Meski tidak mengatakan apa-apa, aku tahu Ann sangat menginginkan gaun itu. Gaun berwarna biru yang terpajang di etalase sebuah toko pakaian. Aku bisa melihat mata Ann berbinar setiap kali kami melewati depan toko itu.
“Kalau ada rezeki, aku akan membelikan gaun itu untukmu, Ann,” ujarku seraya menggengam erat jemarinya. Ann tidak menyahut. Ia hanya tersenyum kecil, lalu mengajakku bergegas meneruskan langkah.
Begitulah Ann. Ia selalu pandai menyembunyikan perasaannya. Dan aku, sebagai suaminya kerap mengutuk diri sendiri, mengapa hingga saat ini belum bisa menyenangkan hatinya. Bahkan sekedar membelikan gaun yang harganya tidak seberapa mahal pun aku belum mampu.
“Kenapa melamun?”
“Oh, tidak. Aku hanya berharap minggu-minggu ini banyak lemburan. Supaya bisa membelikanmu...”
“Rus, aku tidak minta dibelikan gaun itu.”
“Iya, aku tahu, Ann. Akulah yang ingin membelikannya untukmu.”
Ann meraih tanganku. Diciumnya punggung tanganku dengan mata terpejam.
“Terima kasih, Rus. Kau baik sekali. Tapi sekali lagi aku tidak menginginkan apa-apa darimu. Aku sudah cukup bahagia dengan curahan cintamu. Itu lebih berharga dari apapun.”
Aku terdiam. Menatap wajah Ann dalam-dalam.
***