Mohon tunggu...
Eka Adhi Wibowo
Eka Adhi Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang yang tiada lelah menimba ilmu

Dosen Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Itu Radikalisasi, Lesi, dan Edukasi?

24 Mei 2017   14:51 Diperbarui: 24 Mei 2017   14:57 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semula saya ragu untuk menuliskan permasalahan ini, karena bukan bidang ilmu yang saya pelajari. Tetapi jika hanya diam dalam keraguan maka tidak akan menemukan jawaban. Beruntung ada kompasiana yang di dalamnya terdapat penulis-penulis dari berbagai macam latar belakang ilmu dan saling berinteraksi satu sama lain. Dengan menuliskan di rumah kompasiana ini saya harap ada penulis-penulis dari latar belakang ilmu khususnya psikologi yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam tulisan ini. Itulah sebabnya judul tulisan ini saya beri banyak tanda tanya.

Radikalisasi

Radikalisasi begitu menguat akhir-akhir ini, tidak hanya di negara kita saja, kita belum lama mendengar ada kelompok radikal yang melakukan bom bunuh diri di Manchester, Inggris. Berita-berita mengenai radikalisasi telah banyak mengisi muatan berita-berita di media massa. Fakta dan fenomena tersebut membuat saya bertanya: kenapa seseorang bisa menjadi begitu radikal, memiliki wawasan yang sempit dan intoleran terhadap perbedaan, sementara dari sisi pendidikan kaum radikal tersebut ada yang telah mengenyam pendidikan yang tinggi, sangat ironis karena seharusnya semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin luas wawasannya dan semakin dapat menerima perbedaan dengan sikap yang bijak bukan malah bertindak yang merugikan orang lain?

Lesi

Menjadi kompasioner mendorong saya untuk semakin rajin membaca dan kebetulan saya menemukan buku berjudul Psikologi Kognitif karya Profesor Psikologi bernama Robert J. Stenberg. Buku tersebut membawa saya untuk mempelajari organ vital dalam tubuh manusia yang memiliki hubungan dengan perilaku si manusia itu yaitu otak. Ketika membaca saya menemukan istilah baru yang popular di dunia psikologi dan medis yaitu “lesi”. Lesi artinya kerusakan jaringan organ tubuh yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor fisik (luka, benturan dan penyakit), serta faktor sosial (pendidikan, lingkungan dan pergaulan). Lesi ini bisa terjadi pada semua organ tubuh termasuk otak. Dari yang saya pelajari saya menduga orang radikal yang berwawasan sempit kemungkinan mengalami lesi pada salah satu bagian di otaknya (tentu ini perlu pembuktian yang lebih mendalam oleh yang ahli untuk mengetahui benar atau tidaknya)

Edukasi

Selanjutnya buku yang saya baca tersebut menjelaskan tentang atensi. Saya hanya berani menduga fase atensi atau memperhatikan sesuatu ini terabaikan dalam pendidikan khususnya pada tingkat di mana anak-anak seharusnya dibentuk dulu karakternya. Contoh saja ketika anak berada pada tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak, mungkin belum saatnya diberi pengajaran kognisi (membaca, menulis, berhitung), karena mungkin memang belum masanya tahap perkembangan otak si anak diberikan pelajaran-pelajaran, namun metode pengajaran itu seperti dipaksakan yang mungkin bisa menimbulkan lesi pada otak anak. Lalu pengajaran apa yang seharusnya diberikan? bisa jadi masa itu adalah masa di mana anak belajar beratensi seperti memperhatikan orang berbicara, mengamati proses-proses alam, memperhatikan orang memasak dsb. Jika dipaksa untuk menerima pengajaran kognisi mungkin akan timbul lesi pada otak anak khususnya pada bagian otak yang berfungsi supaya seseorang berperilaku perhatian atas suatu hal, ketika dewasa maka akan berpotensi menimbulkan kebiasaan atau habituasi tidak memperhatikan. Sementara untuk memiliki wawasan yang luas, perhatian atau atensi itu diperlukan, hal ini diperparah lagi dengan pengajaran-pengajaran radikalisme pada anak yang sudah mengalami lesi pada otak karena dipaksa menerima pengajaran kognisi, ketika dewasa kemungkinan akan berlanjut pada habituasi atau kebiasaan untuk berperilaku radikal, intoleran dan merasa benar sendiri karena tidak mau memperhatikan hal-hal lain yang sebenarnya juga layak dan berguna untuk dipelajari di tengah-tengah masyarakat yang beraneka ragam.

Dampak lain yang bisa saya duga adalah dari tulisan-tulisan mengenai kualitas pendidikan di negara kita yang tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga ASEAN (misal: Singapura, Thailand, Filipina, Malaysia, Vietnam), kemungkinan ini dikarenakan adanya lesi pada bagian otak yang berfungsi atensi pada peserta didik, akibatnya hanya bisa menjawab pertanyaan hanya pada saat ujian, lalu lulus dengan nilai bagus tanpa memahami hakikat ilmunya sehingga ketika memasuki dunia kerja tidak dapat mempraktekkan ilmunya atau yang popular dikatakan siap adaptasi bukan siap pakai. Pada perlombaan-perlombaan ilmiah tingkat internasional pelajar-pelajar kita sering dapat juara, namun bangsa kita masih minim dalam inovasi dan kreativitas pada bidang-bidang ilmu tersebut.

Kondisi pendidikan yang mungkin salah metode ajar tersebut diperparah lagi dengan masuknya doktrin-doktrin radikalisme ke dalam pendidikan, seperti apa nanti generasi bangsa kita di masa depan? Sudah kemungkinan salah metode ajar yang menimbulkan lesi pada otak diperparah dengan doktrin-doktrin radikal yang ditanamkan di benak mereka, mungkin mereka kemudian berperilaku intoleransi atas perbedaan-perbedaan yang ada dan akan selalu ada di muka bumi ini.

Ini hanya dugaan saya saja sebagai orang yang tidak berlatar belakang ilmu psikologi, harapan saya semoga dugaan dan pertanyaan yang ada di tulisan ini dapat dijawab oleh teman-teman yang lebih kompeten dalam bidangnya. Apalagi psikologi di negara kita kurang begitu diapresiasi karena masyarakatnya lebih cenderung menyukai psikologi popular yang mengandung motivasi-motivasi instant, daripada psikologi ilmiah yang berlandaskan pada riset untuk keabsahan dan kevalidannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun