Gerakan bersama "memutus" hubungan silaturrahim secara tatap muka memang sangat berlawanan dengan budaya orang timur terlebih umat Islam.
Indonesia sebagai budaya timur yang sangat ramah terhadap sesama, saling menyapa, saling bersalaman saat bertemu, saling berpelukan satu sama lain.
Kini kebiasaan tersebut tiba-tiba harus ditiadakan. Meskipun itu hanya untuk beberapa minggu tapi bagi masyarakat kita sungguh sangat berat.
Kebiasaan hidup masyarakat Indonesia yang paternalistik dan sosialistik telah terbentuk sejak lama. Kebiasaan ini sudah turun temurun hingga menjadi sifat saling membantu dan gotong royong sebagaimana semboyan bangsa Indonesia.
Menggantikan kultur sosialis agamis ke individualis sekuleris tentu menjadi tantangan berat.
Kultur individualis yang saya maksud adalah akan terjadi bilamana social distancing berlaku. Di mana setiap orang harus hidup dengan dirinya sendiri tanpa perlu berinteraksi dengan orang lain.
Tetapi disisi yang lain, social distancing ini untuk menjaga kepentingan bersama dan mengutamakan kepentingan umat. Maknanya adalah terdapat nilai-nilai sosial yang sangat besar. Saya ingin mengatakan ini bukan misi budaya hidup individualis.
Oleh karena itu marilah seluruh komponen bangsa untuk bersatu padu dalam menghadapi ancaman coronavirus. Anggaplah ini sebagai bentuk panggilan perjuangan oleh negara. Bangsa kita harus kita bebaskan dari serangan pandemi corona.
Itulah kesadaran bersama yang harus dimiliki dan terus kita kumandangkan agar terbangun solidaritas yang kuat antar sesama untuk menghadapi situasi sulit ini.
Maka disinilah kepatuhan sosial politik yang diberikan oleh rakyat kepada sang pemimpin mereka dapat diukur.
Dan sejatinya sebagai rakyat mutlak memiliki rasa cinta tanah air dan rasa nasionalisme yang tinggi untuk menyelamatkan bangsa dan negaranya dari ancaman.