Mohon tunggu...
Irfani Zukhrufillah
Irfani Zukhrufillah Mohon Tunggu... Dosen - dosen

seorang ibu dua anak yang sedang belajar mendidik siswa tak berseragam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jujur Vs Mujur (Part 2)

21 April 2017   20:05 Diperbarui: 22 April 2017   06:00 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu ketika mendapati sebuah sekolah sedang melaksanakan try out kabupaten. Salah seorang guru yang menggui kelas keluar sebentar. Ketika ada yang mengingatkan ‘Kok ditinggal? Gimana kalo mereka nyontek?’ jawabannya cukup membuat tercengang, ‘Ah.. biarkan saja.. biar nilai mereka bagus. Ini kan try out kabupaten.’

----------------

Entah bagaimana perasannku waktu itu. Sedih? Iya.. bingung? Iya.. Langsung serasa speechless ketika terdengar ungkapan demikian.

Lantas muncul banyak pertanyaan dalam hati, sudah sedemikian nya kah upaya ‘memoles’ nilai siswa di ujian akhirnya? Atau ‘sudah sebegitu terbiasa nya kah hal ini dilakukan?

Cukup riskan sebenarnya melihat ketidakjujuran sudah dimulai ketika usianya masih belia. Bisa jadi ia akan terperosok ke dalamnya dan mengikuti arus. Apalagi jika arus tersebut begitu kuat dan mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak.

Bukankah seharusnya ujian akhir nasional yang digadang-gadang sebagai upaya penyamarataan penilaian kemampuan siswa ini menjadi momok bagi para siswa agar lebih tekun dan rajin dalam berusaha? Bukankah ujian akhir nasional ini harusnya menjadi dasar kemampuan bertahan dalam setiap ujian bahkan ketika mereka kelak menghadapi ujian kehidupan?

Namun mengapa ujian akhir nasional justru menjadi momok bagi guru dan sekolah? Benarkah ini untuk kebaikan siswa? Atau hanya ‘sekedar’ gengsi dan harga diri?

‘Hanya’ demi harga diri dan gengsi sekolah yang mereka pertaruhkan di hadapan sekolah pesaing membuat sekolah rela ‘mengobral’ kejujurannya. Malah tidak sedikit yang menjadikan upaya ‘bala bantuan kemanusiaan’ menjadi hal yang tidak lagi mustahil. Menganggap para murid harus dibantu sedemikian rupa agar mereka lulus dengan nilai terbaik. Bukan semata untuk memintarkan mereka, tetapi semata untuk meningkatkan gengsi.

Siapa sih pencipta gengsi? Ah.. tahu ah.. gelap rasanya kalo melihat ini. Semacam lingkaran setan yang tak berujung. Padahal hidup kita pasti punya ujung. Bakal ketemu sama Pencipta Hidup yang tidak akan mempan lagi dengan model kebohongan apapun.

Satu pertanyaan saya, “Siapa yang paling bertanggung jawab atas tindak pidana korupsi?”

*hanya sebuah bentuk ketidakpuasan terhadap gengsi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun