Saya berusaha mendebat Akhmad dengan data-data yang saya peroleh dari media mainstream namun Akhmad semakin murka.
"Goblok! Manusia goblok! Lo gak sadar selama ini diboongin sama Jokowi?" Dia memaki saya dengan kata kasar yang belum pernah sekalipun dia lontarkan ke saya.
"Mad, lo jangan kasar, ya, ngomong sama gue! Jangan bikin gue marah." Saya memperingatkan.
"Lo yang bikin gue marah! Goblok boleh tapi jangan diborong semua. Insyaf, Bud! Insyaf!"
Saking murka saya berdiri dan mencengkram kerah baju Akhmad dengan tangan kiri sementara tangan kanan siap memukul karena gak tahan dihina seperti itu. Akhmad diam tidak bergerak tapi parasnya juga tidak menunjukkan rasa takut. Dia melotot ke arah saya tanpa mengucap sepatah kata.
Saya masih memegang kerah baju Akhmad. Orang-orang di kafe semua menatap kami dan berharap ada drama yang terjadi di antara kami. Saya mengambil napas berkali-kali untuk meredakan amarah yang bergolak di dada. Alhamdulillah saya berhasil menahan diri untuk tidak nonjok mukanya.
Saya lepaskan Akhmad hingga terduduk kembali di bangkunya. Dengan perasaan gondok saya berjalan ke kasir dan membayar bill kami berdua. Sebelum pergi, saya menghampiri Akhmad yang masih duduk memandang saya dengan pandangan aneh.
"Gue cabut dulu, Mad. Gue gak tau apa yang terjadi tapi lo udah jadi orang aneh sekarang."
"Gue dapet hidayah, Bud. Dan gue mau membimbing elo ke jalan Surga tapi lo malah marah ke gue. Jadi sebenernya yang aneh itu siapa?"
"Dapet hidayah? Jangan-jangan lo juga percaya, ya, kalo bumi itu datar," tanya saya.
"Memang bumi itu datar. Lo kira bumi itu bulat? Dasar thogut!"