Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Berpolitik ala Indonesia

28 Februari 2019   21:27 Diperbarui: 28 Februari 2019   21:30 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Illustrated by Pixabay.com)

Hasrat berkuasa masih di atas segalanya _Kompas, 18/11/2006_

Untuk kesekian kalinya terbukti bahwa kekuasaan itu menggiurkan, menggoda, dan memesona sehingga siapa saja selalu tertarik mendapatkannya _Kompas, 26/09/ 2011_ 

Wajah Buruk Politik Indonesia

Badai politik menerjang sebagian partai politik dengan beragam kasus yang terjadi. Judul besar yang menerjang adalah kasus korupsi yang melanda mereka yang duduk di legislatif dan kepala daerah. Persoalan internal partai politik muncul dengan terjadinya perpecahan yang berujung pecat memecat, mal fungsi terjadi terkait peran utama partai politik, politisi yang tak lagi bersetia pada ideologi partai politik dan segudang persoalan lainnya.

Mengapung pertanyaan di benak publik tentang partai politik. Apakah partai politik berwajah merusak? Apakah partai politik selalu tentang persaingan kuasa menguasai kepengurusan? Bukankah orang-orang yang ada di partai politik juga manusia, apa yang sebenarnya terjadi? Beragam peristiwa dan pertanyaan yang muncul membuat masa depan partai politik dipertaruhkan sebagai satu diantara institusi pilar demokrasi untuk terjadinya demokratisasi di Indonesia.

Diakui partai politik memberi warna warni kemajuan demokrasi dari zaman  penjajahan sampai  saat ini. Pun partai politik dan politisi tak selamanya buruk. Namun ketika wajah buruk partai politik dan politisi lebih terpampang di ruang publik maka patutlah ia dipertanyakan dan dikritisi terutama menuju pemilihan umum 2019. Bagaimanakah sejatinya berpolitik (partai politik dan politisi) dilihat dengan segala aspek baik dan buruknya itu.

Berpolitik: Kemanusiaan Versus Elektoral

Pernah. Seorang ketua partai politik berasas Islam yang baru saja dilantik untuk menggantikan ketua sebelumnya karena jeratan kasus korupsi impor daging sapi dalam sebuah wawancaranya dengan televisi swasta, menyatakan bahwa yang perlu dibangun adalah politik hubungan kemanusiaan, bukan hubungan elektoral (pemilih) yang mana ketika akan pemilu maka rakyat didekati hanya untuk mengeruk suara partai.

Saya tidak tahu apakah pernyataan tersebut diucapkan karena partai politiknya sedang diterjang kasus korupsi atau memang partai tersebut memiliki haluan baru yang tiba-tiba muncul, belum lagi tudingan lain tentang politik konspirasi. Saya tidak ingin berdiskusi pada persoalan tuding menuding itu, bagi saya yang menarik adalah pernyataan bahwa 'politik adalah hubungan kemanusiaan'.

Hakikat politik adalah membuat warga negaranya bahagia (baca: kesejahteraan rakyat) di berbagai aspek; politik, pendidikan, sosial, kebudayaan, agama, hukum dan keamanan. Tujuan politik menururt Yudi Latif-intelektual Indonesia-bukanlah semata meraih kekuasaan tapi memastikan kekuasaan digunakan untuk kebajikan dan kebahagiaan warga negara. (www.tribunnews.com, 24/08/2004).

Tersalurkannya aspirasi rakyat di berbagai bidang itu  di amanahkan kepada partai politik yang kemudian mendudukkan anggotanya/politisi di badan legislatif-sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan di tingkat eksekutif (pemerintah) sebagai presiden, wakil presiden, menteri. Juga kepala daerah seperti gubernur, bupati/walikota supaya diserapnya aspirasi rakyat untuk dibuat dalam satu kebijakan dan keputusan (undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah) yang ujungnya terciptanya kesejahteraan rakyat atau kebahagiaan warga negara.

Berpolitik di Ruang Publik: Rasionalitas dan Moralitas

Manusia, sebagai seorang individu tidak bertindak atau berkehendak secara abstrak, tetapi selalu dalam konteks sosial tertentu. Konteks sosial tersebut merupakan bagian yang tak terpisah dari dirinya. 

Artinya, aspirasi rakyat yang terdiri atas individu-individu manusia tidak muncul dalam kekosongan kehendak dan  perlu ditindaklanjuti. Ia muncul dari kehendak yang dilatari oleh kondisi sosial, keagamaan, ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, keamanan, pendidikan yang sedang dan akan terjadi. Kondisi-kondisi tersebut tak dapat dilepaskan dari diri manusia/rakyat yang kemudian karena ia tak memiliki suatu wadah bersama yang kokoh dan berlandaskan hukum maka ia diwakilkan kepada partai politik dan politisi. Perwakilan ini menghendaki tindakan nyata dari partai politik dan para politisi.

Politik adalah ruang publik dimana bertemunya rasionalitas dan moralitas tanpa mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Meminjam Jurgen Habermas (Dony Gahral Adian, 2011: 110), konsep ruang publik sebenarnya terdiri dari dua hal sekaligus, yaitu ide dan ideologi. 

Ruang publik adalah ruang tempat subjek berpartisipasi secara setara dalam diskusi rasional guna meraih kebenaran dan kebaikan bersama. Ruang publik sebagai ide menunjukkan dimensi keterbukaan, inklusifisme, kesetaraan dan kebebasan yang tidak tercela. Namun, dalam kenyataanya, itu hanya ideologi atau ilusi. Sebab, partisipasi dalam ruang publik hanya terjadi di universitas-universitas, jurnal-jurnal, diskusi-diskusi.

Rasionalitas dalam perpolitikan cenderung terabaikan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh legislatif yang merupakan perpanjangan dari partai politik dan eksekutif jarang memihak rakyat.  Kebijakan-kebijakan yang dibuat mengandung kepentingan-kepentingan tertentu. Rasionalitas politisi dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan yang menyengsarakan rakyat. 

Bangunan politik indonesia adalah irrasional.  Sedangkan politik terhubung dengan moral seperti istilah politisi moral bukan moralitas politik yang diperkenalkan oleh Immanuel Kant (Rachmat K. Dwi Susilo, 2005: 115). Politisi moral adalah orang yang memahami prinsip-prinsip kearifan politik, sehingga mereka dapat hidup dengan moralitas ketika berpolitik.

Mereka tidak terjerumus dalam kubangan ambisi dan pengejaran kekuasaan semata. Politisi moral bermaksud menegakkan keadilan dan moral, karenanya memiliki kepentingan untuk memajukan umat manusia. 

Mereka terjun ke akal budi praktis dengan turut mempercepat perkembangan masyarakat yang progresif dan alamiah. Sedangkan moralitas politik adalah orang-orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kepentingannya. Tentunya moralitas politik adalah lawan dari politisi moral. Jika politisi moral mampu menemukan bagaimana seharusnya berbuat lewat alam nomena a priori, tetapi moralitas politik lebih mengejar keinginan pribadi dengan kemampuan indriawi yang cenderung kepada pengalaman dan kejahatan.       

Terjadinya politik sebagai hubungan kemanusiaan jika partai politik dan politisi melihat ruang publik (baca: aspirasi rakyat) dikejewantahkan dalam berpolitik yang rasional dan pemenuhan moralitas. Sehingga produk kebijakan yang dibuat benar-benar berpijak dari aspirasi rakyat dan hasilnya membuat rakyat sejahtera lahir dan batin. Sesuailah ia berpolitik yang diinginkan publik.  

Curup

28.02.2019.

JR (Di tulis untuk Kompasiana)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun