Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membaca Politik Simbolik Busana Adat ala Presiden Jokowi

19 Agustus 2017   09:53 Diperbarui: 21 Agustus 2017   18:04 15988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi dan JK seakan menyentil kelompok-kelompok dari komponen bangsa ini yang sudah kebelet ingin membangun sebuah dinasti dengan sistem baru, dengan berlabelkan dan berbasis agama. Semuanya ingin diseragamkan. Mereka mencoba mendoktrinasi pemahaman umat bahwa ada sebuah sistem pemerintahan yang cespleng. Semua problem bangsa akan terselesaikan dengan sendirinya bila menerapkan sistem pemerintahan 'cespleng' ini.

Ibarat obat mujarab bila diminum akan langsung menyembuhkan semua "penyakit". Mau mengentaskan kemiskinan, ya berpalinglah ke sistem ini. Mau memerangi ketergantungan politik dan ekonomi, ya tengoklah sistem ini. Mau memberantas penyakit mental serekah bin kemaruk alias korupsi maka peganglah sistem itu.

Pokoknya semua sistem nilai yang bukan berasal dari 'langit' tidak akan sanggup menyelesaikan semua problem bangsa dan negara. Karena pada dasarnya semua produk manusia pasti bersifat thogut, sehingga tidak akan mampu mengatasi semua permasalahan. Alih-alih menyelesaikan, konon malah akan membuat permasalahan semakin tumbuh subur berkelindan karena telah berkolaborasi dengan sistem thogut (setan).

***

Peringatan HUT kemerdekaan RI yang ke-72 tahun ini mengusung  tema "72 Tahun Indonesia Kerja Bersama". Pemerintah tidak hanya sekedar mengusung logo dan tema tersebut. Tapi rupanya hal itu mengandung makna yang sangat dalam dan luas.

Makna tersebut secara simbolik ditunjukkan oleh Presiden dan Wapres yang mengenakan pakaian adat saat menghadiri sidang tahunan pembacaan pengantar nota RAPBN tahun 2018 di gedung MPR/DPR RI pada tanggal 16 Agustus 2017. Hal yang sama kemudian ditunjukkan kembali oleh Presiden dan Wapres beserta seluruh anggota kabinet dan tamu undangan untuk berbusana adat saat menghadiri peringatan 17 Agustus 2017 di istana negara. Sebuah panorama yang indah yang menunjukkan keberagaman dan kebersamaan. Sebuah tekad untuk mengajak semua elemen bangsa agar bersatu padu dan bergotong royong membangun negeri.  


Secara umum logo dan tema HUT kemerdekaan RI yang ke-72 itu menjadi representasi semangat gotong royong untuk membangun Indonesia menuju masa depan yang lebih baik (logo).

Menyaksikan keberagaman budaya melalui busana adat yang dipakai Presiden dan Wapres, anggota kabinet dan seluruh tamu undangan terbersit optimisme baru. Optimisme yang menyiratkan bahwa negeri besar nan indah permai yang dijuluki zamrud khatulistiwa ini mampu merajut asa bersama dalam kebersamaan dan semangat kegotongroyongan.

Ternyata Presiden Jokowi yang awalnya sangat disangsikan mampu menyelesaikan semua problem bangsa, mampu menunjukkan politik tingkat tinggi (high politics). Jokowi mampu menunjukkan komunikasi politik yang sangat soft dan elegant nan ciamik, serta sekaligus mampu meredam semua potensi yang ingin merongrong kekuasaannya.

Jokowi mampu menampilkan citra diri yang sangat berkebalikan dengan stigma negatif yang disematkan kepadanya sejak awal. Sejak mula, Jokowi dikesankan sebagai (calon) pemimpin yang klemar-klemer dan tidak tegas, tapi kemudian anggapan itu malah bermetamorfosa 180 derajat (masih menurut penilaian kelompok sakit hati) sebagai pemimpin diktator. Lewat komunikasi politik ala busana tradisional, Jokowi mampu merangkul semua komponen bangsa yang berbeda ideologi untuk bersatu, bersama, dan bergotong royong bekerja bersama membangun ke-Indonesia-an sejati.

Boleh jadi Presiden Jokowi sudah merasa jengah melihat ulah sebagian anak bangsa yang tanpa risih dan sok pintar mencoba merusak tatanan kebangsaan dengan berusaha menciptakan ketegangan antarkelompok dan elemen bangsa. Berusaha mengadu domba dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa dalam pluralitas yang beragam dengan  mencoba membenturkan satu dengan yang lainnya melalui isu SARA. Sehingga nyaris lebih separuh waktu sejak akhir 2016 s.d. pertengahan 2017 ini, atmosfir politik negeri sangat pengap dan menggerahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun