Mohon tunggu...
Ade Aryanti Fahriani
Ade Aryanti Fahriani Mohon Tunggu... Freelance Researcher -

Seorang hamba Allah pemakmur bumi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tangisan Sunyi Si Ono Niha, Bukan Hanya Perkara Malnutrisi

13 Agustus 2017   10:35 Diperbarui: 13 Agustus 2017   18:25 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gadis kecil itu menatap dengan nanar, mendekap erat dalam pelukan seorang wanita paruh baya. Sorot matanya seolah menyiratkan suatu kegetiran, menatap empat orang asing yang sekarang mencoba bertamu ke rumahnya. 

"Ya'ahowu!!" ucap tanda salam kami kepada pemilik rumah. Kehadiran mendadak kami sontak membuat wanita itu kebingungan. Tumben-tumbennya dua orang petugas Puskesmas dan dua orang "asing" menjenguk "gubuknya" yang berada di daerah sunyi penduduk. Tanpa banyak prasangka, wanita paruh baya itu pun dengan senang hati menerima kehadiran kami.

Gadis kecil ini terus saja menempel pada ibunya, raut wajahnya terlihat jelas, sembab sehabis menangis. Sesekali tangisan rewel membuyarkan sang ibu yang tengah bercerita kepada kami. Sebuah empeng lusuh kemudian dijejalkan ke mulutnya. Tangis kecilnya pun mereda, berganti wajah lusuh yang dipenuhi dengan sisa-sisa ingus bercampur debu-debu pekat yang membedaki wajah polosnya.

Ono Niha Malnutrisi (Dokumentasi Pribadi)
Ono Niha Malnutrisi (Dokumentasi Pribadi)
Sambil asyik menghisap empengnya, sesekali jemari mungil gadis 3 tahun ini juga menggaruk-garuk bagian tubuhnya yang gatal. Terlihat dengan jelas bercak bekas bisul yang mulai mengering di bagian tangan dan kaki. Seakan tak puas hanya menghisap empengnya, jemari mungil yang "berhiaskan" sisi kehitaman di ujung kukunya ini, juga turut "bermain-main" di mulutnya. Melihat ini, sang ibu tak sedikit pun merasa gusar, bahkan dia merasa sedikit lega. Sebab anaknya kini sudah tidak serewel 3 hari yang lalu, yaitu ketika sang anak demam, tidak bernafsu makan, dan mencret berkali-kali. Seorang petugas Puskesmas pun membisiki saya, "Ini loh de, anak yang malnutrisi itu...." .

Gadis kecil di atas hanyalah sebuah potret dari sekian banyak anak-anak Nias Barat yang divonis malnutrisi oleh pihak Puskesmas. Itu hanya yang terdeteksi, sisanya? Masih banyak yang belum terjaring. Malnutrisi memang sudah menjadi masalah kesehatan nasional, apalagi di Nias Barat yang tergolong kabupaten baru hasil pemekaran. Di Nias Barat sendiri, prevalensi balita kurus sebesar 23,72, serta prevalensi balita gizi buruk dan kurang sebesar 37,42 [1].

Jika terus dibiarkan, masalah malnutrisi dapat merenggut masa depan anak-anak Nias, betapa tidak? Menurut penelitian Khan, et al (2007), anak yang mengalami malnutrisi sering dikaitkan dengan terjadinya gangguan kognitif, motorik dan perilaku pada anak [2]. Malnutrisi juga berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan biologis anak. Anak yang menderita kurang gizi sebelum berusia dua tahun dapat mengalami kerusakan permanen pada sel-sel otak [3]. Kerusakan tersebut akan berdampak pada kerusakan quotient (IQ) yang rendah [4]. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja, tentunya akan menjadi beban pembangunan, dikarenakan rendahnya kualitas sumber daya manusianya.

Meskipun malnutrisi terlihat sebagai masalah fisik-biologis-nutrisi, tapi nyatanya di balik itu bercongkol akar masalah yang dilandasi masalah sosial budaya keluarga. Contoh kecilnya seperti kisah gadis kecil di atas. Di mana perilaku dan pola asuh orang tuanya yang begitu "serampangan" mengantarkan gadis kecil ini rentan terkena berbagai penyakit dan malnutrisi. Tak bisa juga disalahkan, karena perilaku dan pola asuh ini juga "lahir" dari warisan pengetahuan serta kondisi ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga.

Bagaimana mereka bisa memiliki kesadaran untuk hidup sehat, sedangkan pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan itu sendiri pun belum tentu ditangkap sepenuhnya oleh keluarga. Bagaimana mereka mampu memberikan makanan bergizi seimbang, sedangkan kondisi ekonomi dan lingkungan mereka tidak mendukung?

Malnutrisi tak akan "tereliminasi" sempurna jika hanya dipandang sebatas masalah fisik-biologis-nutrisi. Sebab jika hanya sebatas itu, seharusnya mudah saja bagi kita untuk mengatasinya. Tinggal diberi edukasi kesehatan, makanan tambahan (PMT), perawatan pemulihan gizi, atau bantuan pangan. Tapi nyatanya usaha-usaha tersebut masih belum cukup untuk meberangus geliat sistemik permasalahan malnutrisi.

Masalah sosial budaya keluarga yang menjadi akar masalah, masih belum digali secara mendalam. Akibatnya aspek ini masih belum terlihat urgensi penyelesaiannya. Berbeda dengan permasalahan fisik-biologis-nutrisi yang dapat dilihat secara riil, masalah sosial budaya ini cenderung berwujud abstrak dan dinamis. Penyelesaiannya pun berbeda, permasalahan fisik-biologis-nutrisi memang bisa diatasi oleh tenaga kesehatan saja. Tapi jika menyangkut ranah sosial budaya, maka ini membutuhkan peran pemerintah dan lintas sektoral.

Celakanya, yang terjadi sekarang masalah malnutrisi hanya dibebankan pada sektor kesehatan, setidaknya itulah yang saya amati selama penelitian Nias Barat. Akibatnya, dengan hanya mindset orang kesehatan, maka penyelesaiannya pun sebatas parsial, yaitu penyehatan tubuh. Bisa saja anak malnutrisi dapat kejar tumbuh gizinya, tapi jika selama masalah sosial budaya keluarga masih belum diselesaikan, maka kemungkinan untuk menjadi malnutrisi masih sama.

Pemerintah, dalam hal ini bukan hanya unit pelaksana teknis kesehatannya saja, seharusnya berperan sebagai sentral yang mengatur dan mengayomi urusan masyarakatnya. Bagaimana membuat masyarakat dapat produktif, bagaimana membuat setiap keluarga dapat tercukupi perekonomiannya, bagaimana pangan dapat dijangkau oleh masyarakat, bagaimana pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dapat mudah diakses masyarakat. Sehingga, masyarakat yang tercukupi ekonomiya dan terjangkau pangannya dapat menyediakan konsumsi makanan bergizi untuk keluarga. Akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas tentunya akan meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup masyarakat. Bukan hanya malnutrisi saja yang teratasi, tapi juga permasalahan lainnya.

Mungkin solusi ini terdengar terlalu idealis atau "mustahil", tapi sebenarnya tergantung dari kita sendiri apakah mau atau tidak untuk membenahinya? Tentunya ini dapat berjalan jika semua sektor dapat terintegrasi dan berkerja! Bagaimana langkah riil dan teknisnya? Itulah yang menjadi PR kita bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun