Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sayonara Harian Detik..

21 Juli 2013   14:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:15 6454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_267903" align="aligncenter" width="300" caption="Saat merayakan ulangtahun pertama dan terakhir."][/caption] Hari itu Selasa, 16 Juli 2013, sekitar pukul 15.30 WIB. Saya sedang ikut blusukan Jokowi di dalam mobil KompasTV dengan posisi dipangku Muttya, kawan dari Liputan6.com. Ya, karena situasi darurat takut ketinggalan, jadilah pakai prinsip 'asal masuk dulu ke mobil'. Untung badan saya kecil. Dipangku pun mudah-mudahan nggak bikin berat. He-he. Tiba-tiba di grup BBM, salah satu redaktur mengirim pesan, "Semua reporter dipanggil ke kantor jam 7 malam ini. Semua harus hadir, tanpa terkecuali". Saya langsung bertanya dalam hati, 'ada apa ini?tumben sekali'. Ini memang bukan perintah pertama, cuma terasa berbeda. Biasanya kami dikumpulkan tak lain soal rolling desk liputan, atau surat pengangkatan karyawan, atau yang berbau-bau administrasi dan seputar tugas. Saya pun membalas pesan itu, "Emang ada apa sih?Kok dadakan?". Dijawab oleh redaktur, "Pokoknya dateng aja ntar malem". Saya menjadi yakin bahwa pertemuan ini tak biasa setelah redaktur pelaksana edisi Minggu meminta reporternya, Budi, untuk membatalkan janji wawancara dengan narasumber. "Tinggalin aja Bud, kan masih bisa ditelepon. Kau ke kantor aja,". Kalau hanya rapat biasa, kami boleh ijin tak ikut jika alasannya ketemu narasumber di waktu yang sama. Tapi, kali ini lain. Saya merasa ada sesuatu yang sangat penting, juga genting.

13743894411179596716
13743894411179596716
Saya kemudian menduga-duga apa yang bakal disampaikan pimred dan wapimred. Apakah soal berita-berita yang kami tulis, apakah ada aduan atau tuntutan dari narasumber, atau hal lain. Ah, saat itu menunggu sampai jam tujuh malam jadi terasa lama sekali. Padahal, jam tangan sudah menunjukkan pukul lima sore. Setelah berbuka puasa, saya dan Idham, reporter yang ngepos di Polda, meluncur ke kantor. Di jalan kami berbincang kira-kira ada apa ya. Idham pun menggeleng tanda ia tak tahu apa-apa. Sementara saya, di dalam hati, sudah mengerucut pada satu dugaan yang tak mau saya  sampaikan. Khawatir salah dan malah bikin cemas. Sekitar hampir setengah delapan malam kami tiba di Warung Buncit. Rapat sudah berjalan sekitar 10 menit. Tampak wapimred dan satu orang petinggi HRD Transcorp, namanya Mas Gede, menjadi tokoh utama. Suasana saat itu dimata saya cukup cair, tidak ada ketegangan yang kentara. Saya duduk diantara Budi dan Pasti. Mereka memberi tahu saya bahwa Harian Detik, tempat saya bekerja sejak berdirinya, akan resmi ditutup hari Minggu (21/7) ini. Benar-lah dugaan saya.
1374389541404891085
1374389541404891085
Jujur saja, mendengar itu saya tak begitu kaget. Hanya tak mengira bahwa waktunya secepat ini. Teman-teman yang lain masih dapat menyembunyikan kekagetannya meski ada beberapa yang tampak bingung. Ada juga yang protes kenapa dikasih tahu mendadak. Selasa diumumkan, Minggu sudah selesai. Beberapa teman bilang, bak disambar petir siang bolong. Buat saya, petirnya wajar karena menyambar di malam hari. Mas Gede menjelaskan penyebabnya. Ternyata menurut sang pemilik, produk ini kurang menguntungkan dari segi bisnis. Sekitar 1,5 tahun berdiri, iklan yang masuk bisa dihitung dengan jari. Jauh sekali dari target yang ditetapkan. Padahal saudaranya, Majalah Detik, yang juga lahir sekitar 1,5 tahun lalu, sudah menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Tak salah jika Pak Bos akhirnya memilih untuk mempertahankan majalah dibanding harian. Dan, saya mengamini. Lalu, pertanyaan berikut. Kalau ditutup, bagaimana nasib karyawannya? Saya pribadi cukup bersyukur karena Harian Detik menjadi bagian dari gurita bisnis yang dimiliki Chairul Tanjung. Dan saya percaya dia masih punya kebaikan hati untuk tetap mempertahankan karyawan. Penegasan HRD membuktikan itu. Tidak ada satu pun yang akan dirumahkan alias PHK. [caption id="attachment_267910" align="aligncenter" width="300" caption="Saat rapat di Puncak."]
1374389680286438635
1374389680286438635
[/caption] Kami hanya akan mengalami migrasi. Entah ke detik.com sang induk, majalah Detik, Male, Female, DetikTV, TransTV, atau Trans7. Setahu saya, gaji reporter dan status karyawan tetap pun tidak berubah. Entah soal gaji redaktur ke atas. Penempatan ex-Harian Detik juga berlangsung kilat. Keesokan hari kami segera mendapat kepastian. Saya sendiri akhirnya resmi bergabung ke detik.com mulai Senin esok. Diantara seisi lantai 4 malam itu, mungkin hanya saya yang merasa lega. Bukan berarti bahagia. Tidak sama sekali. Apalagi melihat kegelisahan para redaktur dan redpel yang harap-harap cemas. Posisi mereka lebih sulit ketimbang kami sebagai reporter. Kami fleksibel saja ditempatkan dimanapun. Tapi, mereka? Di setiap divisi rata-rata sudah memiliki redaktur atau redpel. Standar gaji juga berbeda. Masa mereka turun jadi reporter? Kan nggak mungkin. Pilihannya hanya dua, tetap bertahan di posisi manapun atau mengundurkan diri. Mayoritas memilih bertahan. Sejak saya ditawari bergabung, saya sudah punya keraguan apakah produk ini bisa bertahan lama. Pasalnya, ada potensi 'bentrok' dengan detik.com soal peliputan. Harian Detik terbit dalam format koran digital dua kali sehari, pagi dan sore. Sedangkan detik.comadalah media online yang menyajikan berita realtime. Kami dituntut berbeda, tapi ketika dijalani terasa sulit. Terlebih, jika detik.comsudah membabat habis isu teraktual. [caption id="attachment_267913" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu rubrik Harian Detik."]
13743898391557929224
13743898391557929224
[/caption] Saya sering sekali mengeluh, "Ini gimana cari diferensiasinya sama detik.com, khususnya untuk berita-berita nasional metropolitan?". Untuk apa kita buat berita yang sama yang hanya akan mubazir saja.  Ditambah lagi imej orang yang masih awam dengan format koran digital. Mungkin diantara teman-teman pembaca juga belum pernah dengar apa itu Harian Detik. Terlepas dari pertimbangan bisnis, saya ingin berbagi sekaligus sama-sama belajar dari pengalaman ini. Bahwa kekompakan tim menjadi hal paling utama dalam membangun sebuah produk baru. Secara konten, semua mengakui Harian Detik punya kualitas. SDM-nya juga tak kalah bagus. Beberapa kali memenangkan sejumlah penghargaan dan kami mampu menembus narasumber kelas kakap. Kompak bukan saja selalu bersama, punya satu visi dan misi yang sama. Bukan. Tapi, lebih pada saling respek, saling menghargai, dan mau menerima masukan atau kritik. Sekalipun masukan dan kritik itu datang dari level terbawah sekelas reporter. Tidak berjalan sendiri sesuai kehendak dengkul mau melangkah kemana. Saya juga belajar banyak hal, salah satunya tentang bagaimana kesombongan akhirnya meruntuhkan segalanya. Cerita tentang Adam dibuang ke dunia, Iblis yang tidak mau sujud di kaki Adam, dan Fira'un yang binasa, terpampang nyata dalam bentuk kekinian. Kalau nanti punya banyak harta dan tahta, tetaplah menginjak bumi. Karena yang boleh sombong kan cuma Tuhan. Begitu kata keponakan yang masih berusia 5 tahun mengajari saya. He-he-he. Tulisan ini tidak untuk menyalahkan siapapun, atau menggurui, atau ada maksud-maksud tertentu. Murni datang dari mood saya yang ingin menulis dan terinspirasi dari karamnya kapal kami. Sama seperti teman-teman lain, saya merasakan kesedihan dan keharuan yang mendalam. [caption id="attachment_267914" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama tim ekonomi. "]
1374389934209494906
1374389934209494906
[/caption] Bagaimanapun, saya ikut serta ketika Harian Detik terbit pertama kali pada 15 Desember 2011, sampai edisi terakhir hari ini. Dari liputan gaya hidup, ekonomi, metropolitan, sampai politik sudah saya jajal dalam rentang waktu kebersamaan kami. Jelas, tidak ada sesal ketika saya memutuskan pindah dari media yang sudah jauh lebih settle ke media baru dari grup besar ini. Tidak ada. Saya justru bersyukur tiada henti karena hidup saya menjadi penuh warna. Pengalaman saya sebagai jurnalis begitu luar biasa. Di Harian Detik inilah saya berkesempatan menimba ilmu baru, bertemu pejabat-pejabat sekelas menteri, bahkan presiden, punya banyak teman, hingga berhasil menembus wawancara-wawancara eksklusif sederet artis, politisi, Anindya Bakrie, Joko Widodo, sampai Gita Wirjawan. Inspirasi membukukan pengalaman blusukan juga datang dari penugasan saya di tempat ini. [caption id="attachment_267915" align="aligncenter" width="300" caption="Setelah rapat keramat malam itu."]
13743900452061375074
13743900452061375074
[/caption] Maka, ketika kami tim Harian Detik berbuka puasa bersama di Pejaten Village pada Jum'at (19/7) lalu, ada rasa sedih yang tak bisa disembunyikan. Melihat kebersamaan kami selama 1,5 tahun, suka duka dijalani. Tentu tidak mudah, mungkin terasa berat. Tapi, hidup harus terus berjalan. Mau tidak mau kami melakukan penyesuaian dari awal, dengan sistem serba baru. Ini keputusan terbaik yang mudah-mudahan memperkaya pengalaman saya untuk berkarya lebih baik. Hikmah lain, ternyata teman-teman saya sangat perhatian. Sehari setelah diputuskan Harian Detik ditutup, handphone saya kebanjiran SMS, BBM, Fesbuk, dan Twitter menanyakan kebenaran kabar dan nasib saya. Tak hanya datang dari teman dekat, tapi teman-teman sejak saya masih liputan gaya hidup. Lagi-lagi saya patut mengucap syukur mempunyai teman-teman seperti mereka. Mungkin diluar sana ada juga yang meledek atau mencemooh. Menganggap kami sebagai pecundang atau pasukan yang kalah duluan sebelum perang. Tak apa-apa. Toh, pengalaman ini sangat seru. Tidak ada yang gagal selain takdir memang harus terjadi. Kami semua tahu dan paham betul bahwa usaha yang dilakukan sudah sangat maksimal untuk tetap mempertahankan 'bayi' kami. Kalian cukup membayangkan saja kerja kami yang habis-habisan menyiapkan detlain pagi dan sore setiap hari. Badan saya sampai nggak bisa gendut, lho. He-he.
1374390099788816974
1374390099788816974
Hmm..besok saya sudah punya meja baru. Tetap di Warung Buncit, hanya pindah ke lantai 2. Liputan saya seperti mengulang masa lalu, kembali ke gaya hidup. Tapi, saya akan tetap menyambangi Balaikota untuk sebuah cita-cita yang Insya Allah bakal terwujud. Sudah setengah jalan, tak mungkin saya berhenti. Jadi, minta doanya ya. Buat kalian yang mungkin pernah tahu, atau malah sudah jadi pembaca, terimakasih banyak. Pembaca selalu jadi motivasi saya menulis cerita. Bagi yang belum tahu dan ingin tahu, coba buka aja situsnya untuk yang terakhir kali hari ini, www.hariandetik.com, semoga belum hilang. Karena katanya resmi hilang baru besok. Saya tidak mau larut dalam sedih dan haru, cukuplah menjadi kenangan yang manis, yang membuat saya tertawa dan menangis. For the last, sayonara HarianDetik.. [caption id="attachment_267917" align="aligncenter" width="300" caption="Selamat tinggal. Terimakasih.."]
13743901441406449815
13743901441406449815
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun