SURAU TUA
Cerpen: Sri Wintala Achmad
Meski bukan santri atau sarjana, Abah Musyafie yang baru setahun tinggal di Desa Waringinsungsang adalah jagonya bila bicara soal agama, pengetahuan umum, dan politik. Namun lelaki berumur enampuluhan yang semasa mudanya tak bercita-cita menjadi kyai, dosen, atau politikus kini memilih hidup sebagai tukang sapu surau tua di tepian desa itu.
Abah Musyafie prihatin atas keadaan surau tua yang ditelantarkan karena jemaah lebih memilih masjid baru di tengah Desa Waringinsungsang sebagai tempat ibadahnya. Dalam hati, Abah Musyafie merasa bahwa surau itu senasib dirinya. Selalu dikunjungi semasih megah. Ditinggalkan sesudah tua tak terurus.
Sekian lama Abah Musyafie merenungi nasibnya yang tak ubah surau tua itu. Namun kian merenungi surau itu, Abah Musyafie kian mencintainya. Kian mencintai surau itu, Abah Musyafie kian menyatu dengannya. Bangunan yang harus dijaga kesuciannya dari najis, kata jorok, dan perilaku iblis yang amat dibenci Allah.
Karena cintanya pada surau tua itu, Abah Musyafie tidak segan-segan menggunakan uang dari penjualan tanah warisan untuk membangunnya. Mengecat dindingnya. Memasang keramik pada lantainya. Mengganti gentingnya. Melengkapinya dengan sepasang loudspeaker. Sejak terbangunnya surau itu, Abah Musyafie tak hanya sebagai tukang sapu. Tapi tukang pengisi padasan dan muadzin.
***
Dengan suara serak-serak, Abah Musyafie mengumandangkan adzan awal di ambang subuh. Orang-orang Desa Waringinsungsang tersentak manakala mendengar adzan yang digemakan melalui loudspeaker dari arah surau tua itu. Lantaran sudah limapuluh tahun, surau itu telah sepi dari jemaah.
Lewat kabar dari mulut ke mulut, orang-orang Waringinsungsang mengetahui bahwa surau tua di tepian desa itu telah hidup kembali berkat Abah Musyafie. Abah Musyafie berbangga hati. Saat Ramadhan tiba, surau itu kembali diramaikan oleh jamaah. Mengingat masjid baru di tengah desa tidak mampu menampung jumlah jamaah yang selalu membludak di malam Ramadhan pertama.
Pada malam Ramadhan minggu pertama, jamaah yang memenuhi surau tua itu mencapai tiga saf. Pada minggu ke dua, jamaah tinggal satu saf. Pada minggu ke tiga, jamaah tinggal dua orang. Abah Musyafie, dan seorang lelaki berjenggot putih hingga ke dada yang memperkenalkan dirinya bernama Mbah Haji Bustamie. Salah seorang sesepuh yang dihormati di Desa Waringinsungsang.