Mohon tunggu...
FinEdu Indonesia
FinEdu Indonesia Mohon Tunggu... -

consulting - services - research

Selanjutnya

Tutup

Money

Pencegahan Penghindaran Pajak Via Transfer Pricing dan SPT PPh Badan

8 Desember 2009   05:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:01 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Waspadai penghindaran pajak dengan transfer pricing, begitu titah Menteri Keuangan. Lagi-lagi transfer pricing menjadi tersangka utama sarana penghindaran pajak. Ibu Sri Mulyani geram karena merasa penerimaan pajak kita digerus oleh korporasi besar yang banyak melakukan transfer pricing untuk menghindari pajak. Perusahaan-perusahaan tersebut dicurigai melakukan transaksi dengan afiliasinya tidak dengan harga wajar sehingga melaporkan rugi secara fiskal dan pada akhirnya tidak bayar pajak penghasilan badan. Betulkah demikian? Penelitian yang dilakukan oleh Gunadi (Pajak Internasional; 1999) tentang perusahaan-perusahaan Penanaman Modal Asing menunjukkan bahwa “ … mereka begitu tega membuat Indonesia sebagai loss centre untuk perusahaan multinasionalnya. Operasi di Indonesia selama bertahun-tahun direkayasa untuk selalu rugi sehingga tidak pernah membayar pajak penghasilan badannya”. Sementara survei yang dilakukan oleh Ernst and Young menunjukkan hal senada, transfer pricing merupakan isu yang dianggap paling penting bagi tax director dari perusahaan-perusahaan global yang disurvei. Secara global, 39% tax director perusahaan multinasional di seluruh dunia menganggap transfer pricing sebagai isu terpenting dari pekerjaan mereka. Sementara secara regional, angka tersebut menjadi 44%  di Asia, dan 62% di China, dan 76% di Jerman (Ernst & Young’s, Global Transfer Pricing Survey :2007).

Menteri Keuangan menyatakan bahwa sebanyak 2000 pemeriksa pajak telah disiapkan dan  akan ditingkatkan, baik secara kuantitas maupun kualitas untuk melakukan upaya pencegahan penghindaran pajak melalui transfer pricing (Bisnis, 24 April 2009). Sementara, laporan PricewaterhouseCoopers menyatakan lain: “The Indonesian tax authorities cannot be considered a sophisticated tax authority from a transfer pricing perspective”. (PWC, International Transfer Pricing 2008 ). Entah siapa yang betul.

Meskipun demikian, terdapat berita gembira dalam penanganan transfer pricing. Pada tanggal 2 Juli 2009 lalu, Direktur Jenderal Pajak telah menandatangani Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya. Hal ini membawa penanganan transfer pricing di Indonesia memasuki fase baru yang selangkah lebih maju. Secara umum, SPT PPh Badan tidak banyak perubahan, kecuali bagian yang terkait dengan transfer pricing. Ada 2 formulir baru di sini, pertama adalah formulir pernyataan transaksi dalam hubungan istimewa, yang kedua formulir pernyataan transaksi dengan penduduk tax haven country.

Formulir pernyataan transaksi dalam hubungan istimewa merupakan penyempurnaan dari formulir yang ada sebelumnya. Beberapa perubahan yang dilakukan antara lain: (i) Adanya daftar pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan bentuk hubungan istimewanya, yang harus diisi meskipun wajib pajak tidak melakukan transaksi dengan pihak atau pihak-pihak tersebut; (ii) Adanya kewajiban untuk mengungkapkan alasan pemilihan dari metode transfer pricing yang digunakan. Hal ini mungkin terkait dengan preferensi Direktorat Jenderal Pajak yang lebih memilih metode transfer pricing tradisional dari pada metode profit; dan (iii) Adanya isian untuk menerangkan ringkasan dokumentasi transfer pricing yang dimiliki oleh wajib pajak. Ketiga perubahan tersebut, jika dipelajari dengan baik menunjukkan bahwa tampaknya Direktorat Jenderal Pajak menyiapkan formulir tersebut sebagai sarana manajemen risiko transfer pricing. Informasi yang diminta akan mengerucut pada dua pilihan, apakah wajib pajak tersebut memiliki risiko tinggi penghindaran pajak melalui transfer pricing atau tidak. Direktorat Jenderal Pajak menginginkan bahwa transfer pricing yang dilakukan wajib pajak dilakukan dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sesuai Pasal 18 ayat 3 UU Pajak Penghasilan dan didokumentasikan dengan baik sebagaimana diatur pada Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007. Masalahnya, sampai dengan hari ini pemerintah belum menerbitkan peraturan dan panduan bagaimana sebuah dokumentasi transfer pricing sebaiknya disiapkan oleh wajib pajak.

Formulir berikutnya adalah terkait dengan transaksi pihak pada tax haven country. Formulir ini sama sekali baru dan meminta wajib pajak mengungkapkan transksi yang dilakukannya dengan pihak yang berada di tax haven country. Formulir ini juga menanyakan apakah proses penetapan harga untuk transaksi tersebut dilakukan dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha seperti pada transfer pricing. Setidaknya ada tiga masalah pada formulir ini: Pertama, Direktorat Jenderal Pajak belum menetapkan siapa saja yang merupakan negara tax haven. Sampai dengan hari ini Direktorat Jenderal Pajak belum memiliki daftar negara tax haven menurut pemerintah. UU Pajak Penghasilan hanya memberikan definisinya, yaitu “negara yang memberikan perlindungan pajak” (Pasal 18 ayat 3c). Dahulu, kita memiliki Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994. KMK ini tidak menyebutkan apapun tentang tax haven, tapi lampirannya memuat daftar 32 negara yang kita anggap sebagai tax haven, dan itu merupakan satu-satunya daftar tax haven yang pernah kita miliki. Sampai kemudian KMK tersebut dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.04/2008, daftar tax haven tidak lagi ada dalam lampiran. Masalah kedua adalah judul formulir, Pernyataan Transaksi Dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Tax Haven Country. Apakah kriteria penduduk tax haven country termasuk dengan perusahaan-perusahan bodong (letter-box company) dan re-invoicing center yang hanya namanya saja tercatat pada negara tax haven tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut dapat memanfaatkan fasilitas pajak dari tax haven meskipun bukan penduduk negara tersebut (non resident). Masalah yang ketiga adalah tidak adanya peraturan yang mengaitkan transaksi dengan pihak tax haven dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, sehingga isian pada formulir tersebut seperti tidak memiliki pondasi.

Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk memperkuat penanganan risiko transfer pricing melalui SPT yang disampaikan oleh wajib pajak. Pertama, Pemerintah (dalam hal ini Menteri Keuangan) perlu segera menerbitkan peraturan dan panduan tentang dokumentasi transfer pricing, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 16 ayat (3) PP Nomor 80 Tahun 2007. Adanya peraturan ini diharapkan akan membantu wajib pajak dalam menyiapkan dokumentasi transfer pricing sebagaimana yang diharapkan oleh aparat pajak. Peraturan ini juga akan menyeragamkan pemahaman fiskus tentang dokumentasi transfer pricing yang harus disiapkan oleh wajib pajak. Kedua, Direktur Jenderal Pajak perlu segera menetapkan negara-negara mana saja yang merupakan tax haven country sehingga formulir yang ada tidak sia-sia. Jika penelitian penetapan tax haven country memakan waktu lama, untuk sementara Direktur Jenderal Pajak dapat meratifikasi daftar yang telah ada, baik yang dimiliki oleh OECD maupun Bank Dunia. Daftar tersebut, tentu saja, dapat diperbaiki setelah penelitian mandiri oleh Direktorat Jenderal Pajak dilakukan. Ketiga, selain daftar, sebaiknya pemerintah mengatur kewajiban penetapan harga wajar atas transaksi dengan tax haven country. Di sini, pemerintah dapat mengatur supaya transaksi yang dilakukan dengan pihak di tax haven dinilai sesuai prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (3) UU Pajak Penghasilan, meskipun tidak ada hubungan istimewa. Hal ini telah dilakukan lebih dahulu oleh Amerika Serikat dengan Stop Tax Haven Abuse Act, yang menetapkan bahwa mitra transaksi dari wajib pajaknya yang berada di tax haven dianggap memiliki hubungan istimewa, kecuali dapat membuktikan sebaliknya.

Bayu Rahmat Rahayu, Peneliti FinEdu Indonesia

Tulisan sebelumnya dimuat pada Harian Ekonomi KONTAN, 17 Oktober 2009

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun