Ketika kau jatuh cinta, kau ingin menghabiskan waktu bersama seseorang. Kadang-kadang kau menyapa demi memastikan makan siang akan tandas tanpa sisa. Pipimu merona saat dia  mengatakan akan menyuguhimu semangkuk cerita bila kau duduk di sisinya. Separuh gombal-hatimu berkata demikian-sama sekali tak kau hiraukan. Karena sejujurnya, kau sengaja membiarkan dirimu larut bermanja-manja dengan lena.Â
Lalu kau mulai kecewa seiring waktu yang bermain-main dengan kebekuan. Adakalanya, waktu  meloncat-loncat di antara diam, gundah, nyeri dan sepi. Ada apa? Sebuah tanya menyeruak dalam ruang benakmu, menuntut sebuah jawaban dan menghadirkan kebisuan yang berulang-ulang seusai musim bunga. Kau mulai meratap: mengapa hatiku selalu menjadi ladang permainan?
Kau terhenyak saat mendapati kebenaran tak bertuan muncul di hadapanmu. Kebenaran yang rela menghampirimu tanpa diminta. Telanjang, tanpa bungkus kepura-puraan. Kedatangannya menghantam sesuatu yang bersemayam jauh dalam relungmu. Ketulusan. Barulah kau menyadari, segala kesia-siaan yang selama ini kau persembahkan. Kau terluka parah.
Kemudian dunia menjadi musuhmu. Amarah menghanguskan kemurnian dalam jiwamu. Namun, kebencian segera mengering seiring tiupan angin. Menyisakan hampa yang seolah tak memiliki dasar. Kau letih, menyerah kalah dan membiarkan segalanya meluap tanpa permisi. Kau membiarkan roda bergulir karena lemah kehabisan daya. Kau mulai pasrah.
Suatu hari, kau menyadari  kekeliruanmu menyia-nyiakan putaran waktu. Kau ingin memeluk cinta, namun cinta enggan memelukmu. Kau ingin mengucapkan selamat tinggal, tetapi cinta telah pergi meninggalkanmu sendirian.
Desember. Hujan menari-nari, namun kau melangkah gontai. Pada saat kau bercermin, kerutan di sudut matamu tiba-tiba memarahimu: kau datang terlalu lama.
×××
Tepian DanauMu, 8 Desember 2016