Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Mengapa Kuda Hitam Itu Finish di Posisi Keempat

3 Mei 2024   12:00 Diperbarui: 4 Mei 2024   08:59 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Indonesia U-23 (ANTARA FOTO/HO-PSSI)

Pencapaian luar biasa diraih tim nasional sepakbola Indonesia dibawah usia 23 tahun di ajang turnamen AFC U-23 2024. Garuda muda, demikian julukan timnas U23, berhasil lolos dari fase grup dengan mengungguli Australia 1-0 dan melibas Yordania 4-1.

Kegemilangan anak-anak muda ini diteruskan di perempat final dengan mengandaskan impian Korea Selatan untuk mengikuti Olimpiade kesepuluh mereka secara beruntun. Indonesia pun tiba di semifinal dan dihentikan oleh Uzbekistan dan Irak.

Terlepas dari kontroversial wasit saat melawan Qatar di laga pembuka dan Uzbekistan di perempat final, Indonesia yang cuma peringkat 134 FIFA yang selama ini bahkan sulit bersaing di Asia Tenggara, telah menaklukkan negara-negara di peringkat atas. Indonesia telah mengumumkan ke dunia internasional bahwa kekuatan sepakbola kita tidak bisa lagi dianggap remeh, khususnya untuk usia 23 tahun.

Pertanyaan yang menarik untuk dibahas adalah: Mengapa Timnas U23, si kuda hitam itu, bisa finish di urutan keempat? Pertanyaan ini bisa dilihat dari dua bahasan, mengapa berhasil sampai di semifinal dan mengapa gagal masuk ke final dan tempat ketiga.

Kunci keberhasilan

Kunci keberhasilan Timnas U23 adalah racikan pelatih Shin Tae-yong yang didukung pemain-pemain kelas Eropa. Faktor pelatih dan pemain adalah paketan yang tak bisa dipisahkan. Sehebat apapun strategi dan menu latihan pelatih, jika sumber daya pemain tidak mendukung maka hasil tidak maksimal.


Sebaliknya, pemain-pemain top yang ditangani pelatih yang salah maka hasilnya juga jeblok. Tetapi Shin Tae-yong membuktikan kepiawaiannya menangani pemain Timnas. Mereka mampu menampilkan penguasaan bola dan gaya build-up modern. Ketahanan fisik, akurasi passing, dan kekuatan mental menjadi kunci keberhasilan pola permainan seperti itu, terlebih melawan tim-tim di peringkat atas.

Di samping unsur teknis, tampak pula perbedaan mental timnas yang tidak lagi mudah frustasi dan kecenderungan bermain kasar ketika sedang tertinggal. Keharmonisan pemain yang besar di Indonesia dan yang besar di Eropa cukup terjalin. Pun antara pemain dengan jajaran pelatih.

Dari berbagai sumber bisa kita lihat bagaimana Shin Tae-yong dicintai para pemainnya. Disegani saat latihan namun tak jarang diisengi. Pemain terlihat bebas mengekpresikan canda dan kejahilan mereka, bahkan kepada sang pelatih kepala.

Bagi saya, ini kunci keberhasilkan Shin Tae-yong. Pelatih atau manajer tim olahraga memang bukanlah operator mesin. Skil manajemen SDM menempati porsi terbesar dalam kesuksesan seorang pelatih atau manajer. Ketika moral dan psikologi berada pada kondisi yang optimal, maka strategi menjadi pelengkap kemenangan tim.

Faktor-faktor kekuatan ini terlihat ketika anak-anak muda Timnas tidak gentar menghadapi negara yang lebih kuat. Keunggulan satu gol bisa dipertahankan dengan menahan gempuran serangan Australia. Kombinasi kolektivitas dan skil individu kemudian dipertunjukkan saat mengalahkan Yordania dan Korea Selatan.

Gol ketiga dan keempat terhadap Yordania adalah buah dari kerjasama yang yahud. Dua gol Struick ke gawang Korea Selatan adalah buah skil dan kejelian individu sementara tekanan adu penalti berhasil diatasi seluruh pemain. Gol-gol itu hanya bisa tercipta dengan modal fisik dan mental yang baik.

Faktor Mental

Sehebat-hebatnya seseorang atau sebuah tim, selalu ada ruang untuk berkembang. Rasa puas dan sikap anti kritik tentu akan menghentikan proses ke arah yang lebih baik lagi. Meskipun Timnas telah melewati target dengan sampai ke semifinal, peluang untuk sampai di final sebenarnya terbuka.

Faktor mental menjadi salah satu unsur dominan dalam kekalahan Timnas atas Uzbekistan di laga semifinal. Timnas memulai pertandingan dengan ketegangan dan takut melakukan kesalahan. Kondisi psikis ini membuat anak-anak hebat itu tak mampu menguasai bola lebih lama dan kalut saat ditekan.

Permainan timnas saat melawan Uzbeskistan berada di bawah level permainan sebelumnya saat menghadapi Australia, Yordania, dan Korea Selatan. Keterpurukan mental kemudian diperparah dengan keputusan wasit menganulir gol Ferrari yang jika tidak, hampir pasti akan membalikkan kondisi psikologi kedua tim. Puncaknya pun terjadi ketika Ridho, secara kontroversial, diusir keluar dengan kartu merah.

Faktor Fisik

Di babak kedua melawan Uzbekistan, penurunan kondisi fisik mulai terlihat. Wajar, Timnas telah melakoni empat pertandingan dalam sebelas hari! Pertandingan sebelumnya lawan Korea bahkan harus dijalani selama dua jam plus dua putaran tendangan penalti. Uzbekistan akhirnya menguasai bola (52%) dan memenangi duel (60%).

Penurunan kondisi fisik juga terlihat babak kedua melawan Irak di perebutan tempat ketiga. Daya pressing dan akurasi passing pemain Timnas berkurang signifikan, alhasil pemain Irak relatif leluasa melancarkan serangan.

Sesungguhnya Irak tidaklah sekeras Uzbekistan. Timnas punya beberapa peluang untuk menambah gol tetapi kelelahan tampaknya menjadi hambatan. Postur pemain Irak yang relatif lebih tinggi menambah kesulitan pemain Timnas berduel, terutama bola udara (36% dibanding 64%).

Meski Shin Tae-yong berusaha melakukan penyegaran dengan mengganti empat pemain menjelang akhir babak kedua namun agresi Timnas tak signifikan meningkat . Beberapa ancaman serius dari Irak justru mampir ke pertahanan Timnas. Satu kelengahan Hubner, setelah kepahlawanannya yang berkali-kali, akhirnya berbuah gol kemenangan bagi Irak.

Seandainya...

Seandainya Timnas punya pemain pelapis yang setara, harusnya Shin Tae-yong bisa merotasi pemainnya selama turnamen. Sangat logis jika pemain yang sama bermain terus pada 4-5 pertandingan dalam dua minggu, maka kondisi fisiknya menurun. Keletihan dan cidera ringan tak mungkin pulih dalam 2-3 hari.

Faktanya, Shin Tae-yong memang hanya memainkan 16 pemain selama turnamen yang didominasi oleh 8 pemain yang sama. Hoky, Arkhan, dan Ikhsan minim waktu bermain sementara Bagas dan Dony sama sekali tidak pernah diturunkan.

Semoga di masa depan, Shin Tae-yong bersama PSSI mampu memiliki 22 pemain yang tidak jauh berbeda kualitasnya untuk mengarungi turnamen yang berat. Yah, begitulah komentar seorang penggemar awam ini. Bukan tidak puas dengan lompatan jauh Timnas U23 di turnamen ini tetapi ruang untuk lebih baik itu terlihat ada di depan mata dan itu menggelitik. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun