Mohon tunggu...
Fitri Syayidah Elok Faiqoh
Fitri Syayidah Elok Faiqoh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wife, Mom, Writer

Be Your Self

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Ribuan Daun

19 September 2017   22:30 Diperbarui: 19 September 2017   22:50 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bau pedesaan telah melekat pada diriku yang kecil, pagi buta turun embun rintik, embun tak perlu warna untuk membuat daun jatuh hati padanya. ntah mengapa sejak aku berumur 10 tahun sering sekali menanan tanaman, mulai dari yang hanya berdaun tanpa bunga, hingga yang berdaun dan berbunga. hobby kecil itu tersemai saat aku seringkali melihat ustadku bercocok tanam. dalam luasnya pondok pesantren yang tak seberapa besar, yang tak seberapa banyak santri yang tak bermukim di pondok pesantren tersebut. 

banyak tanaman yang tertanam, disamping ruangku mengaji banyak sekali macam tanaman, sehingga aku betah disana. sering juga aku meminta tanaman kepada ustadku untuk kutanam disekitar halaman rumahku. hingga suatu hari aku melihat setangkai mawar yang merekah berwarna merah.

"ustad, bolehkah mawar itu aku ambil" kataku yang masih berumur 10 tahun

"jangan, biarlah mawar itu tetap terjaga, hinnga suatu hari nanti ustad petik sendiri" balas ustadku

ntah mengapa saat itu aku tak mengerti apa yang di ucapkan ustad padaku. aku yang kecil hanya bisa menurut kata-kata ustad. hingga suatu hari ada ustadzah baru, kufikir beliau orang yang sabar dan tulus untuk mengajar kami ngaji. memang benar tebakanku, ustadzah begitu sabar, tulus, bahkan melebihi apa yang kuduga. ustadzah begitu penyayang, sopan, pemalu, dan juga parasnya yang cantik membuat ustad yang lain tertarik dengannya.

"ustad, hari ini aku ngaji di ustadzah saja ya" kepolosanku berkata

"iya, silahkan nduk (bahasa jawa memanggil anak perempuan) ngaji sama ustadzah saja, kebetulan ustad hari ini ada kepentingan lain" balas ustadku.

berselang waktu beberapa hari, aku kecil sering mengaji di ustadzah, ustad mulai sibuk dengan pekerjaan barunya. kadang berkebun di taman, menambah tanaman-tanaman yang baru, sedangkan ustadzah memandu kami belajar mengaji. namanya ustadzah nurul, senyumnya merekah.

namanya anak kecil ya suka banget kalau ustadzahnya penyayang. setiap pulang mengaji, aku tak lupa sejenak untuk melihat tanaman baru yang ditanam oleh ustadku. jika tanamannya sudah beranak pinak, aku memintanya untuk kutanam disekitar halaman rumah. begitulah aku kecil. sampai beberapa tahun aku tetap saja seperi itu. tak ada kejenuhan yang aku rasakan selain merasa senang mendapat banyak tanaman dari ustad. hingga suatu hari aku beranjak remaja, sehingga santri ada yang melirikku. ada juga yang mengutarakan perasaannya padaku. ntah apa yang dilihat dariku. sampai terkadang keponakan kyai pondok menggoda centil. 

"mbak elok.. mbak elok.." memanggil namaku 

aku tertunduk malu, mengapa dia bersikap seperti itu. kadang aku mempercepat langkahku agar tidak di panggil-panggil melulu. tahun ini juga menjadi sedih sepiku. pertengahan kelas 3 MTs aku memutuskan tak mengaji lagi. karena pulang sekolahku sore. ada les tambahan untuk kelas 3. namun dalam hati kecilku.. aku rindu tempat mengajiku, aku ingin sekali kembali ketempat dimana aku mendapat dedaunan, mendapat selembar dua lembar bahkan berlembar-lembar ayat-ayat Al-qur'an. sehingga aku cukuplah merindu untuk itu. 

suatu hari saat aku tak lama mengaji, kudengar-dengar banyak anak-anak yang sudah tak mengaji lagi. betapa sedihnya aku dan dedaunan yang telah aku tanam disekitar rumah, kenangan tetaplah kenangan, dedaunan semakin merimbun beranak pinak. sementara aku tak mengaji lagi. mana bisa ilmu ngajiku beranak pinak seperti dedaunan yang aku tanam mulai dari 5 tahun yang lalu. kudengar juga ustad mau menikah, ustadzah juga. apakah mereka berdua setelah menikah tetap mengajar ngaji. pertanyaanku terpaku dalam hati. tak mau ada yang menjawab.

sepertinya benar, ustad dan ustadzah tak lagi mengajar ngaji setelah menikah. bagimana nasib anak-anak yang masih mau ngaji yaa? sekali lagi pertanyaanku terpaku dan tak mau ada yang menjawab. baiklah ustad ustadzahku.. terimakasih ilmu yang engkau berikan selama ini padaku, ilmu ngaji yang berharga bagiku, selamat menempuh hidup baru ustad ustadzahku, kiranya kita dapat berjumpa lagi, aku takkan melupakan kalian. tetap kutegur sapa walau kalian telah lupa dengan aku. karena sejatinya manusia adalah pelupa.

dan ternyata ustad ustdzah bukanlah jodoh, beliau-beliau menikah dengan orang lain. kukira mereka berdua menikah. ternyata kalau tak jodoh pastilah tak bersatu. ustadku menikah dengan murid ngajinya sendiri sebut saja dia kakak kelas yang jauh lebih tua dariku, ustdzah di jodohkan dengan ustad lain di daerah sebrang. aku dan ribuan daun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun