Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Kurasi: Lima Buku Relevan di Masa Pandemi (Bagian 1)

2 April 2020   21:06 Diperbarui: 3 April 2020   01:05 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bekerja di rumah (#dirumahaja, work from home/WFH) dan membatasi interaksi cenderung membuat kita yang terbiasa dengan rutinitas kemudian merasa kosong dan bosan.

Media sosial yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, kemudian semakin kita berpaling ke media sosial untuk mencari interaksi dan informasi. Sering kita menemukan data dan cerita yang membuat lega, tapi banyak juga yang membuat kita kemudian lesu. Tidak jarang pula padatnya informasi yang simpang siur justru membuat kita tak paham.

Saat beberes buku beberapa waktu lalu, saya sekaligus menyisihkan lima buku ini; karena isinya cukup relevan (dan menampar) di masa-masa sulit yang sedang kita hadapi.

The Death of Expertise (Matinya Kepakaran) -- Tom Nichols

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Buku ini memang terfokus pada perilaku masyarakat (dan netizen, khususnya) di Amerika Serikat, namun fenomena yang dibahasnya terbilang jamak. 

Nichols menyoroti hubungan antara pakar (dan kepakaran) dengan masyarakat umum dalam "demokrasi", bahwa setiap orang berhak untuk bicara dan mengungkapkan pendapat. 

Media sosial dan internet memberikan kita ruang untuk bicara dan sekaligus membaca (dan belajar), namun kombinasi ini seringkali tak produktif: kita membaca dan belajar sedikit, merasa langsung paham dan tahu, lalu petentang-petenteng koar-koar di media sosial seakan-akan sudah ahli.

Jleb. Sesuai benar dengan pepatah tong kosong nyaring bunyinya.

Ketidaktahuan sebenarnya bukan "dosa", menurut Nichols, dan wajar bila masyarakat umum seperti kita, misalnya dalam kontes sekarang, tak paham ilmu epidemiology, matematika, atau farmasi sehingga tentu kurang sahih untuk memberikan informasi genom virusnya, prediksi puncak persebaran SARS-Cov-2, atau obat apa yang bisa meringankan atau menyembuhkan COVID19. 

Namun yang bahaya adalah turunan dari ketidaktahuan itu: kita merasa tahu (padahal sebenarnya minim), menyebarkan berita yang kita sendiri juga nggak paham, lalu menjadi misinformasi yang meluas. 

Nichols mengatakan, "masih mending misinformasi", lha kalau dirunut lebih jauh lagi bisa menjadi "sangat-sangat salah" alias hoaks. Contoh fatalnya: President Trump menyitir hasil penelitian abal-abal tentang penggunaan chloroquine phosphate untuk mengatasi COVID19, dan seorang WN Amerika Serikat di sana meninggal karena mengonsumsi senyawa tersebut tanpa supervisi medis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun