Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kaligrafi Tionghoa, Paduan Budaya Arab dan China

23 Agustus 2017   21:01 Diperbarui: 24 Agustus 2017   02:02 4309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaligrafi China harus mengandung tiga unsur yang diibaratkan tulang, daging, dan jiwa. Dibutuhkan  kemampuan dalam memahami tulisan, keindahan, dan makna dari setiap goresan yang dibuat.

Kaligrafi umumnya diidentikkan dengan kaligrafi Arab, merupakan bagian dari seni rupa yang berkembang di negara-negara yang umumnya memiliki warisan budaya Islam. Dengan kata lain, kaligrafi adalah ekspresi seni dalam budaya Islam. Bentuk artistiknya didasari huruf atau abjad Arab yang dipandang merupakan alat utama untuk melestarikan dan menyebarluaskan Al-Qur'an. China memiliki 56 suku bangsa, 10 diantaranya memeluk agama Islam. Kaligrafi Muslim China menggunakan huruf Arab dengan gaya Tiongkok yang disebut khat ash-shini.

Panglima besar Islam, Saad bin Abi Waqqash bersama sahabat lainnya pada tahun 616 M membawa Islam ke Cina. Ia pernah menetap di Guangzhou dan mendirikan Masjid Huaisheng yang menjadi salah satu tonggak sejarah Islam paling berharga di China. Biasanya masyarakat muslim yang datang ke manapun selalu mengajarkan kaligrafi.

Namun  saat tiba di China, mereka  mengadakan kompromi dengan  masyarakat China yang telah mempunyai  kebudayaan tinggi. Bentuknya adalah pertukaran budaya  dengan mengadopsi beberapa unsur huruf China dengan unsur huruf Arab. Sejak 3000 tahun lalu tulisan China telah mempengaruhi pengembangan banyak gaya tulisan kaligrafi yang ditandai dengan orisinalitas dan kekayaan tulisan China. Hal itu  memungkinkan terbukanya  ekspresi artistik yang sangat luas.

Kaligrafi Muslim China menggunakan huruf Arab dengan gaya Tiongkok (khat ash-shini). (foto dokumentasi pribadi)
Kaligrafi Muslim China menggunakan huruf Arab dengan gaya Tiongkok (khat ash-shini). (foto dokumentasi pribadi)
Ketua Lembaga Kaligrafi Al-Qur'an (LEMKA), Drs. H. Didin Sirojuddin menjelaskan, 70 tahun setelah kaligrafi berkembang muncul 400 gaya, salah satunya adalah  khat ash-shini. Keindahan hakiki dari kaligrafi bukanlah fisiknya, melainkan pesan  yang terkandung, seperti keluarga sakinah, akhlak, dan lain-lain. "Betapa Islam sangat menghormati keindahan. Rumah belum lengkap rasanya jika belum ada kaligrafi," tutur Didin yang aktif mengembangkan kaligrafi di tanah air.

Abu Bakar Chang yang khusus datang dari Ning Xia, China ke Jakarta untuk pertama kalinya ingin memperkenalkan seni kaligrafi China di Indonesia yang merupakan  negara Islam terbesar di dunia. Ia berasal dari suku Hui yang merupakan salah satu suku terbesar pemeluk agama Islam di China. Abu Bakar dilahirkan dalam keluarga Muslim pada tahun 1978. Kakek dan buyutnya merupakan imam. Ia  pernah menggelar pameran di China serta negara lain seperti Dubai dan Tokyo melalui ajakan pemerintah China.

Sejak usia 13 tahun Abu bakar belajar kaligrafi di  masjid. Fasilitas belajar kaligrafi di masjid sebenarnya belum memadai. Gurunya  hanya memberi contoh  di buku  kemudian diikuti oleh Abu Bakar. "Bagi saya, kaligrafi adalah pegangan hidup. Ketika mengalami  kesulitan, saya menjadikan kaligrafi sebagai media introspeksi sehingga saya  enjoy," tutur Abu Bakar.

Abu Bakar menjelaskan, awal pengerjaan kaligrafi adalah  brainstorming atau mengumpulkan  ide selama dua hingga tiga hari. Selanjutnya ia menulis kaligrafi dalam tempo satu hari. Setelah itu Abu Bakar membayangkan kaligrafi yang ingin diwujudkannya dan ia memberikan  variasi supaya lebih indah. "Setiap ada ide baru atau tidak puas, saya ubah atau buat dari  nol karena koreksinya sulit. Dalam setiap karya ada proses upgrade, bisa terjadi beberapa kali perubahan," ujar Abu Bakar.

Ciri khas kaligrafi Islam China adalah dominasi warna hitam dan putih. (foto dokumentasi pribadi)
Ciri khas kaligrafi Islam China adalah dominasi warna hitam dan putih. (foto dokumentasi pribadi)
Dalam pembuatan kaligrafi, Abu Bakar mengaku memperoleh inspirasi  dari semua hal yang dilihatnya. Salah satu variasi dari karya yang dipamerkan  adalah penempatan  kaligrafi dalam badan vas. Kaligrafi itu dikombinasikan dengan lukisan tradional China melalui keberadaan bunga peony (the king of flower) yang mewakili keindahan dan kemakmuran. "Bersama seorang teman, kami bekerja dalam satu tim. Selain bentuk vas, kaligrafi juga bisa diterapkan pada berbagai benda seperti pot, gedung, binatang, hingga manusia," ujar Abu Bakar.

Abu Bakar menjelaskan, salah satu ciri khas kaligrafi Islam China adalah dominasi warna hitam dan putih. Ciri tersebut  berhubungan dengan filosofi China yaitu yin dan yang. Hitam melambangkan  malam hari, sementara putih melambangkan siang hari. Masyarakat dilarang menggunakan warna lain di luar hitam dan putih. "Hanya kaisar yang  berhak menggunakan warna lain," tutur Abu Bakar.

Dalam pandangan Didin, masyarakat China Muslim telah melahirkan satu gaya kaligrafi yang merupakan nilai plus. Berbeda dengan  Indonesia yang tidak melahirkan satu corak khas. Indonesia hanya memiliki gaya  khas individual yang dikuasai oleh masing-masing kaligrafer dan banyak ragamnya. "Berbeda dengan China. Setiap  pelukis mampu membuat gayanya sendiri dengan kriteria dan hukum yang bisa diikuti oleh siapapun," kata Didin.  

Pasar Kaligrafi

Didin  menilai 85% kejuaraan kaligrafi baik di dalam maupun di luar negeri dimenangkan oleh orang Indonesia. Namun keikutsertaan orang Indonesia dalam kejuaraan tersebut atas inisiatif pribadi tanpa bantuan  pemerintah. Ada kesadaran dari masing-masing individu untuk mengembangkan diri. Salah satu tujuan kaligrafi adalah sumber usaha. Konkritnya adalah masuknya kaligrafi ke pasar.  "Hendaknya Allah memperelok kaligrafi karena ia adalah sumber rejeki," kata Didin yang mulai mengenal kaligrafi pada usia 13 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun