[caption caption="Soekarno & Soeharto . Sumber Foto dikutip dari: http://blogs.swa-jkt.com/swa/10708/category/humanities-9/ (Sumber asli pertama tidak dicantumkan sehingga tidak diketahui)"][/caption]
Bayangan akan menjadi sarjana di Universitas Diponegoro musnah ketika pemuda itu terpaksa melarikan diri untuk bersembunyi. Adalah pergantian rezim penguasa mendadak sebagai epilog dari Peristiwa 30 September-1 Oktober 1965 yang jadi penyebabnya. Dia adalah pendukung rezim lama yang digantikan. Rezim yang dipimpin oleh Bapak Pendiri Bangsa, salah satu dari dua orang proklamator: Soekarno. Bertahun-tahun ia menyembunyikan diri, bekerja dengan “low profile”, tanpa aktivitas politik berarti. Baru pada Pemilu 1971, ia mencoba “come back” mendukung PNI, partai yang didirikan Bung Karno pada 1927. Tetapi “angin politik” sudah berubah, PNI yang pada Pemilu 1955 jadi pemenang, kini malah jadi pecundang.
Adik kandungnya, yang membeli rumah seorang mantan pejabat daerah dengan harga murah, menemukan lukisan besar Bung Karno disembunyikan di belakang lemari. Lukisan itu kini tergantung di dinding kamar saya di rumah orangtua saya. Ya, pemuda di pembuka tulisan tadi adalah ayah saya. Tentu saja, sebelum beliau menikah dengan ibu saya.
Ayah saya bukan PKI, beliau adalah salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasional Indonesia (PNI) hasil Kongres di Purwokerto. Kepengurusannya dipimpin oleh Ketua Umum Ali Sastroamidjojo dan Sekertaris Jenderal Surachman. Saya ingat, sewaktu SMA, pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) menyingkat nama mereka menjadi akronim “ASU”. Ini adalah sebutan untuk “anjing” dalam bahasa Jawa. Lawan mereka, yang pro rezim yang sedang merebut kekuasaan, adalah Osa-Usep. Jadi, sejak awal berdirinya, rezim Orde Baru-nya Soeharto sudah menerapkan taktik “devide et impera” kepada lawan politiknya. Kita tahu hal ini terus berlanjut bahkan hingga akhir masa kekuasaannya. Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua puluh Tujuh Juli 1996) yang sering dianggap sebagai titik awal kejatuhan Orde Baru adalah buntut perpecahan PDI versi resmi pemerintah dan versi yang tidak diakui pemerintah. Dan bukan kebetulan, PDI adalah hasil fusi PNI dan sejumlah partai nasionalis lainnya.
Ibu saya yang baru jadi mahasiswi Universitas Indonesia tahun 1966 pun menceritakan, bahwa bukan hanya para anggota CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) saja yang ditahan TNI AD, tetapi juga anggota GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) juga ada. Satu yang pasti, seluruh anggota organisasi massa (ormas) ounderbouw PNI itu dikenakan wajib lapor bak pesakitan. Padahal, jelas mereka bukan komunis, melainkan marhaenis. Mereka yang dikenakan wajib lapor itu cuma anggota biasa. Banyak yang ditangkap adalah pengurus. Padahal, ayah saya pernah jadi Ketua DPP GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia), ormas pelajar sebagai bagian dari PNI. Tentu saja ia terancam mati dibunuh.
Penderitaan ayah saya masih belum ada apa-apanya. Karena beliau secara “ajaib” mampu survive. Bisa bekerja, mendirikan perusahaan dan aman tanpa tertangkap. Temannya, seorang pengacara, juga seorang Soekarnois, ditangkap tanpa ada proses hukum. Tak pernah ada pengadilan buatnya. Keluarga tidak tahu keberadaannya hingga 12 tahun kemudian ia akhirnya pulang. Dan menceritakan selama itu ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) Cimanggis.
Kalau dikumpulkan kisahnya, penderitaan sejarah para Soekarnois ini tentu banyak sekali. Saya juga sempat membaca banyak Warga Negara Indonesia yang sedang tugas belajar di negara-negara Blok Timur tak pernah pulang hingga wafatnya. Banyak pula di antara mereka yang ditangkap bahkan dibunuh sepulangnya ke Indonesia. Padahal, mereka justru putra-putri terbaik negara yang jelas mengemban misi mencerdaskan bangsa.
Saya tahu, penderitaan mereka yang dicap PKI justru lebih berat lagi. Banyak di antara mereka yang malah tak tahu menahu. Kita ingat dialog yang terkesan konyol ini, antara seorang tentara TNI AD yang melakukan razia dan penangkapan, dengan seorang petani.
Petani : “Ampun Pak… nopo salah kulo?”
Tentara: “Kamu PKI?”
Petani : “Sanes Pak… kulo BTI.”