Saat menuliskan ini berbagai rasa berkecamuk dalam hatiku. Padahal itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kini aku sudah memiliki kehidupan sendiri bersama istriku dan anakku yang masih batita. Ketika menatap mata bening itu, seakan seluruh luka yang kututupi terbongkar begitu saja. Menusuk segala rasa kebahagiaan yang telah susah payah kubangun.
Perempuan itu memiliki mata bening. Mata yang senantiasa memancarkan cahaya harapan. Membuat banyak lelaki tergila-gila padanya, termasuk  diriku. Aku yang saat pertama berkenalan dengannya sudah memiliki kekasih. Namun karena satu hal aku akhirnya memutuskan ikatan pertunanganku dengan kekasih tercinta.Â
Salah satu hal tersebut adalah kehadiran perempuan bermata bening. Perempuan  yang memiliki suara tawa yang khas, senyum yang menarik, dan asyik diajak berbicara membuatku terpesona. Kehadirannya yang membuat hatiku merasa senang dan tenang.
Sepuluh tahun yang lalu, aku bertemu dengan ibu dari perempuan bermata bening di sebuah stasiun kereta api. Sang ibu tidak tega melepas anak gadis satu-satunya untuk pergi ke kota metropolitan, Jakarta.
"Mas, saya nitip dia ya" Â perempuan setengah baya itu memegang pundak anaknya, perempuan bermata bening.
Perempuan bermata bening tampak berkaca-kaca harus berpisah dengan ibunya.
"Tenang saja bu, Amanda kan sudah besar" kataku seraya membawakan tas ransel  Amanda.
"Makasih ya Mas...Maaf namanya Mas siapa?"
"Panggil saja saya Angga" kataku.
"Mas Angga nitip Amanda ya, kalau bandel marahin saja" kelakar ibu yang kutaksir usianya masih empat puluh tahunan itu.
Sang ibu pun memeluk anaknya, perempuan bermata bening.Â