Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Melepas Galau Saat Mati Listrik

27 Juni 2012   14:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:28 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan cerita inspiratif mengenai sekolah saya. Ini juga bukan cerita murid-murid saya yang istimewa. Ini adalah tentang genset, alat andalan kami dari gelapnya malam, sumber energi bagi ponsel, laptop dan alat-alat elektronik lain yang kami miliki. Hanya 4,5 jam.

Dulu ketika saya tinggal di Bogor yang notabene adalah wilayah perkotaan, jika sedang mati listrik, hal yang wajib dilakukan adalah ngedumel tentang tidak beresnya institusi PLN. Padahal, hanya dalam hitungan jam listrik padam. Mungkin bukan saya saja yang melakukan itu, kebanyakan orang yang sudah terbiasa hidup bergelimang listrik akan merasa jengkel dengan tidak adanya listrik.

Saat ini, di sini, saya sudah terbiasa hidup tanpa listrik pada siang hari, dan di dua pertiga malam terakhir pun saya rela-rela saja jika tidur dalam keadaan gelap. Hanya disambut sinar matahari pagi sebagai sinar pembuka di setiap hari-hari yang kami lewati, bukan cahaya neon seperti kebanyakan orang di kota. Juga hanya dengan ocehan burung-burung yang bersiul bergantian, bukan yang seperti biasanya, ada suguhan siaran berita televisi dengan anchor yang menarik untuk dilihat atau tontonan infotainment yang tidak penting yang masih selalu diputar di rumah-rumah sana, jauh dari tempat kami tinggal saat ini.

Hanya 4,5 jam, cukup. Cukup untuk membuat kami tetap hidup walau dengan listrik yang menyala dari pukul enam sore dan harus mati pukul setengah sebelas malam. Saya tidak pernah mengeluh, ngedumel, atau sejenisnya. Saya malah bersyukur karena bisa merasakan adanya listrik dibandingkan tidak ada sama sekali.

Hidup memang penuh misteri, sama sekali tidak pernah terpikir jika pada saat tertentu saya bisa berada di sini. Tempat yang mengajarkan saya banyak hal, termasuk untuk mensyukuri hidup.

Semoga orang-orang yang masih selalu jengkel ketika mati lampu yang sekejap saja bisa sedikit berempati kepada kami yang berada di sini, yang sudah sangat bersyukur bisa mendapat pasokan listrik dari sebuah alat bernama genset walau hanya 4,5 jam. Atau, kepada orang-orang yang masih hidup dengan lampu-lampu petromaks yang hanya sedikit mengeluhkan hidupnya.

Karena, saya yakin di belahan Indonesia yang lebih terpelosok dari tempat saya berada pun masih ada masyarakat yang lebih sedikit mendapatkan listrik ataupun tidak ada listrik sama sekali.

Percayalah hanya dengan berempati kita akan leih menghargai kehidupan yang kita miliki saat ini. Karena terkadang hidup dengan kesederhanaan akan terasa lebih bahagia, tenang, dan tak terbebani oleh pikiran-pikiran yang  tidak semestinya ada dalam pikiran kita.

Tulisan ini tidak saya tujukan kepada PLN untuk segera memasang instalasi listriknya pada kampung dimana kami tinggal, tetapi untuk orang-orang yang selalu mengeluh dengan apa yang mereka miliki saat ini. Tidak ada salahnya dan alangkah indahnya untuk urusan duniawi kita menengok ke bawah dan tidak selalu ke atas.

Tentang 4,5 Jam - Ditulis Oleh : Rusdi Saleh – Pengajar Muda Tulang Bawang Barat

---------***--------

Tulisan di atas jelas membantu saya yang kemarin-kemarin masih saja mengomel saat listrik mati tiba-tiba tanpa pemberitahuan “Kok...Pak Dahlan Iskan ga di PLN lagi, kambuh nih penyakit mati listriknya!”

Atau “Ga kira-kira jam segini mati lampu, udah tau jam kerja. Berapa kerugian industri dan kantor-kantor karena masalah ini?”

Dan jika pemadaman dilakukan di hari libur, saya yang awalnya berniat istirahat di rumah akan membuat keputusan singkat “yang penting pergi” sambil ngedumel : “Dah ah, kita pergi aja....daripada bete juga di rumah mati lampu, gelap...mati gaya...panas....dst dll”

Astaghfirullah.....

Benar sekali seharusnya saya pun bisa lebih mengingat saudara-saudara di pelosok tanah air yang baru bisa menikmati sedikit listrik, atau belum masuk listrik sama sekali.

Jadi ingat waktu kecil, di kampung kami juga belum ada listrik. Menyalakan lampu petromax hanya saat ada acara “kenduri/tahlilan” atau event sejenis.

Namun kami tak pernah risau meski sepanjang malam hanya diterangi oleh lampu teplok.

Canda dan tawa kami masih lepas....tak ada beban. Hidup kami bahagia....

Memang bisa saja kita bilang “Lah itu kan jaman dulu....apa kita mau berjalan mundur ke belakang? Apa jika ada sesuatu yang ga beres kita ga bisa komplain?”

Tapi coba pikirkan, seberapa bermanfaatnya omelan-omelan itu buat kita? Rasa kesal itu sesungguhnya menyiksa diri sendiri... apalagi jika yang dicomplain juga ga dengar....:)

Dan seberapa bermanfaatnya penyadaran diri dengan ”menengok ke bawah” itu bisa menolong kita?

Semoga pesan dalam tulisan di atas pun bisa menolong saya....sebagai senjata ampuh untuk mengusir galau di saat mati listrik.

Besok, lusa dan di hari-hari lainnya....

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun