Mohon tunggu...
Evi Siregar
Evi Siregar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen-peneliti

Bekerja di sebuah universitas negeri di Mexico City.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Pembelajaran-Pengajaran Bahasa, Sebuah Catatan

3 April 2019   03:51 Diperbarui: 30 April 2019   04:08 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto: Evi Siregar

Proses belajar-mengajar di kelas mencakup tiga komponen, yaitu pengajar-materi-siswa. Seorang pengajar memiliki beberapa tugas, karena dia harus menjadi tutor, pendidik, dan guru; akan tetapi, pada saat yang sama dia juga harus bertindak sebagai peneliti. 

Oleh karena itu, seorang pengajar, mau atau tidak, harus memiliki pengetahuan yang mencakup disiplin-disiplin tersebut, ketika ia terlibat dalam proses belajar-mengajar. Tentu saja, seorang pengajar harus menguasai materi yang diberikannya. 

Dalam banyak diskusi, ketika kita berbicara tentang proses belajar-mengajar, kritik-kritik biasanya berfokus pada pengajar dan bahan ajar. Banyak yang melupakan perhatian terhadap siswa.

Untungnya paradigma telah berubah dan sekarang dianggap bahwa siswa memiliki bobot yang penting dalam proses belajar-mengajar. Sebagai contoh, dalam diskusi tentang kualitas pendidikan, yang sebenarnya bukan merupakan tema baru, disebutkan bahwa salah satu kriteria untuk mencapai kualitas pendidikan adalah untuk memenuhi kebutuhan setiap siswa di dalam kelas. 

Hal ini terlihat dalam perubahan definisi kurikulum dari waktu ke waktu. Pada tahun 60an konsep kurikulum mengacu pada serangkaian perencanaan sekolah untuk mencapai hasil tertentu dalam proses pembelajaran (Inlow 1966; Neagley dan Evans, 1967; Johnson, 1967). 

Pada tahun 80an muncul gagasan bahwa kurikulum merupakan hasil kerja guru terhadap kegiatan anak-anak di sekolah (Stenhouse, 1987) dan istilah belajar-mengajar sebagai satu komponen semakin digunakan. 

Sebagai contoh, Joyce dan Weil (1985) mengatakan bahwa proses belajar dan mengajar di kelas adalah proses yang terjadi secara bersama-sama; jika kita berbicara tentang proses mengajar, pada waktu yang sama kita berbicara tentang proses belajar; artinya, kedua proses tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 

Oleh karena itu, pemisahan antara konteks mengajar dan belajar telah berhenti digunakan, dan telah diputuskan untuk menggunakan istilah belajar-mengajar sebagai satu kesatuan. Tidak hanya itu, sekarang bahkan proses belajar-mengajar di kelas mengacu pada komunikasi segitiga antara pengajar-materi-siswa dalam satu hubungan timbal balik.

Mengenai masalah belajar-mengajar dan akuisisi L2 (bahasa kedua, yang dapat diartikan sebagai bahasa asing), Macaro dan Cohen (2010) membuat diskusi yang cukup luas dan kritis tentang apa yang disebut sebagai strategi yang berfokus pada pembelajar bahasa. Perdebatan berfokus pada strategi siswa yang digunakan dalam proses akuisisi L2 dan produksi L2 di kelas. 

Sebenarnya, penelitian strategi yang berfokus pada pembelajar bahasa telah muncul sejak awal tahun tujuh puluhan, yang disosialisasikan peneliti-peneliti Joan Rubin, David Stern dan Neil Nailman, dan merupakan bagian dari perubahan paradigma mendasar dalam pembelajaran bahasa dari paruh kedua abad kedua puluh. 

Namun, gagasan strategi ini belum begitu jelas, sampai akhirnya Mayer (1988) mengusulkan bahwa istilah strategi yang berfokus pada pembelajar bahasa mengacu pada "perilaku siswa yang mempengaruhi mereka dalam proses mendapatkan informasi". 

Mayer (1988) menjelaskan bahwa strategi ini terkait dengan empat komponen, yaitu "instruksi, proses pembelajaran, hasil pembelajaran dan kinerja" (h.14). Sementara itu, Dansereau (1985) menekankan bahwa tujuan dari strategi ini secara umum adalah untuk memaksimalkan potensi dalam proses pembelajaran (dari pihak siswa atau pembelajar), karena strategi pembelajaran yang efektif mengacu pada serangkaian proses dan langkah yang dapat memfasilitasi perolehan, penyimpanan dan atau penggunaan informasi. 

Terlepas dari kenyataan bahwa ada banyak kritik terhadap strategi tersebut dan bahwa masih perlu dilakukan banyak penelitian mengenai pembelajaran dan pengajaran L2, pendekatan ini cukup dipertimbangkan secara serius. 

Alasan-alasannya adalah: pertama, karena strategi tersebut dapat didefinisikan sebagai aktivitas-aktifitas yang dapat digunakan sebagai respons terhadap masalah pembelajaran dan pengajaran bahasa; kedua, karena strategi tersebut terbukti dapat meningkatkan keberhasilan belajar, dapat diajarkan secara eksplisit, dapat diakses siswa/pembelajar, dan didokumentasikan para peneliti (Macaro dan Cohen, 2010, h. 27-28).

Dalam proses akuisisi L1 (bahasa ibu atau bahasa pertama), Chomsky (1965) menyebutkan bahwa secara alami manusia memiliki kapasitas yang sama untuk memperoleh pengetahuan bahasa. Artinya, seorang anak yang lahir di Cina, secara alami mampu memperoleh bahasa Cina. Dan jika anak itu lahir di Arab Saudi atau di Rusia, secara alami dia bisa memperoleh bahasa Arab atau Rusia. 

Chomsky (1972), melalui teorinya tentang kompetensi linguistik, menjelaskan bahwa dalam proses produksi dan persepsi bahasa di dalam otak seorang pembicara, yang pertama terjadi adalah "berkonsultasi" kepada struktur kalimat (sintaks), sebelum memilih kata-kata (kosakata) yang akan digunakan untuk mengekspresikan ide-ide. 

Meskipun teori tatabahasa generatif Chomsky banyak dikritik, teori ini telah menjadi salah satu teori terpenting sepanjang sejarah, terutama untuk menjelaskan proses akuisisi konseptual bahasa.

Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana dalam proses akuisisi L2? Apakah sama dengan L1? VanPatten dan Williams (2015) berpikir bahwa "fitur luar biasa dari akuisisi L2 yang membedakan pembelajaran L1 adalah bahwa siswa/pembelajar sudah mengetahui L1, yang harus diatasi dalam proses akuisisi L2" (h. 19). 

Kedua peneliti tersebut berpendapat bahwa, dari sudut pandang behaviorisme dan linguistik struktural, akuisisi L2 dilihat sebagai akuisisi perilaku baru, sebuah proses yang dihalangi L1. Mengapa L1 menghalangi prosesnya? Mereka menjelaskan bahwa agar berhasil mendapatkan L2, L1 harus diatasi, tetapi hasilnya tidak segera pada saat itu juga. 

Kegagalan sering terjadi, dan itu terjadi di dalam proses transfer, karena ada jarak antara L2 dan L1. Jika L2 dan L1 serupa, jaraknya pendek atau kecil; sebaliknya, jika L2 dan L1 berbeda, jaraknya panjang atau besar. Jarak ini menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dalam proses transfer.

Tentu saja, perolehan bahasa, seperti pengetahuan lainnya, tidak hanya didapat melalui proses empiris sederhana, tetapi juga melalui proses kognitif; atau dengan kata lain, pemerolehan bahasa harus melalui proses pembelajaran. 

Oleh karena itu, pengetahuan bahasa merupakan konstruksi empiris dan kognitif. Sebagai sebuah konstruksi empiris dan kognitif, hingga waktu tertentu itu akan menjadi model mental. Untuk memperjelas gambaran mengenai proses ini, kita dapat mengambil kasus lain yang berbeda. Selera tiap-tiap manusia, misalnya, juga dibangun melalui proses empiris dan kognitif. 

Ketika seseorang mulai mengalami satu rasa baru, referensi untuk "memenuhi syarat enak dan tidaknya" rasa baru itu, didasarkan pada konstruksi rasa yang telah dimilikinya sebagai model mental. Itu sebabnya, kebanyakan orang berpikir bahwa makanan penutup seharusnya manis, tidak pahit, dan makanan yang baik tidak bisa berwarna hitam, karena itulah yang dikatakan model mental. 

Meskipun prosedurnya tidak persis sama, struktur bahasa pertama juga melakukan hal yang sama dengan rasa, karena menjadi referensi ketika seseorang belajar bahasa yang berbeda. Asosiasi ini dapat menjelaskan bahwa kesalahan yang sering terjadi dalam produksi L2 disebabkan "gangguan" struktur bahasa pertama; karena pikiran bekerja secara otomatis, berdasarkan struktur itu, karena itu merupakan model mental. 

Setidaknya, ini terjadi dalam kasus pembelajaran Bahasa Indonesia bagi penutur bahasa Spanyol dan pembelajaran bahasa spanyol bagi penutur Bahasa Indonesia. Namun demikian, penelitian mengenai topik ini harus terus digiatkan, terutama pada kasus-kasus dua bahasa yang memiliki perbedaan yang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun