Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebudayaan Kuat, Radikalisme Minggir

8 April 2019   12:13 Diperbarui: 8 April 2019   12:20 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rembulan di Balik Belukar karya Biranul Anas Zaman (foto oleh Joko Dwiatmoko)

Sekarang tampak aneh ketika Indonesia teramat bangga mengusung produk luar yang belum tentu cocok dengan alam dan budaya bangsa. Agama memaksa diri untuk memaksa penganutnya kembali ke keaslian budaya padang pasir dengan hukum gurun yang keras.

Harusnya setiap agama mau mengalah untuk masuk ke Indonesia dengan merasuk kepada kegembiraan alam, ke  kesuburan alam semestanya dan mengarahkan rasa syukur, penyembahan pada Tuhan lewat produk kebudayaan yang memang unggul daripada negara lain. Agama Islam tampak keindahannya saat melakukan syiar lewat budaya wayang, gamelan, tarian- tarian yang bisa ditemui dari Aceh sampai Papua. Agama tidak perlu alergi dengan tradisi yang sudah ada turun temurun di Nusantara. Jika syiar agama diperkenalkan dengan suasana riang gembira, tidak doktriner alangkah bahagianya. Karena bagaimanapun susahnya petani, jika malamnya bisa bergembira berjoget dan memuji Tuhan lewat sholawatan,  dengan rebana, kendang dan lagu -- lagu persembahan  lebih menyenangkan daripada pengerahan massa dengan orasi dan khotbah yang cenderung anarkhis diserta ancaman- ancaman yang membuat takut orang yang mendengarkannya.

Lima elemen dasar Kebudayaan Menurut Radhar Panca Dahana

Radhar  Panca Dahana, penulis budayawan dalam artikelnya di Kompas Senin, 8 April 2019 hal 7 (Fokus Hidup Bernegara) mengingatkan Bahwa bangsa ini harus mulai menghormati tradisi dengan lima elemen dasar yaitu nilai, norma, moralitas, etika dan estetika. Kelima  elemen itu adalah muara kebudayaan.

Jika lima elemen itu sudah bersenyawa dengan tradisi masyarakat apapun pengaruh produk budaya dari luar Indonesia tetap akan kokoh. Dengan tradisi yang kuat Indonesia tidak akan mudah dijajah kebudayaan asing yang belum tentu selaras dengan kepribadian bangsa. Lihat Jepang meskipun mereka punya visi pada kemajuan teknologi canggih tetapi akar tradisinya tetap kuat sehingga jepang tidak mudah terombang- ambing oleh pengaruh budaya luar.

Menjadi Pencipta bukan Pengguna

Indonesia saya pikir terlalu silau dan kagum pada sesuatu yang berbau luar negeri. Pada dimensi rligi banyak terpengaruh budaya Arab, pada teknologi digital secara terbuka terjajah oleh produk budaya China dan Korea. Kini banyak anak lupa budayanya sendiri, mereka terpukau untuk menggeluti budaya baru, sebagai gamer, sebagai pecinta teknologi digital.

Memotret Gedung Kesenian di TIM. Kesenian dan kebudayaan memperkuat pilar bangsa( foto oleh Joko Dwiatmoko )
Memotret Gedung Kesenian di TIM. Kesenian dan kebudayaan memperkuat pilar bangsa( foto oleh Joko Dwiatmoko )

Untuk maju teknologi memang diperlukan tapi kalau hanya menjadi pengguna, Indonesia akan selalu terjajah. dan akhirnya tersisih dari persaingan global karena tidak terpikir untuk menjadi pencipta tetapi lebih senang menjadi penikmat teknologi.

Sudahlah para elite, mulailah berpikir untuk memperkuat akar budaya Indonesia. Terpukau boleh terlena jangan. Saya sendiri rindu untuk menyaksikan pertunjukan seni tradisi yang penuh filosofi dan muatan ajaran luhur nenek moyang bangsa ini yang memang sudah unggul. Lihat saja Candi Borobudur, Bisakah membayangkan  secanggih itu pemikiran nenek moyang membangun candi besar yang menjadi warisan Budaya Dunia.Salam Budaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun