Si bapak berdoa, mengambil tanah dengan sekop, memasukkan tanah ke dalam lubang, mencipratkan air suci dan pergi. Kami mengikuti. Lubang rata dengan tanah. Selamat tinggal, om. Suara sesenggukan keponakan kami kembali terdengar. Langit serasa runtuh.
Hening. Saya pandangi batu-batu makam di sekitarnya. Batu makam yang mengalami kondisi memprihatinkan dan mau jatuh, biasanya dikasih sticker oleh pengurus makam, supaya diurusi atau diperbaiki.
Batu makam yang sudah melebihi batas kontrak makam (20 tahun untuk pemakaman dengan menanam peti mati, 15 tahun untuk pemakaman dengan menanam abu), juga mendapat sticker. Peringatannya, agar batu makam dan pohon atau bunga yang ada di makam almarhum/ah, diambil atau dipindahkan dari makam.
Das Rosenkranz Gebet, Doa untuk Almarhum di Gereja
Beberapa hari setelah penguburan abu, kami diundang ke acara Rosenkranz di sebuah gereja.
Yang hadir, lansia umuran 80 tahun ke atas. Jumlahnya 10 orang. Hanya kami bertiga yang masih muda. Keponakan, suami dan saya.
Tepat pukul 18.00, acara berdoa dalam bahasa Jerman dimulai. Hadirin membaca doa yang sama, diulang-ulang selama 30 menit. Saya hanya menyimak dan memilih Al-fatihah dalam hati.
Setengah jam kemudian, datang seorang asisten pastor dari India, Annan. Umurnya kira-kira masih 30 an. Dia pernah pendidikan Katolik Roma di Roma, Italia. Katanya, ia jadi banyak kenal asisten pastor yang masih muda, dari seluruh dunia. Ingatan saya jadi melayang pada kompasianer Gordi di Italia. Ah, mungkinkah mereka pernah bertemu di sana?
Doa berbahasa Jerman dipimpin asisten pastor itu. Mendoakan om yang sudah meninggal dan berharap keluarga yang ditinggalkan kuat menjalani. Hidup masihlah panjang.
Pukul 19.00, lonceng gereja berdentang tujuh kali. Pertanda acara telah selesai. Hadirin berjabat tangan dan keluar pintu, menuju rumah masing-masing. Di luar, udara dingin sudah menjemput. Life is so short. (G76)