Mohon tunggu...
Bozz Madyang
Bozz Madyang Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Food Blogger

#MadYanger #WeEatWeWrite #SharingInspiringRefreshing #FoodBlogger - Admin Komunitas Kompasianer Penggila Kuliner (KPK) Kompasiana - Email: bozzmadyang@gmail.com - Instagram/Twitter: @bozzmadyang

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sentilan Jawa, Kenangan Nenek dan Semangkuk Soto

11 Januari 2017   19:28 Diperbarui: 12 Januari 2017   22:14 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PANAS terik siang, tertepis adem ruangan kayu yang lumayan luas. Saat kakiku melangkah masuk rumah joglo itu,  memenuhi ajakan perut yang berdendang sumbang. Lapar. Bangku-bangku panjang  lengkap dengan meja kayu setebal 5 jari, artistik. Beberapa ornamen khas berbahan kayu juga, menghiasi ruangan joglo itu. Tiang-tiang kokoh menyangga rumah makan yang terkesan sederhana. Ada beberapa lukisan tergantung di beberapa sisi. Angin semilir menyelusup masuk. Ruangan terbuka, hanya pagar kayu setinggi semeter yang membatasi ruang dalam dan luar.

Nuansa kayu bangunan ala Jawa. (Foto GANENDRA)
Nuansa kayu bangunan ala Jawa. (Foto GANENDRA)
Khas Jawa. (Foto GANENDRA)
Khas Jawa. (Foto GANENDRA)
Lukisan tergantung di Gebyok. (Foto GANENDRA)
Lukisan tergantung di Gebyok. (Foto GANENDRA)
Nuansa yang mengingatkanku di kampung Simbah/ nenek (almh). Rumah nenek cukup besar di Wonogiri, Jawa Tengah. Kental  banget dengan sentuhan budaya Jawa. Rumah Joglo. Ada pendoponya. Dinding-dinding kayu ‘gebyok’ dari pohon jati terpilih. Warna kecoklatan dengan alur gurat-gurat kayu yang tajam mempesona mata. Maklum kakek (alm) termasuk orang kaya dan terpandang di desanya. Punya banyak kuda dan bisnis alias saudagar sukses di masanya. Kekayaan yang membuat kawanan perampok ‘ngiler’. Akibatnya beberapa kali rumah kakek nenekuku itu, disatroni perampok. Itu menurut cerita Ibuku sih. Ahh aku selalu suka dengar kisah-kisah leluhurku dari Ibu.

Soto daging campur semangkuk kecil. Iphone 4 buat perbandingan ukuran.(Foto GANENDRA)
Soto daging campur semangkuk kecil. Iphone 4 buat perbandingan ukuran.(Foto GANENDRA)
Soto daging campur (Foto GANENDRA)
Soto daging campur (Foto GANENDRA)
Aku duduk di salah satu bangku kayu yang panjangnya sekira 2 meter lebih. Meraih kertas daftar menu yang tersedia di meja. Satu lembar saja. Mulai membacanya.  Tak banyak menu. Namun pikirku, menu yang tersedia ini pastilah istimewa, sehingga hanya menyajikan deretan menu sedikit. Mataku mengukur tulisan dari atas ke bawah. Ada dua nama yang membuat mataku berhenti dan membacanya.

Soto dan bebek. Dua nama menu favorit. Ahh lama ndak makan soto. Jadi kuputusin pesan soto daging campur. Sembari berpikir, ntar kalau masih lapar, baru pesan menu bebeknya.  Lalu sebagai obat dahaga kupesan es jeruk dan es teh manis. Asem-asem jeruk memang selalu kusuka.

Kubuka satu persatu tudung piring di meja kayu yang panjangnya persis sama dengan bangkunya. Meja yang kokoh dengan ketebalan 5 jariku. Piring-piring berwarna putih khas banget yang sering dipakai di rumah. Mungkin juga di rumah warga lainnya. Isinya? Ada tempe goreng, tahu goreng tanpa tepung, bakwan atau gimbal, dan aneka sate. Sementara di sebelah sana tergantung aneka macam kerupuk dengan bentuk beragam. Dan beberapa ‘tombong kerupuk’ ala kampong tergantung di paku yang tertancap di beberapa tiang penyangga.

Lukisan (Foto GANENDRA)
Lukisan (Foto GANENDRA)
Aneka kerupuk (Foto GANENDRA)
Aneka kerupuk (Foto GANENDRA)
“Soto campur, es jeruk dan es teh manis,” kata pelayan itu.

“Matur nuwun,” jawabku singkat.

Kepulan asap soto yang lebih dari hangat itu langsung menyeruak. ‘Thokolan’ atau kecambah bertaburan. Daging sapi berwarna gelap menyembul. Beberapa diantaranya ‘ndelik’, bersembunyi di kuburan nasi. Kuah bening menjadi lautannya. Menggoda juga soto daging campur seharga Rp. 10.000 ini di mangkok kecil itu. Nikmat nampaknya. Inilah Soto Ndelik.

Kucicipin beberapa sendok. Ingin merasakan cita rasa asli soto racikan rumah ini. Hangat dan lega di tenggorkan. Warna kuah langsung berubah ketika aku tuangkan kecap manis dan sedikit sambal. Yaaa, aku demen makan soto berkuah gelap oleh paduan sambal dan kecap.

Sengaja sambal tak banyak kutuang. Hanya untuk mengimbangi rasa manisnya kecap. Terlebih lagi aku tak mau, rasa asli dari bumbu soto lenyap gegara terkamuflase oleh pedasnya sambal. Soalnya pengen rasain citarasa aslinya.  Krupuk? Tak bakalan ketinggalan. ‘Soulmate’ soto yang harus dipadukan. Tombong kerupuknya mengingatkan pada abang-abang , armada suplyer kerupuk dari Pabrik Kerupuk Pak Tris di kampong. Pabrik kerupuk yang menggurita hingga tanah-tanah di sekitar pabrik dicaplok tuk perluasan usaha dan tempat tinggal. Juragan kerupuk yang cukup sukses, meski tak mengenyam bangku sekolah yang memadai!

Kucomot beberapa tusuk sate sebagai menu penutup. Laah sate kok jadi menu penutup. Opo tumon! #Rapopolah suka-suka, yang penting nikmat. Dan beneran sate kikilnya lumayan empuk dan gede dengan bandrol harga Rp. 6000/per tusuk.  Sementara es jeruk dan es the manis sudah tandas. Kupesan lagi es kelapa muda. Panas cuaca memprovokasiku lebih banyak minum nampaknya. Yaa sudahlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun