Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Ujian Nasional, Ujian Kredibilitas

4 Mei 2015   08:37 Diperbarui: 10 April 2017   14:30 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah para siswa SMA dan yang sederajat mengikuti Ujian Nasional pada tanggal 13 – 16 April 2015, kini giliran para siswa SMP dan yang sederajat yang akan mengikuti Ujian Nasional, yaitu mulai 4 Meisampai dengan 7 Mei 2015. Tentu Ujian Nasional kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena ujian tidak lagi ikut menentukan kelulusan siswa. Meskipun tidak menentukan kelulusan, setiap siswa masih mempunyai kewajiban untuk mengikuti ujian ini karena hasil ujian ini yang berupa SHUN (Sertifikat Hasil Ujian Nasional) akan dijadikan sebagai salah satu syarat masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dengan tidak dipakainya UN sebagai penentu kelulusan, bagi sebagian besar orang tentu merupakan kabar gembira karena dapatmengurangi beban siswa dan juga guru. Namun, muncul juga kekhawatiran bahwa kebanyakan siswa akan santai menghadapi ujian nasionalkarena berapa pun nilainya tidak mempengaruhi kelulusan mereka dari sekolah. Kekhawatiran itu bukan hanya terhadap para siswa, melainkan juga terhadap para guru. Mungkin saja timbul sikap santai di kalangan sebagian guru kita karena tidak ada ketakutan terhadap buruknya nilai yang diperoleh para siswa.

Tentu persepsi seperti itu tidak bisa disamaratakan untuk semua siswa dan guru. Masih banyak siswa dan guru yang memiliki kesadaran penuh akan pentingnya perolehan prestasi. Hal ini karena setiap nilai yang mereka peroleh merupakan prestise bagi siswa, guru, sekolah, bahkan bagi sebuah daerah. Oleh karena itu, berbagai pihak sering mengupayakan agar perolehan nilai siswa dapat maksimal. Mulai dari belajar kelompok, pembinaan intensif sebelum UN, mengikuti bimbingan belajar, dan sebagainya.

Namun demikian, banyak juga orang yang mengupayakan untuk mencapai prestasi tersebut dengan cara yang tidak tepat. Tak heran jika selama ini terjadi kasus-kasus bocornya soal atau bocornya kunci jawaban ujian nasional karena mereka memaknai prestise tersebut secara sempit. Seolah ada tekanan bahwa semua harus lulus, semua harus mendapat nilai baik. Tekanan untuk mendapatkan nilai baik agar bisa lulus seratus persen tersebut sangat terasa di semua level. Mulai dari siswa yang takut kepada orang tua dan guru, guru yang takut kalau ada siswa didikannya yang tidak lulus karena akan mencoreng nama baik sekolah, dan sekolah yang takut kalau ada peserta didiknya yang tidak lulus karena akan menurunkan prestise sebuah daerah.

Seorang kepala daerah bisa saja memerintahkan kepala dinas untuk berusaha agar siswa di daerahnya bisa lulus 100 persen. Perintah ini tentu saja baik dan tidak ada salahnya. Hanya saja si kepala dinas tentu tidak bisa bekerja sendiri. Oleh karena itu, dia juga memerintah bawahannya untuk melaksanakan tugas mulia tersebut. Setelah melalui beberapa level, perintah yang sama tersebut bisa bermakna lain jika interpretasinya berbeda. Pada tahun-tahun yang lalu kita pernah mendengar berita bahwa kepala sekolah di daerah tertentu terlibat dalam kebocoran soal dan sebagainya. Di tahun ini, untuk level SMA sederajat bahkan kebocoran itu diduga berawal dari percetakan. Adanya suplai seperti ini sebenarnya mengindikasikan bahwa demandnya juga tinggi.

Untuk menghindari hal-hal seperti itu, yang dibutuhkan sebenarnya adalah ketegasan perintah dari level tertinggi pemerintahan kita. Harus ada ketegasan bahwa untuk mencapai prestise atau keberhasilan dunia pendidikan tidak boleh ditempuh dengan menghalalkan segala cara. Dengan adanya perintah yang tegas dan terang benderang, harapannya tidak muncul salah tafsir dalam memaknai keberhasilan pendidikan. Harus ada keberanian dari semua level untuk menerima apa pun dan berapa pun kenyataan prestasi yang diperoleh para peserta didiknya.

Dalam pengarahan terhadap para pengawas ujian nasional selama ini sering didengungkan kalimat ambigu, “Peserta ujian nasional yang kita awasi ini adalah generasi muda penerus bangsa. Mereka yang akan melanjutkan tampuk kepemimpinan di negeri ini. Ciptakan suasana kondusif agar para siswa berprestasi dan tidak tertekan saat mengerjakan soal ujian. Bapak-bapak yang berkumis tebal agar mencukur kumisnya supaya anak-anak tidak ketakutan.” Mungkin masih ada kalimat-kalimat lain yang sering diucapkan. Kalimat-kalimat seperti itu sangat mungkin menimbulkan penafsiran ganda di kalangan para pengawas. Sebenarnya makna kalimat tersebut terasa semakin jelas ketika para pengawas yang bekerja secara jujur dan lurus mulai disindir dari berbagai sudut.

Generasi penerus bangsa seperti apa yangakan dibentuk seandainya kalimat ambigu tadi dimaknai secara negatif. Banyak siswa kita akan mencari berbagai cara untuk mendapat nilai tinggi dengan cara-cara negatif kalau suasana kondusif tersebut dimaknai negatif. Barangkali banyaknya koruptor di negeri ini sebenarnya memberi tahu kepada kita akan gagalnya pendidikan di Indonesia. Selain itu, saat ini banyak tokoh publik yang tidak memiliki rasa malu. Meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, mereka masih dengan percaya diri senyum-senyum dan melambaikan tangan di depan kamera televisi. Barangkali itu juga merupakan indikator gagalnya pembentukan karakter di dunia pendidikan.

Sebenarnya hasil ujian nasional yang telah berlangsung selama ini juga menyertakan hasil analisis terhadap kredibilitas sebuah daerah. Ada daerah yang mendapatkan kategori putih, ada yang abu-abu, dan ada juga yang hitam. Dengan kata lain, ada daerah yang jujur ada pula yang kurang, bahkan tidak jujur. Namun kelihatannya, predikat tersebut tidak terlalu dihiraukan oleh para pemangku kepentingan yang ada di daerah.

Menurut hemat saya, ketika ujian nasional tidak lagi menentukan kelulusan seperti sekarang ini, seharusnya bisa dijadikan momen untuk berbenah. Kita harus memperbaiki karakter anak didik kita untuk mulai bertindak jujur. Untuk apa arti nilai maksimal jika itu diperoleh secara curang. Untuk apa arti sebuah daerah memperoleh nilai rata-rata ujian nasional tinggi, jika berdasarkan analisis, daerah tersebut masuk kategori hitam dari segi kejujurannya. Jadi ujian nasional sebenarnya tidak hanya menguji penguasaan siswa terhadap kompetensi, tetapi juga merupakan ujian kredibilitas bagi siswa, bagi sekolah, dan bagi sebuah daerah. Selamat menempuh Ujian Nasional!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun