Mohon tunggu...
Deny Kristianto
Deny Kristianto Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan -

Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mitos-mitos Dunia Pendidikan Kita

27 Maret 2019   23:21 Diperbarui: 27 Maret 2019   23:26 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Memang, sebagian orang tua milenial makin peduli pada hal itu. Akan tetapi tetap saja akhirnya, mereka toh percaya begitu saja atas merk-merk tertentu pada sekolah. Ada merk sekolah nasional, nasional plus, internasional, favorit, negeri 1, negeri 2, berbasis agama, karakter, lingkungan, dan seterusnya. 

Konon, pengkategorian seperti Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) sekolah berstandar internasional (SBI) ini secara resmi sudah tidak digunakan lagi demi mengurangi kesenjangan (Pembatalan; Pasal 50 Ayat 3 UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional oleh MK pada 2013) . Namun bagi para konsumen kategorial ini abadi.  Jadi teranglah bahwa sekolah-sekolah tersebut telah menjadi mitos bagi kita.

Berangkat dari mitos kategorial "yang tak pernah dipersoalkan", kita menuju pertunjukan tentang mitos kesuksesan sebagai buah surga pendidikan. Jika kita lulusan sekolah ternama, maka kita akan sukses. Saya kira ini mitos yang diimani oleh cukup banyak orang. Setidaknya terdapat dua hal yang dapat kita urai tentang mitos ini. 

Pertama, kita tidak pernah dapat mengetahui secara lengkap dan pasti mengapa sebuah sekolah dapat dikatakan "ternama". Informasi ini lebih banyak beredar melalui mulut ke mulut saja, alias berdasarkan isu-su yang beredar sejak lama mungkin dari saudara, teman, tetangga, kenalan, atau pertunjukan kesuksesan para lulusannya. 

Hal-hal inilah yang membuat kita percaya begitu saja bahwa sekolah itu adalah sekolah yang baik bagi anak-anak kita. Tidak pernah dipertanyakan lagi mengapa dan bagaimana bisa mereka memproduksi orang sukses? Kedua, sebenarnya kesuksesan tidak pernah mencapai pengertian objektif. Maksudnya, arti kesuksesan bagi tiap-tiap orang berbeda-beda  (relatif). 

Walaupun demikian, sebagian besar dari kita akan setuju jika kesuksesan bagi seseorang berarti minimal terdiri dari, kestabilan keuangan, prospek karir prestisius, dan kedudukan terhormat secara moral sosial maupun moral agama, syukur-syukur kedudukan secara politik. 

Kepentingan pencapaian semacam itulah yang mendorong kita menjadi sangat pragmatis, bukan kritis. Memang, melimpahnya informasi tentang sekolah-sekolah dari berbagai jenjang dan jenis makin terbuka dan mudah diakses, terutama melalui internet. Tapi apa betul, semua orang tua atau wali siswa selalu melakukan riset mendalam sebelum mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah? Tetap saja, kita memperlakukan sekolah sebagai pabrik orang sukses layaknya mitos.

Kita akan masuk lebih dalam pada karya wisata mitos pendidikan ini yaitu ilmu pengetahuan sebagai salah satu substansi pokok pendidikan. Ilmu pengetahuan (baca: pelajaran atau mata kuliah), akhir-akhir ini sering diibaratkan program-program komputer atau aplikasi smartphone yang didownload dari para guru kemudian diinstal melalui proses belajar-mengajar kedalam diri para siswa. 

Ini reduksionisme, sebab anggapan itu berarti mengurangi derajat kemuliaan manusia sebagai makhluk jika disamakan dengan komputer atau smartphone yang hanya sebatas benda. Tetapi faktanya menunjukan hal demikian. 

Malahan, semakin banyak yang mengira justru komputer lebih pandai dari manusia, benarkah?  Konon pula, proses pembelajaran di sekolah sudah mulai berubah, dari klasikal (belajar di kelas) menjadi learning by doing (banyak prakteknya). Baiklah, ini satu mitos lagi yang tentu perlu juga kita nikmati pesonanya. Meski kabar itu dapat dibenarkan karena adanya perubahan sistem dan kurikulum yang baru (Permendikbud No. 20, 21, 22, 23, 24 Tahun 2016), nyatanya dalam pelaksanaanya justru makin ironis. 

Berawal dari penjejalan mitos sejak dini bahwa setiap siswa harus rajin belajar agar pengetahuannya semakin luas dan bisa menjadi orang sukses. Maka makin banyaklah tugas-tugas siswa zaman now. Sayangnya, para siswa tidak dibekali terlebih dahulu strategi belajar, yang penting tugas selesai, hafalannya bagus maka nilai ulangannya (sekarang dinamakan penilaian) pun bagus dan sekarang ditambah, "dinalar" -- istilah umum yang digunakan siswa untuk menyebut cara berpikir analisis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun