Mohon tunggu...
Politik

Politik Ekologi: Pengelolaan Taman Nasional Era Otda

24 Agustus 2017   02:16 Diperbarui: 24 Agustus 2017   03:13 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik Ekologi: Pengelolaan Taman Nasional Era Otda (Studi Kasus Terhadap Kutai: Perebutan Nilai Ekonomi Langsung dan Tidak Langsung)

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam berupa kawasan hutan seluas sekitar 109.549 juta ha (FAO 1993). Hutan memberikan fungsi yang baik sebagai solusi untuk dapat mengatasi global warming yang terjadi di Indonesia. Salah satu kawasan hutan yang dapat dianalisis kontribusinya dalam ekologi politik adalah hutan konservasi yang merupakan salah satu jenis hutan yang dapat dialihfungsikan menjadi taman nasional. Taman nasional yang dimiliki Indonesia tersebar di berbagai daerah dari ujung Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, sampai Papua. Taman nasional ini harus dijaga kelestariannya dengan mengimplementasikan co-management(pengelolaan bersama) oleh seluruh stakeholderyang ada baik aktor langsung (Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) maupun aktor tak langsung (Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Donor, dan Masyarakat Lokal).

Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tersebut berhubungan dengan adanya konsep politik ekologi yang memiliki peranan penting untuk dapat mengatasi berbagai masalah mengenai kerusakan lingkungan dan deforestasi taman nasional yang terjadi di Indonesia. Peterson (2000:53) mengatakan bahwa politik ekologi adalah suatu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi dan dinamika antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok bermacam-macam di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan.

Pembahasan ini akan mengkaji adanya konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap Otonomi daerah yang berlaku. Banyaknya stakeholder sebagai pemangku kepentingan taman nasional membuat adanya perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Perbedaan persepsi tersebut dibuktikan bahwa Pemerintah Pusat lebih memperhatikan bagaimana cara melestarikan taman nasional sebagai konservasi lingkungan yang dapat dinikmati oleh berbagai stakeholder.Sementara pemerintah daerah kurang memperhatikan dalam mengelola taman nasional karena adanya keterbatasan sumber daya manusia, anggaran, dan aparatur untuk melakukan kontrol dan pengawasan. Otonomi daerah yang mengatur kebijakan operasional taman nasional merupakan sebagian dari agenda demokratisasi politik yang berfungsi untuk mengatur dan menangani konflik-konflik mengenai pertahanan, sumber daya hutan dan sumber daya mineral, pengelolaan pertambangan, perizinan investasi, perusakan lingkungan, perubahan batas wilayah administrasi, dan sebagainya.

Fokus pada buku ini adalah mencoba menganalisis kebijakan pemerintah atau otonomi daerah dan persepsi pemerintah pusat maupun daerah atas taman nasional. Berbagai macam konflik maupun isu yang diangkat di dalam buku, berusaha menelaah berbagai macam konflik yang terjadi pada beberapa taman nasional yang berada di Indonesia salah satunya Taman Nasional Kutai (TNK). Konflik yang terjadi di dalam TNK ini mengenai adanya perebutan nilai ekonomi langsung dan tidak langsung. Salah satu peraturan otonomi daerah yang menjadi dasar dari konflik ini adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang berisi mengenai adanya pemberian kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten dalam mengelola daerahnya, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Namun, dalam praktiknya tidak semua kawasan hutan dikelola oleh pemerintah daerah, kawasan koservasi yang meliputi taman nasional adalah salah satu contoh  kawasan konservasi yang masih tetap dikelola oleh pemerintah pusat. Akibatnya banyak pemerintah daerah yang lalai terhadap pengelolaan taman nasional karena menganggap hal tersebut hanya semata-mata urusan pemerintah pusat. Hal tersebutlah yang memicu adanya konflik pada Taman Nasional Kutai, karena adanya perbedaan pemahaman antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terhadap UU otonomi daerah yang berlaku dan adanya perbedaan kepentingannya masing-masing pihak.

Perbedaan pemahaman terjadi antara Kementrian Kehutanan sebagai pemerintah pusat dengan stakeholder lainnya dalam mengelola TNK. Kementrian Kehutanan melihat bahwa pemanfaatan TNK harus selalu berorientasi pada nilai ekonomi tidak langsung yaitu melakukan konservasi murni terhadap TNK. Sedangkan stakeholderlainnya (pemerintah daerah) lebih berorientasi pada pemanfaatan nilai ekonomi secara langsungnya dengan menganggap TNK sebagai sumber daya alam yang dapat digunakan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal sebenarnya PAD pada sumber daya alam hanya dapat dicapai oleh kawasan yang dapat dieksploitasi seperti batubara. Hal tersebut mengakibatkan adanya kerusakan pada TNK karena kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman mengenai TNK sebagai kawasan hutan konservasi atau eksploitasi.

Kawasan hutan TNK merupakan sumber daya alam (renewable)yang dapat memberikan unsur-unsur penting bagi kehidupan manusia. Namun, hutan memiliki daya regenerasi dan asimilasi yang terbatas, sehingga tidak dapat dieksploitasi secara intensif karena akan mengakibatkan kerusakan dari fungsi hutan sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan (Soemarwoto 2001: 59). TNK sebagai taman nasional menyediakan "jasa lingkungan" yang berupa  penyedia udara bersih, daerah tangkapan air, keanekaragaman hayati, dan keindahan pemandangan alam. Melihat begitu pentingnya jasa lingkungan yang berasal dari kawasan hutan, maka TNK harus benar-benar dijauhkan dari upaya eksploitasi. Oleh karena itu, beberapa kawasan hutan seperti TNK harus dijadikan sebagai taman nasional konservasi yang berarti kawasan tersebut dapat dimanfaatkan tetapi harus secara bijaksana yang dapat menunjang pembangunan berkelanjutan (McNeely 1999:2). Masalah utama pada TNK ini adalah adanya perbedaan pemahaman antara pemerintah daerah yang memiliki keinginan untuk mengeksploitasi TNK sebagai kawasan yang mengandung sumber daya melimpah sehingga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Padahal, hal tersebut akan berdampak pada adanya ongkos sosial yang harus ditanggung jauh lebih besar dibandingkan keuntungan sesaat yang diperoleh dari eksploitasi kawasan TNK. Ongkos sosial tersebut berupa banjir, kekeringan, pencemaran, tanah longsor, dam juga rehabilitasi lahan yang sudah rusak.

Upaya dalam mengatasi konflik yang terjadi pada TNK ini salah satunya adalah memberikan pemahaman kepada pemerintah daerah bahwa mereka harus lebih mempertimbangkan nilai ekonomi secara tidak langsung (konservasi murni pada jasa lingkungan TNK). Hal tersebut patut menjadi pertimbangan pemerintah daerah karena nilai ekonomi tak langsung  jauh lebih bermanfaat dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama dibandingkan dengan manfaat dari nilai ekonomi langsung. Oleh karena itu, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan TNK harus tetap berpedoman pada tujuan konservasi sehingga tetap memberikan kontribusi kepada masyakarat dan juga pemerintah daerah sekirat TNK.

Daftar Pustaka

Hidayat, Herman. 2011. Politik Ekologi: Pengelolaan Taman Nasional Era Otda. Bandung: LIPI Press.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun