Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wiranto Ditusuk, Simpati atau Mengutuk?

11 Oktober 2019   09:41 Diperbarui: 11 Oktober 2019   11:44 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejadian yang menimpa Menkopolhukam Wiranto tentu membuat manusia normal mengurut dada. Kenapa saya katakan manusia normal? Ya nyatanya banyak warga dari negara ber-flower ini yang justru tak punya simpati dan empati. Menganggap kejadian tersebut hanyalah mainan bahkan sandiwara.

Warga +62 ini memang selalu ada saja yang tidak mau melihat sebuah kebenaran secara nyata. Anggap saja ketika pengamanan terhadap Wiranto sangat ketat, pasti akan dikomentari. "Cuma menteri saja kok over acting, Sementara presiden ngga segitu amat."

Begitu ada kejadian percobaan pembunuhan seperti di Pandeglang, komentarnya berbeda lagi. "Pengamanan untuk menteri terlalu longgar." Jadi pertanyannya, mau yang longgar atau ketat? Seolah tidak ada yang benar sama sekali.

Di balik kejadian yang menimpa Jenderal Wiranto tersebut, terbukti negara ini memang sudah sangat mengkhawatirkan. Perang di dunia maya sangatlah nyata dan memerlukan perhatian lebih serius. Apakah negara ini lemah? Tentu tidak. Tentara dan polisi negara ini sangat kuat. Persoalannya adalah, perang saat ini tidak terjadi di alam nyata. Perang di belantara maya sungguh lebih berbahaya.

Ketika setiap penduduk negara ini sudah memiliki telepon seluler, maka setiap warga dengan mudah bisa diberikan penanaman ideologi di pikiran bawah sadarnya. Dan itu tidak hanya berlaku untuk warga biasa. Aparat dengan pangkat yang mentereng pun bisa dengan mudah diberikan pemahaman ideologi yang mengancam negara ini.

Tengok saja di belantara maya, istri seorang oknum tentara dengan pangkat komandan wilayah di salah satu daerah di Tanah Air pun dengan santuy-nya berkomentar atas kasus Wiranto hingga seolah 'bersyukur' atas kejadian itu. Lalu, tidakkah wanita ini berpikir, bagaimana kalau suaminya yang jadi korban penusukan itu?

Lantas kenapa penanaman ideologi yang mengancam keutuhan negara ini mudah merasuk ke hampir seluruh sendiri kehidupan negara ini? Bahkan menerobos masuk ke level kementerian dan lembaga tinggi negara ini? Ya, media sosial yang ada di genggaman adalah pintu masuk yang sangat mudah.

Coba perhatikan, bahkan lihatlah diri sendiri. Berapa lama waktu yang digunakan saat memegang handphone. Mungkin dari 24 jam, hanya 4 sampai maksimal 8 jam tidak memegang telepon pintar. Sebab faktanya, mandi pun ada yang membawa handphone. Bahkan tidur pun ada yang masih dalam posisi memegang 'benda ajaib' itu.

Ketika mendalami ilmu teknologi pikiran di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology di Surabaya, saya pun mempelajari skala kedalaman pikiran bawah sadar dengan semua indikasinya. Sehingga bisa diketahui skala kedalaman pikiran sadar seseorang melalui ciri-ciri yang muncul.

Sebagai contoh, saat seseorang sedang menatap layar handphone, saat itu pula orang itu dalam kondisi hipnosis, pikiran bawah sadarnya terbuka lebar. Apa indikatornya? Lihatlah ketika orang sedang berhadapan dengan HP-nya. Ada yang ketawa dan senyum sendiri, itulah bukti kondisi hipnosis, pikiran bawah sadarnya terbuka lebar.

Dalam kondisi itulah, semua informasi dan data yang dibaca dari ponsel akan masuk ke pikiran bawah sadar dengan cepat, tanpa penghalang sama sekali. Maka penanaman ideologi yang mengancam persatuan dan kesatuan negara ini, sangat mudah dilakukan hanya dengan sebaran konten di media sosial.

Semakin sering terpapar informasi seperti itu, maka semakin kuat pula ideologi itu tertanam. Apalagi jika dibarengi dengan simbol-simbol agama, dampaknya akan berlipat ganda lebih kuat. Kenapa? Karena letak agama ada di pusat pikiran bawah sadar. Apa pun yang menyangkut agama, akan diterima dengan cepat tanpa penolakan. 

Menolak sesuatu yang ada simbol agama, dianggap dosa besar dan neraka tempatnya. Faktor kritis pikiran bawah sadar tidak akan mampu lagi melakukan penyaringan dan menganggap semua data dan fakta itu sebagai sebuah kebenaran.  

Fakta yang terjadi saat ini, teroris tidak melulu adalah seseorang yang mengangkat senjata dan melakukan bom bunuh diri atau melakukan aksi kekerasan. 

Teroris sesungguhnya adalah mereka yang menebar konten kebencian dan selalu sembunyi di balik layar. Sebab, merekalah yang kemudian mampu menembus pikiran bawah sadar ribuan bahkan jutaan orang di bumi ini.

Konten dibalas dengan konten. Itulah yang harus dilakukan. Nyatanya, pemerintah memang kewalahan menghadapi serbuan konten digital yang merusak persatuan bangsa ini. Akan selalu ada kelompok yang ingin negara ini satu warna dan satu aliran saja. Padahal nyatanya, indahnya taman berasal dari warna bunga yang berbeda-beda.

Penulis usai mendapat kuliah umum dari Wiranto di Lemhannas, 2018. dok pribadi
Penulis usai mendapat kuliah umum dari Wiranto di Lemhannas, 2018. dok pribadi

Entah, hidup seperti apa yang diharapkan para 'teroris digital' ini . Namun yang pasti, di pikiran bawah sadar para pelakunya, kebencian sudah merasuk sampai ke sel tubuh paling dalam. Sehingga kebenaran sebesar gunung pun tetap akan tak ada gunanya karena gumpalan kebencian tadi.

Semoga saja, di Hari Kesehatan Jiwa se-Dunia ini, masih banyak warga bangsa ini yang waras dan sehat baik secara fisik dan mental. Andai saja setiap individu mau menggunakan nurani dan akal sehatnya, pastilah negara ini sudah maju melesat.

Sayangnya, lagi-lagi kebencian sudah merasuk sampai berkarat. Semoga Allah tetap memberikan kesehatan fisik serta kesehatan mental dan kejiwaan yang maksimal untuk sahabat semuanya. Sehingga, apa pun yang terjadi pada negeri ini, kita tetap bisa semangat dan tersenyum menghadapinya.

Bagaimana menurut sahabat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun