Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perantau Minang yang Paling Indonesia

19 Mei 2011   00:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:29 2112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karatau madang di hulu

Babuah babungo balun

Marantau bujang dahulu

Dirumah paguno balun

Kalimat kiasan inilah yang memicu, kenapa orang Minang pergi merantau. Kondisi perekonomian yang sulit, sawah garapan yang masa pengolahannya panjang,yang diistilahkan denganpadi yang hanya pulang sekali setahun. Kehidupan di kampung yang tidak menentu, penguasaan tanah pusaka pada saudara perempuan yang hanya boleh digarap saudara laki-laki namun tak boleh dikuasai.

Maka berangkatlah si buyung pergi merantau, dengan berbekal hanya beberapa potong pakaian, serta uang yang hanya cukup buat ongkos di perjalanan. Di iringi doa sang bunda, beserta pesan dalam pantun

Jikabuyung pergi kelepau

Hiu beli belanak beli

Ikan panjang beli dahulu

Jikabuyung pergi merantau

Ibu cari dunsanak cari

Induk semang cari dahulu

Kenapa induk semang yang di cari dahulu? Karena dengan mendapatkan induk semang inilah, si buyung bisa mempertahankan hidupnya selama di rantau orang. Pergi merantau tanpa modal, selain badan yang sebatang, apa yang bisa dilakukan kalau bukan mencari induk semang? Dengan induk semang, kehidupan sehari-hari sudah pasti terjamin. Tanpa harus jadi pengemis atau hidup menumpang sebagai pengangguran.

Dengan induk semang mulailah sebuyung belajar bekerja atau berniaga, apakah itu sebagai tukang cuci piring di rumah makan. Atau jadi anak buah ketika berdagang. Dari situlah sibuyung belajar hidup merintis masa depannya, sementara pesan bunda senantiasa mengiringi setiap langkahnya.

Kok mandi di ilia-ilia

Kok manyauak di bawah-bawah

Bajalan usah malendo

Bakato usah manggadang

Selalulah bersikap rendah hati, jangan sampai berbuat dan berkata sombong. Berhati-hati kalau berjalan, sehingga tidak ada orang yang kena senggol. Berbicaralah apa adanya tanpa harus menyombongkan diri, atau menyakiti perasaan orang lain. Itulah inti pesan pada pantun diatas.

Dima bumi di pijak, disinan langik dijunjuang

Basuluah matohari, bagalanggang mato rang banyak

Belajar menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, tanpa harus kehilangan jati diri. Selalu bersikap jujur, sehingga disenangi orang banyak. Satu lagi falsafah hidup orang Minang di perantauan dalam menjalin hubungan dengan lingkungan adalah:

Masuk kandang kambing membebek

Masuk kandang sapi melenguh

Masuk kandang ayam berkotek

Masuk kandang anjing menyalak

Filosofi yang terkandung dalam petuah ini adalah, dalam menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan yang baru, orang Minang akan berusaha sedapat mungkin mempelajari bahasa daerah setempat, sehingga komunikasi dengan lingkungan terjalin dengan akrabnya. Tidak mengherankan, sering orang tidak bisa menerka, bahwa mereka mengobrol dengan orang Minang. Seperti sering saya temui, orang tidak bisa menebak saya dari daerah mana. Ngarep boso Jowo, monggo. Bade basa Sunda, mangga. Walau saya bisanya hanya sekadar bahasa pergaulan sehari-hari di tengah pasar.

Begitu banyak bekal dan pesan moral yang di bawa oleh orang Minang ketika pergi merantau. Sehingga dengan modal itu mereka merantau menjelajahi keseluruh pelosok negeri ini. Kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat inilah, orang Minang di terima dengan tangan terbuka, kemanapun mereka pergi merantau.

Ketangguhan para pedagang Minang ini, hanya bisa disaingi oleh para pedagang keturunan Cina. Diantara mereka yang berhasil, bisa kita lihat pada mantan menteri perdaganganAbdul Latif dengan Pasaraya Sarinah Jayanya. Atau pada beberapa dekade berlalu, Rahman Tamin dengan bisnis Import eksportnya.

Latihan berdagang dari bawah sebagai anak buah, hingga di percaya sebagai tangan kanan dan kemudian belajar mandiri mulai dari kaki lima, membuat para pedagang Minang ini tangguh menghadapi berbagai macam situasi. Jatuh bangun adalah hal yang biasa bagi mereka, namun mereka tidak akan pernah menyerah dan kalah. Malah di dendangkan dalam sebuah pantun:

Hiduik bak cando roda padati

Sakali kateh sakali kabawah

Wakatu kateh yo dapek galak badarai

Tibo di bawah yo sansai badan marasai

Hidup bagaikan roda pedati, sekali keatas sekali kebawah. Waktu diatas dapat tertawa berderai, sewaktu dibawah sungguh malang, badan menderita.

Bila berhasil dalam perantauannya, keberhasilan itu tidaklah dinikmati sendiri. Kalau dulu mereka sebagai anak buah atau anak semang. Kini menjadi induk semang dengan menampung saudara atau famili yang baru datang dari kampung, sebagaimana mereka datang untuk pertamakalinya dulu.

Bila sibuyung sukses di rantau, maka komunikasi denngan kampung pasti akan lancar. Kalau pada zaman dahulu komunikasinya dengan surat menyurat. Kini, ditengah semakin maraknya sistem komunikasi seluler, tentu komunikasinya dengan telpon genggam, dengan kartu GSM yang sinyalnya sampai kepelosoklah yang dipakai. Seperti Simpati yang telah menyusup jauh kedesa-desa.

Keberhasilan si buyung di rantau bisa dilihat dari tampilan sehari-hari.Rumah baru, mungkin juga mobil baru. Begitu juga untuk orang tua dikampung. Rumah baru, maupun renovasi bisa kita saksikan bila kita berkunjung ke ranah Minang. Walau kebanyakan rumah ini hanya di huni oleh orang tua, sehingga sehari-hari kelihatan rumah itu kosong. Tapi lihatlah bila lebaran tiba, rumah itu akan penuh, kampung yang selama ini sepi, kembali ramai walau hanya seminggu dua minggu.

Mobil-mobil dengan plat kendaraan luar daerah dengan mayoritas dari Jakarta akan memenuhi jalanan di kota-kota Sumatera Barat, hingga jarak tempuh Bukittinggi – Padang sepanjang 90an kilometer yang biasanya hanya memakan waktu 2 jam, menjadi 4 hingga 5 jam bahkan adakalanya lebih. Pengalaman saya pulang lebaran tahun 2009 lalu. Perjalanan dari Kota Solok ke Padang Panjang yang hanya sekitar 40 kilometer melewati pinggir danau Singkarak, ditempuh dalam waktu 3 jam lebih! Padahal di hari biasa, hanya akan memakan waktu 30 hingga 45 menit.

Keberhasilan atau kesuksesan si buyung, akan menjadi buah bibir orang se nagari, dan akan menjadi penarik bagi mereka punya anak-anak bujang, agar mereka mencoba peruntungan pula di rantau orang.

Pulangnya si buyung dari rantau, ramailah kampung dan nagari. Ramailah jalan danwarung kopi, semarak masjid serta surau. Bagi keluarga yang punya anak gadis, sibuklah mamak dibuatnya.

Janjarak bungo janjori

Kambanglah bungo parautan

Siriah galak pinang manari

Anak rajo di kampuang sutan

Kehadiran si buyung, akan menjadi magnit bagi si upiak na alah gadang, berusaha mendekat mencuri pandang dari balik jendela rumah gadang. Ayah dan ibupun ikut sibuk berunding dengan mamak atau paman, untuk berusaha menjodohkan si upik dan si buyung. Bila cocok perhitungan, berjodoh si buyung dan si upik, diisi carano jo siriah langkok, Baralek Gadang orang sekampung.

Bagi mereka yang kurang beruntung, semakin jauhlah jalan untuk pulang. Laratlah mereka di rantau orang. Hingga bila itu berlarut-larut, keluarlah istilah dari mulut mereka rantau Cino. Seperti merantaunya orang Cina, merantau yang tak akan kembali lagi ketanah leluhur mereka. Dalam rindunya pada kampung halaman, sebuah senandungpun akan mereka lantunkan

Tinggalah kampuang ranah Balingka

Gunuang Singgalang lai ka manjago

Oi Mande kanduang tolong jo do’a

Antah pabilo kito basuo

Tinggallah kampung ranah Balingka, Gunung Singgalang akan menjaga, Bunda kandung tolong dengan do’a, entah pabila kita kan bersua.

Bagi yang larat di rantau orang ini, banyak yang berjodoh dengan masyarakat setetempat. Hingga semakin jauhlah jalan untuk pulang.

Namun tak jarang pula mereka yang menikah di rantau ini, kemudian meraih keberhasilan dalam kehidupannya, lalu membawa anak istrinya pulang kekampung halamannya di Ranah Minang. Untuk mempertemukan dan memperkenalkan anak dan istrinya kepada keluarga di kampung. Pulanglah dia si anak hilang.

[caption id="attachment_110538" align="aligncenter" width="591" caption="Pedagang Minang di Indragiri Hulu, Riau"][/caption] [caption id="attachment_110533" align="aligncenter" width="591" caption="Kaki lima, langkah awal pedagang Minang di perantauan"][/caption] [caption id="attachment_110539" align="aligncenter" width="591" caption="Beginilah pada umumnya suasana kampung di Ranah Minang, Sepi ditinggal penduduknya pergi merantau. Kampung ini baru akan ramai bila lebaran tiba."][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun