Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan featured

Mahalnya "Urnenbeisetzung", Pemakaman Abu di Jerman

23 September 2017   14:40 Diperbarui: 3 Maret 2021   12:17 2967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abu dalam tabung termos (dok.Gana)

 "Onkel Willy ist gestorben."

Tulis suami saya dalam whatsapp. Pesan itu baru saya terima begitu keluar dari Perancis. HP tidak ada fasilitas berlangganan telepon dan internet EU. Lalu, saya tersenyum. Om istirahat dengan tenang di usia yang termasuk sudah cukup.

Om Willy adalah ipar mertua lelaki. Umurnya sudah 92 tahun. Beberapa minggu sebelum kami berangkat ke Indonesia, kami sudah ada niatan untuk menjenguknya. Kami takut kalau-kalau ketika kami berada di tanah air, om meninggal. Waktu itu, kebetulan, ia baru saja mencapai umur tersebut. Kami merayakannya dengan Kaffe trinken. Minum kue keju yang saya bikin dan minum kopi atau teh sore-sore.

Teringat apa katanya sebelum kami pamit pulang:

"Ich kann nicht mehr ... alle tun mir weh." Sepertinya sudah ada firasat. Ia putus asa hidup dengan bergantung pada selang dan tabung.

Dibandingkan dengan ipar perempuan mertua lelaki yang di Dsseldorf, 95 tahun, kondisi fisik om Willy kurang fit. Otaknya memang masih ingat banyak hal tetapi ke mana-mana harus bawa selang oksigen. Nafasnya terengah-engah. Ia selalu mengeluh bahwa kakinya sakit.


Jadi ketika kami  baru pulang dari Indonesia, om dikirim ke rumah sakit karena ada keluhan hebat dan si anak yang masih bujang dan tinggal bersamanya, tidak bisa mengatasi.

Menurut anaknya, di RS itu, om sudah minta dipan yang ada penghalangnya biar tidak jatuh tetapi ditolak oleh suster karena kalau malam-malam mau ke kamar mandi nggak bisa sendiri.

Sampai suatu malam, om benar terjatuh dari tempat tidur, tangannya patah dan langsung meninggal dunia. Innalillahi ....

Meninggal di Jerman? Siapa yang Melayat Dalam Beerdigung?

Beberapa hari setelah meninggal, kami melayat. Rumah krematorium di dekat Makam Umum Tuttlingen itu tampak lengang. Kami diajak keponakan untuk melihat om dalam ruangan seperti aquarium. Di kamar ber AC itu mayat om dibalut hem putih dan selimut. Kain hitam menghiasi kotak. Kami pandangi wajahnya. Ia seperti tertidur. Tidur yang teramat panjang. Telinga kami mendengar sesenggukan si anak. Sedih.

Tak berapa lama, kami menuju ruangan krematorium di balik ruang tersebut. Di sana masih sepi. Belum ada yang datang.

Menit demi menit menuju pukul 11.00, satu demi satu pelayat berdatangan. Lengkap. Kira-kira ada 15 orang termasuk keponakan, suami dan saya. Nggak banyak memang, barangkali saja, teman-teman seusianya sudah mendahuluinya. Kata keponakan, beberapa tetangga juga seusia bapaknya, tapi memiliki kondisi kesehatan terganggu seperti stroke, kanker, terbaring di RS dan sejenisnya. Tidak bisa melayat.

Anak? Keponakan cerita kalau ia sudah menghubungi saudara perempuannya. Meski sudah lama kabur dari rumah dan sudah berkeluarga, sudah lama sekali saudaranya itu tidak ada kontak. Putus. Apakah nanti ia datang saat pembagian harta saja?

Bagaimana dengan saudara? Kalau di Indonesia lumrahnya meski tidak saudara sekandung tapi masih ada hubungan saudara, tetap berusaha datang.  Bahkan tetangga kanan-kiri biasanya berbondong-bondong mengikuti informasi dari terompet keliling, medsos atau dari mulut ke mulut. Tidak demikian di saat om meninggal. Jerman memang punya kebiasaan sendiri.

Seorang pastor berbaju putih keluar dari sebuah pintu. Ia mulai membuka acara. Hari itu hari penghormatan kepada almarhum. Dibacanya kisah hidup om. Om adalah tukang pos yang juga menjadi anggota Gesangverein, kelompok paduan suara kota. Makanya, beberapa dari yang hadir adalah anggota koor.

Pastor dan hadirin memberi penghormatan kepada om yang masih dalam peti. Doa dan cipratan air suci dilakukan bergantian. Lalu, semua bubar.

Urnenbeisitzung (dok.Gana)
Urnenbeisitzung (dok.Gana)
Bea 30 Jutaan Untuk Pembakaran Mayat

Sejam acara berakhir. Pukul 12.00, waktunya makan siang. Keponakan bilang, tidak ada acara makan-makan pasca Beerdigung, sepertihalnya yang dilakukan beberapa keluarga almarhum/ah di Jerman. Ia menawarkan kami berdua untuk Kaffe trinken saja. Minum kopi dan kue di sebuah kedai. Beate, salah satu keponakan yang lain, ikut serta. Ia mewakili ibunya (ipar jauh almarhum) yang sedang dalam perjalanan ke luar negeri.

Dia pilih Cafe Martin. Cafe tua yang sudah sejak jamannya kakek suami saya masih hidup. Tempatnya memang tua tapi terkenal dengan kuenya yang lezat. Untuk porsinya, lebih kecil dari ukuran kue di cafe Wasser Schloss di Glatt, Sulz. Itu kota di mana saudara perempuan almarhum hidup sampai akhirnya meninggal.

Di dalam cafe, keponakan cerita soal bea pemakaman. Untuk pembakaran mayat bapaknya saja, ia menyebut angka 2000 euroan (30 jutaan).

Itu sudah termasuk penyimpanan mayat dari meninggal sampai nanti dibakar, peti mati, tempayan abu, pemakaian baju, bunga, informasi kematian di koran kota (supaya pada tahu), pemain orgel, sewa hall dan lain-lain.

Sedangkan pemakaman (abu) sendiri mencapai nominal 3000 euro an (45 jutaan). Itu meliputi bea pemakaman abu, sewa makam 15 tahun dan peminjaman ruangan untuk penghormatan terakhir abu.

Amplop berisi kartu duka cita dan uang, diterimanya dari saudara, teman almarhum dan tetangga. Besarannya minimal 50 euro sampai ratusan euro tapi tetap belum cukup menutup bea. Pekerjaannya sebagai sopir antar jemput paket pos swasta tidaklah banyak.

Ibunya sudah lama meninggal dan dikubur bersama peti di makam yang sama. Tadinya ada ide akan dijadikan satu dengan abu ayah tetapi kontrak 20 tahun makam ibu akan habis. Tidak mungkin. Akhirnya, keputusan untuk memilih membakar mayat bapaknya ketimbang menguburkan dengan peti mati, berkaitan dengan masalah finansial. Pembakaran mayat, lebih murah.

Upacara Urnenbeisitzung

Tiga hari kemudian, kami datang lagi ke sebelah aula tempat kami melakukan penghormatan terakhir kepada almarhum tempo hari.

Pukul 14.30. Di ruangan yang lebih kecil itu, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada termos warna hitam berisi abu mayat dan lilin di tengah-tengah. Kami berdua berpandangan. Saya pikir, apa anaknya lupa?  Biasanya, ia datang lebih awal dari kami.

Kami menunggu kedatangannya. Ya, keponakan baru datang jam 14.55. Lima menit kami menunggu sampai tepat pukul 15.00. Itu jadwal acara Urnenbeisitzung, upacara pemasukan debu di dalam liang kubur.

Seorang pria dengan topi mirip masinis masuk ruangan. Secarik kertas ada di tangannya. Ia membaca riwayat om secara ringkas, lebih singkat dari pastor tempo hari.

"Aus der Erde sind wir genommen, zur Erde sollen wir wieder werden. Erde zu Erde,  Asche zu Asche, Staub zu Staub" Asche, abu. Erde, tanah. Staub, butiran lembut debu. Semua manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke dalam tanah.

Sesudahnya, si bapak yang tadi di sebelah termos abu, ambil posisi di depan termos abu.  Berdoa dan mencipratkan air suci tiga kali. Badannya membungkuk, memberi hormat. Ia ambil termos abu dan berjalan menuju makam. Kami mengikuti.

Sebuah kotak sudah berlubang dengan diameter 30 cm. Palang bertuliskan nama om berikut informasi kapan lahir dan meninggal. Di kanan-kirinya, sudah ada yang dimakamkan pada tahun yang sama. Dari tanggal yang tertera di masing-masing batu, om yang paling tua.

Si bapak berdoa, mengambil tanah dengan sekop, memasukkan tanah ke dalam lubang, mencipratkan air suci dan pergi. Kami mengikuti. Lubang rata dengan tanah. Selamat tinggal, om. Suara sesenggukan keponakan kami kembali terdengar. Langit serasa runtuh.

Hening. Saya pandangi batu-batu makam di sekitarnya. Batu makam yang mengalami kondisi memprihatinkan dan mau jatuh, biasanya dikasih sticker oleh pengurus makam, supaya diurusi atau diperbaiki.

Batu makam yang sudah melebihi batas kontrak makam (20 tahun untuk pemakaman dengan menanam peti mati, 15 tahun untuk pemakaman dengan menanam abu), juga mendapat sticker. Peringatannya, agar batu makam dan pohon atau bunga yang ada di makam almarhum/ah, diambil atau dipindahkan dari makam.

Das Rosenkranz Gebet, Doa untuk Almarhum di Gereja

Beberapa hari setelah penguburan abu, kami diundang ke acara Rosenkranz di sebuah gereja.

Yang hadir, lansia umuran 80 tahun ke atas. Jumlahnya 10 orang. Hanya kami bertiga yang masih muda. Keponakan, suami dan saya.

Tepat pukul 18.00, acara berdoa dalam bahasa Jerman dimulai. Hadirin membaca doa yang sama, diulang-ulang selama 30 menit. Saya hanya menyimak dan memilih Al-fatihah dalam hati.

Setengah jam kemudian, datang seorang asisten pastor dari India, Annan. Umurnya kira-kira masih 30 an. Dia pernah  pendidikan Katolik Roma di Roma, Italia. Katanya, ia jadi banyak kenal asisten pastor yang masih muda, dari seluruh dunia. Ingatan saya jadi melayang pada kompasianer Gordi di Italia. Ah, mungkinkah mereka pernah bertemu di sana?

Doa berbahasa Jerman dipimpin asisten pastor itu. Mendoakan om yang sudah meninggal dan berharap keluarga yang ditinggalkan kuat menjalani. Hidup masihlah panjang.

Pukul 19.00, lonceng gereja berdentang tujuh kali. Pertanda acara telah selesai. Hadirin berjabat tangan dan keluar pintu, menuju rumah masing-masing. Di luar, udara dingin sudah menjemput. Life is so short. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun