Puisi : Edy Priyatna
Dambanya akan aku terbang bersama. Selanjutnya burung unggas malam sebaliknya. Kendatipun medan cukup sulit menelan segala. Semua energi bila ke kampung halamanku. Beranda selama waktu masih terus berjalan. Untuk kembali turun pada pagi hari.
Kesatu bertaut ketika kita masih terai. Mencoba asing tak ada rasa selain duka. Gelisah melangkah di jalan itu bulat polos. Terbuka tidak terselubung bergerak tunagrahita. Pedar masygul sedih seperti gagal membisu. Membatu dalam kekecewaan membelenggu.
Mendinginkan hibur kemudian sampailah. Sang pemimpin besar maju ke podium. Menggunakan dengan raut wajah memancarkan. Wibawa siar sorot mata nan menyembilu. Sinyalir menganginkan ketegasan lalu. Mulailah beliau mengeluarkan teks pidato.
Pembukaan dasar membentang akhirnya. Keputusannya kasuspun berbuntut panjang. Berjarak setiap saat kau mesti besanding. Pedas mengikuti kemana berongsang sewot. Berjejak cantik ini nan telah bergulat keras. Membanting tulang dari kantong baju kebesaran.
Pahit lidah terbukti ada cinta nan hilang. Demi sayap retak kelihatan ada cinta nan sirna. Lumayan pada ekor terpatuk lawan terbukti. Benar ada rasa rindu dalam pada tembolok. Lambung merambat ke paruh muncung. Membawa dirimu alam ke khayalan tidur.
(Pondok Petir,16 September 2019)