Mohon tunggu...
didit budi ernanto
didit budi ernanto Mohon Tunggu... Freelancer - menulis kala membutuhkan

(ex) jurnalispreneur...(ex) kolumnispreneur....warungpreneur

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Menyoal Kemacetan Kota Bandung yang Lebih Parah dari Jakarta

26 November 2019   09:34 Diperbarui: 27 November 2019   04:00 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: jabarprov.go.id

Apapun hasilnya, upaya yang telah dilakukan oleh Pemkot Bandung dalam mengatasi kemacetan lalu lintas tetap perlu diapresiasi. Perlu diingat, penanganan masalah kemacetan lalu lintas bukan hanya domain pemerintah semata. Ada andil masyarakat di dalamnya. Itu berkaitan dengan faktor ketiga yakni perilaku berlalu lintas.

Bukan rahasia umum perilaku berlalu lintas kita jauh dari perilaku disiplin yang taat aturan. Sejumlah pelanggaran aturan lalu lintas dengan mudah dilihat secara kasat mata di jalan raya.

Parkir dan berhenti di sembarang tempat, menggunakan telepon seluler (ponsel) saat berkendara, melawan arus, tidak menggunakan lampu isyarat (sein) dengan semestinya, merupakan contoh pelanggaran yang secara kasat mata mudah dijumpai di jalan raya.

Berbagai perilaku tak disiplin yang dikatagorikan sebagai pelanggaran hukum. Sebab, ada aturan hukum yang dilanggar yakni UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Parkir sembarangan, misalnya, bisa menghambat kelancaran arus lalu lintas sehingga berpotensi menimbulkan kemacetan. Terhadap pelanggaran  pasal 160  UU LLAJ ini bisa dikenai sanksi kurungan paling lama 1 bulan dan denda paling banyak Rp 250.000.

Lantas, pelanggaran melawan arus di jalan raya bisa dikenai pasal 287 ayat 1 dan ayat 2 UU LLAJ. Demikian pula bila tidak menggunakan lampu isyarat dengan semestinya melanggar pasal 112 ayat 1 dan ayat 2 UU LLAJ yang bisa dihukum kurungan satu bulan atau denda Rp 250 ribu.

Tak hanya UU LLAJ yang dilanggar. Pelanggaran aturan hukum berupa peraturan daerah (perda) yang sebenarnya juga memuat sanksi terhadap si pelanggar.

Sosiolog Emile Durkheim berpendapat, setiap pelanggaran hukum atau aturan merupakan bentuk perilaku menyimpang. Sehingga dibutuhkan pengendalian sosial untuk mengatasinya, yakni melalui penegakan hukum atau aturan formal yang berlaku.

Memang, upaya pengendalian sosial melalui penegakan hukum ini telah dilakukan. Kendati demikian, kenyataannya pengendalian sosial itu belum cukup menjadikan masyarakat berperilaku disiplin dalam berlalu lintas.

Pengguna jalan hanya takut manakala ada polisi atau ada razia semata. Selebihnya, masyarakat dengan enteng tetap melanggar aturan di jalan raya.

Langkah maju telah dilakukan melalui sistem e-tilang seperti yang dilakukan di Jakarta maupun di Surabaya. Di mana dengan menggunakan kamera electronic traffic law enforcement (E-TLE) berbasis CCTV yang meliputi kamera pengenal plat nomor kendaraan otomatis, kamera check point serta pemantau kecepatan maka semua pelanggaran bisa dideteksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun