpa tubuhku
aku rindukan romansa negeri di awan
yang menghanyutkanku
dalam imaji yang penuh angan
dan lagi,
setiap percikannya
mengatasnamakan kesejukan
kurasakan setiap godaan
yang masuk melalui pori-pori kulitku
perlahan dia luruhkan
jejak terik di bumiku
tersebutlah mereka, sisa-sisa pemuas nafsu badan. mencuri nafas di antara aliran air hujan. yang lain, dibekap hingga ujung resapan. begitupun waktu, memberi banyak hujatan.
kerinduan berganti menjadi ketakutan. saat genangan tumpah, penyesalan hanyalah sebuah cibiran. pilu di permukaan tak lagi dapat tertahan. tak lagi merindu pada akar tanaman.
tak lagi kunikmati hadirmu dengan kerinduan. percikanmu adalah kepiluan.Â
ketamakan yang tidak dipertangungjawabkan.
hujan datang menyanjung bumi, datang bertamu untuk sekadar silaturahmi. haruskah kita sambut dengan senang hati ?
06/05/19