Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Anak Takut Disunat?

14 Juli 2019   13:15 Diperbarui: 16 Juli 2019   21:05 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sunat. (Zonasultra.com)

Di situlah sebenarnya letak kesakitannya orang (anak) sunat. Bukan karena saat dieksekusi. Justru masa perawatan itulah yang lebih perlu diperhatikan dan inilah yang harus dipahami oleh kita semua, khususnya bagi yang sudah punya anak (laki-laki) dan nantinya anaknya akan disunatkan.

Jangan tentukan kapan si anak harus sunat!
Memang, sebagai orangtua, akan selalu mempersiapkan masa depan anak. Kapan anaknya sekolah, kapan anaknya sunat, kapan anaknya nikah, kapan pula anaknya bakal memberikan cucu. Tentu bayang-bayang dan rencana-rencana itu ada di pikiran para orangtua. Tapi, seyogyanya rencana itu tidak dikeluarkan mentah-mentah pada anak.

Cukup berikan penggambaran tentang masa depan dan apa yang harus dijalani oleh si anak. Soal kapan hal itu terjadi, biarkan si anak yang menentukan. Termasuk dalam hal sunat. Karena, hanya sunat yang menurut saya pribadi adalah hal genting yang harus dialami oleh manusia di kala dirinya mungkin (kebanyakan) belum siap.

Jujur saja, penyebab saya tidak menangis saat disunat adalah karena saya sudah siap saat itu. Kesiapan saya bukan karena kapan (waktu). Melainkan karena apa yang saya ketahui tentang sunat. Meski waktu itu saya masih kecil (dibandingkan sekarang), namun pengetahuan saya tentang sunat sudah tidak perlu diragukan lagi.

Memang, pengetahuan saya saat itu lebih banyak berasal dari pengamatan saya terhadap teman-teman saya yang lebih dahulu disunat. Di situ saya amati, komparasi, dan saya pikirkan (saat itu belum tahu istilah analisis).

Kira-kira mengapa si A takut saat sunat? Mengapa si B ingin sunat? Mengapa si C tidak cepat masuk sekolah pasca sunat dibandingkan si E? Seperti itu. Cerdas bukan?

Itulah mengapa saya tidak banyak teman waktu itu. Karena, sejak kecil saya sudah terbiasa hanyut dalam kontemplasi dibandingkan bermain yang tidak jelas. Untungnya kebiasaan kontemplasi itu tidak membuat saya terlihat seperti "anak tidak waras". Hehehe...

Siapkan mental anak sebelum momen sunat terjadi.
Dari situlah saya menyiapkan mental saya untuk dapat siap disunat sewaktu-waktu. Bahkan, bisa disebutkan jika saya hampir setiap malam memimpikan momen itu terjadi. Mengharapkan jika saya sudah disunat dan kemudian besoknya menikah lalu punya anak. Hidup kok mudah sekali ya? (hahaha, just for fun!)

Hingga, tibalah waktu bersejarah itu menghampiri saya. Kabar yang tentunya sudah saya nantikan dan bahkan dia hadir saat saya nyaris melupakannya. Karena pikiran saya saat itu mulai teralih pada keseriusan untuk meningkatkan kepandaian saya. Ceritanya, saya saat itu sedang giat-giatnya belajar. (hehehe)

Saat itu, ibu saya memiliki rezeki dan mengabarkan pada saya untuk dapat disunatkan. Saya pun terharu dan merasakan bahwa esok adalah hari yang sangat membahagiakan bagi saya. Hari yang akan segera menjadi gerbang untuk memasuki masa pendewasaan secara simbolis dan saya tentu tidak sabar untuk menyambutnya. Akhirnya, momen itu terjadi dan "bye-bye adik lama!" :')

Momen sunat seharusnya menjadi kenangan berharga bagi setiap laki-laki.

Di sini, saya bisa melihat bahwa kenangan sunat itu ternyata tidaklah semengerikan kisah-kisah yang didongengkan oleh orang-orang tua saat itu. Bahkan, dengan bangga saya bisa mengingatnya (prosesnya) hingga dapat saya tuliskan saat ini.

Mungkin masa-masa yang sulit untuk diingat adalah saat proses penyembuhan. Apalagi saya tergolong orang yang cukup lama untuk recovery. Karena badan saya sudah terbiasa memilih untuk menyembuhkan diri sendiri tanpa ada penanganan serius (minum obat rutin, dll) seperti yang dialami orang-orang pada umumnya (ketika sakit).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun