Mohon tunggu...
IMAM SYAFII
IMAM SYAFII Mohon Tunggu... Pelaut - KETUM AP2I

Ukirlah sejarah melalui tulisan!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pro Kontra Pelaut Indonesia yang Kerja di Luar Negeri Disebut Pekerja Migran Indonesia

24 Juni 2022   02:20 Diperbarui: 24 Juni 2022   02:26 2537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelaut/Dok. PilarID

Di sosial media sedang ramai pro dan kontra soal pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri masuk menjadi bagian dari Pekerja Migran Indonesia "PMI". Ketentuan itu dilegitimasi melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia "UU PPMI" yang kalau enggak salah diundangkan pada 22 November 2017 lalu. 

Klaim Pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai bagian dari PMI, diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI. 

Ketika kita seret mundur ke belakang pada tahun 2004 lalu, sebenarnya klaim bahwa Pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai bagian dari PMI pun sudah ada, hanya saja pada saat itu namanya bukan PMI. Tapi TKI atau Tenaga Kerja Indonesia. Lalu di mana klaim itu muncul dan diatur? jawabnya ada di Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri "UU PPTKILN". 

Dalam UU PPTKILN, memang tidak secara spesifik menyebut istilah "PELAUT", tetapi hanya disebut melalui Pasal 28 UU PPTKILN sebagai "TKI pada Pekerjaan dan Jabatan Tertentu", di mana jika kita baca secara keseluruhan dari UU PPTKILN sampai ke Penjelasan-Penjelasan Pasalnya, maka akan ketemu istilah "Pelaut" pada Penjelasan Pasal 28 UU PPTILN yang kurang lebih bunyinya seperti ini:

"Yang dimaksud dengan pekerjaan atau jabatan tertentu dalam pasal ini antara lain pekerjaan sebagai pelaut. "

Kita kembali ke UU PPMI ya, karena sejak terbitnya UU PPMI, UU PPTKILN sudah dinyatakan tidak berlaku dan dicabut sesuai ketentuan Pasal 89 UU PPMI. 

Nah... pasca lahirnya UU PPMI, istilah pelaut sebagai bagian dari PMI sudah enggak diumpetin lagi seperti di dalam UU PPTKILN yang diumpetin di Penjelasan Pasal 28. Di UU PPMI istilah Pelaut muncul di dalam Pasal, yakni Pasal 4 ayat (1) huruf c, yang secara lengkap bunyi Pasal 4 ayat (1) kira-kira seperti ini: 

"(4) Pekerja Migran Indonesia meliputi: a. Pekerja Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja berbadan hukum; b. Pekerja Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja perseorangan atau rumah tangga; dan c, Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan." 

Emm... kalau kita baca baik-baik ketentuan Pasal 4 ayat (1), sebenarnya ada beberapa pertanyaan juga sih tentang itu, karena dalam Penjelasan Pasal 4 UU PPMI hanya dikatakan: "Cukup jelas". Padahal menurut hemat Penulis, antara Pasal 4 ayat (1) huruf a dengan huruf c seperti terdapat kerancuan. Di mana rancunya?

Pertama, kenapa pelaut dipisahkan di huruf c? padahal pelaut itu bisa masuk di kedua huruf itu (a dan b), mengingat ada pelaut yang bekerja di luar negeri pada pemberi kerja berbadan hukum "perusahaan pelayaran pemilik kapal dan/atau agency pelayaran di luar negeri" juga pelaut yang bekerja pada pemberi kerja perseorangan. 

"misalnya, kapal tersebut adalah kapal milik perseorangan yang belum berbadan hukum atau si pemilik kapal itu belum membentuk sebuah badan hukum menjadi sebuah perusahaan pelayaran pemilik kapal". Nah itu harusnya ada Penjelasan lebih detail dalam Penjelasan Pasal 4 UU PPMI, bukan penjelasannya: "Cukup jelas"!

Kedua, soal istilah. Jika kita membaca peraturan perundang-undangan yang telah ada di Indonesia, misalnya dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran "UU PELAYARAN", tidak mengenal istilah sebagaimana diistilahkan dalam UU PPMI yang mengistilahkan "PELAUT AWAK KAPAL DAN PELAUT PERIKANAN", 

tetapi di dalam UU Pelayaran istilah yang dipakai adalah "NAKHODA, AWAK KAPAL, DAN ANAK BUAH KAPAL" sebagaimana hal itu diatur dalam ketentuan UU Pelayaran Pasal 1 ayat (40), (41), dan ayat (42). Kemudian jika kita mengacu pada Maritim Labour Convention, 2006 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016, 

didapatkan istilah "SEAFARER", yang mempunyai dua makna jika diterjemahkan, yakni "PELAUT" dan "AWAK KAPAL". Tetapi anehnya di dalam UU PPMI justru istilah keduanya digabung "PELAUT AWAK KAPAL". Padahal, di dalam aturan nasional antara Pelaut dan Awak Kapal memiliki pengertian yang berbeda. 

Apalagi jika kita masuk dalam istilah "PELAUT PERIKANAN", istilah itu juga belum jelas diadopsi dari mana, mengingat di dalam Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pengerjaan Dalam Penangkapan Ikan tidak dikenal istilah "Pelaut Perikanan", tetapi yang dipakai adalah istilah "AWAK KAPAL". 

Begitupun jika kita sandingkan dengan istilah yang dipakai pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan "PP KEPELAUTAN", tidak mengenal istilah "Pelaut Perikanan", yang ada adalah "Pelaut yang bekerja pada kapal niaga dan Pelaut yang bekerja pada kapal penangkap ikan". Wah makin pusing yah... harus ada kejelasan ini. hhee...

Tapi, terlepas dari perdebatan soal istilah, saya enggak mau terlalu dalam mengupasnya... intinya sih, bukan saya enggak sepakat Pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri diklaim sebagai bagian dari PMI. Toh itu juga kan sudah menjadi sebuah keputusan pemerintah melalui terbitnya UU PPMI. 

Jauh dari itu semua, ketidaksepakatan saya bukan soal istilah... tapi ketidaksepakatan saya adalah ketika ada dua Undang-Undang yang saling bertentangan dengan itu. Di mana ya?

Saya tulis secara gampang saja ya... UU PPMI dalam pembentukannya, salah satu konsiderannya adalah UU No. 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya, di mana dalam konvensi tersebut tidak boleh berlaku bagi pelaut. 

Hemat saya, artinya konvensi itu tidak mengakui pelaut sebagai bagian dari pekerja migran. Tetapi kenapa justru di UU PPMI, pelaut diseret sebagai bagian dari PMI. Nah ini kan artinya UU PPMI dan UU 6/2012 tidak sejalan. Dengan tidak sejalannya dua Undang-Undang tersebut, akhirnya timbul Ketidakpastian Hukum dong?

Nah dalam konvensi internasional lainnya pun (meski Indonesia belum meratifikasinya), yakni Konvensi ILO 97 Tahun 1949 tentang Migrasi Tenaga Kerja, konvensi itu juga mengecualikan pelaut sebagai bagian dari pekerja migran. Artinya, hemat saya, di internasional pun ILO mempunyai sikap tegas bahwa pelaut bukan bagian dari pekerja migran, 

karena pelaut sudah diatur tersendiri konvensinya baik oleh IMO meliputi Solas, Marpol, SCTW, SCTW-F, dll serta ILO meliputi Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 2008, MLC 2006 melalui UU No. 15 Tahun 2016, dan Konvvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan (Indonesia belum meratifikasinya). 

Segini dulu ya, anggap aja ini artikel Part I, Part II nya nanti menyusul... 

Salam Aktivis Pelaut Kaleng-Kaleng. Hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun