Ya begitulah, terkadang kita yang sudah mengetahui, bahwa kekasaran, teriakan, dan segala cacian yang negatif bukanlah sebuah solusi yang terbaik, pun hanya mampu terdiam tak berdaya. Namun dengan berjuta rasa bersalah yang mendera dalam dada, karena ketidakmampuan kita, karena itu bukan wilayah, bukan hak kita.
Maka tatkala saya mendapati cerita demikian, ini justru memberikan sebuah pelajaran yang teramat berharga.
"Ketika kita, mengambil keputusan untuk menjadi seorang guru atau pengajar, entah guru apapun itu. Baik di sekolah formal, TPQ atau bahkan guru les, sungguh, tak hanya sebuah amanah yang luar biasa besar atas kita pada diri dan jiwa anak-anak didik kita, namun juga ada kesempatan dan wewenang (ekstrimnya kekuasaan) atas kita pada jiwa dan pemikiran mereka, selagi mereka berada pada "jam belajar" dengan kita. Kita akan menjadi salah satu sosok yang memiliki peran untuk membentuk mereka."---Apriani Riza.
Maka, mendidiklah dengan hati, agar fitrah keimanan mereka dapat tumbuh merekah. Karena sungguh, ketika seorang anak telah beriman, maka (InsyaAllah) imannya yang akan menggerakkan mesin dalam dirinya, baik tubuh, pikiran, maupun semangat, untuk berbuat yang terbaik yang dia mampu lakukan. Bahkan, terkadang melebihi batasan kotak dirinya.
Dan untuk penutup dari tulisan ini, mari kita berbuat dan menanamkan kebaikan pada jiwa anak-anak disekeliling kita yang teramat lembut itu, dengan cara yang baik dan santun. Pendidikan itu bukanlah dengan kekerasan, melainkan dengan kelembutan dan kasih sayang. Bahkan, dalam urusan dakwah pun, setiap dai diperintahkan untuk menyeru umat manusia dengan cara yang lembut, bijaksana, dan memberikan nasihat yang baik. (QS an-Nahl [16]: 125).