Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa yang Membuat Mereka Betah di Pasar Tradisional?

23 Januari 2017   09:43 Diperbarui: 24 Januari 2017   06:14 2186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kesederhanaan dan keramahan di pasar tradisional

Hujan baru saja reda, menyisakan rintik hujan dan genangan air di lorong-lorong pasar. Jarum jam masih menunjukan jam 3 pagi namun hiruk pikuk kesibukan pedagang dan pembeli di pasar Songgolangit sangat terasa tanpa menghiraukan dinginnya udara sehabis hujan.

“Ngantar belanja mas?” tanya lelaki yang memarkir motor di dekat motor saya.

Saya menggelengkan kepala tidak mengiyakan apa yang dia tanya, karena saya baru saja pulang dari luar kota bermaksud membeli secangkir kopi di sekitar pasar Songgolangit untuk mengusir dingin.

“Mas ngantar belanja?” tanya saya pada lelaki yang memiliki nama Fauzi tersebut.

“Ngantar istri mas, saban jam segini tugas saya mengantar belanja dan menunggu di sini, nanti kalau istri sudah selesai belanja saya di kabari baru saya membantu mengangkati barang belanjaan.” Jawab Fauzi.

Akhirnya kami berdua ngobrol di warung kopi yang berada di pingir jalan komplek pasar, bercerita panjang lebar tentang pasar. Luar biasa Fauzi sangat mengenal sudut-sudut pasar Songgolangit, menurutnya kenal orang pasar itu menyenangkan. Dari ngobrol tersebut  akhirnya  saya tergoda untuk menikutinya masuk ke dalam pasar mengambil hasil belanjaan istrinya.

tawar menawar ciri khas, dan perlu nyali
tawar menawar ciri khas, dan perlu nyali
pedagang harus pandai membaca musim, dan barang harus habis saat itu juga
pedagang harus pandai membaca musim, dan barang harus habis saat itu juga
Banyak hal yang unik dan postif dari pasar tradisional di banding pasar modern menurut Fauzi sambil terus berjalan menelusuri  lorong sempit kami terus ngobrol. Senyum sapa para pedagang terus kami temui sepanjang lorong yang kami lalui.

"Di pasar tradisional begii kita langsung ketemu ownernya langsung." kata Fauzi, membuat saya mengernyitkan dahi.

"Wakakakakaka kalau di pasar modern kita dilayani oleh jogosnya, di sini langsung pemiliknya.." lanjut Fauzi sambil tertawa. Benar adanya orang lebih senang bertemu langsung dengan pemiliknya atau sumbernya langsung. Seringkali kalau kita belanja dalam partai besar selalu mina dipertemukan dengan bosnya langsung, seringkali anak buahnya nakalan mengambil untung bahkan memepermainkan harga, jelas Fauzi.

“Pedagang tradisional harus pintar spekulasi karena media penyimpanan tak secanggih dan selengkap pasar modern.” Kata Fauzi. Menurutnya barang dagangan harus sekali habis hari itu, kalau tidak habis akan rusak. Atau harus keluar ongkos angkut yang doble sehingga merugi. Pedagang harus bisa mengira-ngira seberapa dagangannya laku pada hari itu. Beda dengan pasar modern yang dilengkapi penyimpanan dingin dan gudang sehingga pemiliknya tak perlu kawatir bila dagangannya tidak habis. Di sinilah keuntungan berbelanja di pasar tradisional, barang dagangan masih segar dan baru.

Pedagang harus pintar membaca musim, seperti bulan-bulan begini musimnya orang punya hajatan temanten. Kebutuhan untuk selamatan perlengkapan orang punya gawe yang paling laris dan dicari. Mulai dari bahan dapur sampai pernak-pernik upacara adat pengantin. Seperti mbak Paenah penjual pisang, dia membawa pisang dua kali lipat dari hari biasanya. Pisang raja menjadi barang penting untuk upacara adat temanten pada adat Jawa, harus ada. Pada situasi barang sulit berapapun harganya pasti dibeli, menurutnya. Dia juga harus pandai-pandai menyiasati, kapan pisangnya harus matang dan kapan pisangnya harus menunda kematangannya. Dia punya tehnik sederhana dengan mengangin-anginkan agar bisa menunda kematangan pisangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun