Mohon tunggu...
Tirto Karsa
Tirto Karsa Mohon Tunggu... Buruh Pabrik -

"Hidup hanya senda gurau belaka"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Bekas

24 Januari 2018   08:24 Diperbarui: 25 Januari 2018   02:19 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.pixabay.com

Burung Sriganti berterbangan di taman kampus pagi itu. Berpindah dari satu bunga ke bunga lainnya, memamerkan kelihaiannya dalam menemukan sumber makanan. Dimasukkan paruh lancipnya ke dalam bunga warna-warni yang dihinggapinya, menariknya pelan-pelan dan memperhatikan kanan kiri, kemudian terbang ke ranting pohon maoni di pinggir kolam.

Sika duduk di pinggir kolam di bawah Maoni. Memandangi Rembayung yang mencoba mengambil potret dari Burung Sriganti yang hinggap di ranting. Dengan kamera DSLRnya, Rembayung berulang kali memutarkan tangan kirinyayang menempel pada lensa. 

Rembayung merasa ragu mana yang lebih menarik, memfokuskan lensanya pada ranting atau pada burungnya. Beberapa kali dia ambil jarak antara mata dan kameranya untuk meyakinkan dirinya mana yang lebih baik. Justru, dia terjebak untuk menunggu momen saat burung Sriganti hendak terbang meninggalkan rantingnya. Sebuah momen singkat yang harus dia abadikan dan tentunya membutuhkan kelihaian gerak tangannya.

Sika mengalihkan perhatiannya dan mencoba membuang pandangannya pada dua orang lelaki yang sedang mancing di seberang sungai. Keduanya tampak memperhatikannya dan kemudian menunduk saat tertangkap mata olehnya. Sika merasa yakin mengenal salah satu dari dua lelaki itu, meskipun agak samar. 

Rembayung selesai mengambil gambar. Dia melompat dan mencium Sika. Aku Berhasil, Ujarnya bahagia. 

"Aku juga ada kabar baik, Pengikut kita di Instagram telah genap Dua puluh ribu. Kita harus merayakannya Yung." Sika memegang tangan Rembayung.

" Boleh, Akupun merasa perlu membuat sesuatu yang istimewa di rumah nanti."

***

Apartemennya terletak dilantai 6 dan kamarnya memiliki jendela yang menghadap ke kolam renang. Dari tempat tidurnya, Sika memperhatikan kebiasaan penghuni lainnya yang tiap sore menghabiskan waktu di kolam. Baginya, kegiatan itu merupakan ritual spiritual yang mampu mengisi semangatnya kembali baik di saat sore ataupun pagi. Menyaksikan orang lain beraktifitas membuatnya merasa kembali hidup layaknya manusia yang diketahuinya semasa kecil.

Rembayung datang bersama Santi dan Dwi, Rembayung membawa sebuah kresek hitam besar, santi  membawa beberapa botol minuman dan Dwi membopong berbagai pernak-pernik lain untuk pesta. Malam itu, keempatnya memang telah sepakat untuk membuat sebuah acara pesta kecil yang dimaksudkan untuk merayakan penambahan follower instagram mereka.

Sika bangkit dari tempatnya dan menghampiri ketiga temannya untuk membantu menaruh barang bawaan mereka. Setelah memastikan semua barang-barang persiapan pesta itu di taruh pada tempatnya sebelum di tata, Sika kembali pada tempatnya semula, menghadap jendela dengan tatapan  kosong.

"Hei, Jangan kau terlalu mengingat masa -- masa itu!" Dwi memegang pundak Sika. 

"Aku tidak mengingatnya, aku hanya menyaksikan bagaimana mereka dengan aman beraktifitas di sini. Beruntung, waktu itu kamu menememukan kami kak." Sika meneteskan air mata.

"Sekarang bukan waktunya untuk mengenang masa -- masa itu. Sekarang waktunya untuk merayakan keberhasilan kita. Bukan hanya Instagram kita yang followernya sampai pada angka yang fantastis, tetapi Youtube yang aku kelola subcribernya sudah sampai sembilan ratus  lima puluh ribu ." 

"Serius Kak?"

Dwi membuka tangannya mengajak Sika berpelukan. Sika menyambutnya sambil tersenyum.

Rembayung dengan telaten menata lilin melingkari ruang tamu mereka. Sebuah meja kecil tempat makanan ditaruhnya di tengah tengah lingkaran. Rembayung ingin membuat sebuah nuansa makan malam di tengah lilin yang mengelilinya.

Sinta menyiapkan makanannya. Beberapa bahan yang telah mereka beli dari supermarket terdekat telah dia taruh berjajar di hadapannya. Tidak lupa juga, sebuah buku resep masakan yang berukuran besar dia taruh di sisi kanannya. Beberapa kali, tampak dia membolak-balikkan buku itu.

Sika dan Dwi keluar dari kamar. Sika berjalan ke dapur membantu Sinta dan Dwi mencoba melakukan setting alat-alat musik yang akan mereka gunakan. Rembayung membantu Dwi setelah selesai menyiapkan bagiannya. Dia memastikan dinding ruangannya kedap suara. Mengetuk-ngetuknya dan kemudaian menekannya dengan tangan di beberapa titik yang mungkin bocor. Sebuah wallpaper besar yang berisi lukisan mereka berempat di pasang untuk menutupi warna cat temboknya yang berwarna abu-abu.

Pesta dimulai setelah jam menunjukkan pukul 08.00 malam. Saat itulah, beberapa teman komunitasnya datang. Mereka datang membawa snack, wine dan makanan ringan lain yang dapat dimanfaatkan untuk memeriahkan pesta. Mereka yang hadirpun tidak banyak, hanya sekitar enam orang saja.

Dwi mengiringi pesta dengan suara gitarnya yang beraliran flok. Rembayung membantu dan mengikuti musik Dwi. Sika dan Sinta duduk di tengah keenam tamu undangannya. Sebagai tuan Rumah, dia menceritakan tentang segala aktifitas bersama mereka di galeri kecil itu.

"Galeri", begitulah mereka menyebut kamar kecil itu. Sesuatu yang harusnya mudah dikunjungi orang karena menjadi tempat mereka memamerkan produk-produk seninya. Namun apapun kondisinya, kamar kecil itu merupakan satu-satunya tempat mereka memproduksi karyanya. 

Sika sebagai seorang yang hidup di Galeri itu selalu merasa sebagai orang yang paling tidak berguna. Dialah satu-satunya penghuni yang tidak memiliki keahlian seni sama sekali. Jika Dwi, pandai memainkan musik, Rembayung pintar melukis dan fotografi, sinta pintar menulis cerita.

"Aku bangga dapat bersama kalian di sini." Ujar salah seorang tamu.

Semuanya merapat dan memberikan sulang. 

Ketika makanan telah habis dan semua orang mulai teler. Saat itulah, Dwi mulai menyadari bahwa terdapat Unggahan di internet yang menyerang mereka. Dan belum berselang lama dari itu, terdengar suara pintu kamarnya di ketok oleh seseorang.

"Permisi, kami dari petugas kepolisian!" Teriaknya yang terdengar dari kotak penerima suara di dekat pintu.

Dwi tergopoh-gopoh untuk memebuka pintunya dan saat dia sudah mendekati pintu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Nampaknya para petugas kepolisian itu telah membuka pintu kamarnya dengan paksa. Mereka masuk dengan kondisi siaga, senjata lengkap yang diacungkan ke kepala Dwi. Dwi Kaget. Dia mencoba untuk mengendalikan dirinya. 

" Cepat angkat tangan kalian!" Perintah salah seorang petugas yang tampak dihormati oleh lainnya. "Berbalik sekarang!" 

Semuanya mengikuti perintahNya, Kecuali dwi yang masih tenang menatap mata polisi yang mengacungkan senjata ke kepalanya. " Jika kalian melakukannya, tentu aku akan membanasakan kalian. "

Seorang yang berpakaian preman tiba-tiba mendatangi Dwi dan memukulnya hingga Dwi terduduk. " Tutup mulutmu!" Bentaknya.

Mereka dikumpulkan di pojok dekat jendela. Sika memilih duduk di tempat yang paling dekat dengan jendela, Rembayung dan sinta melindungi di belakangnya sedangkan yang lainnya mengelilingi mereka. Sika ketakutan, keringatnya mengalir deras. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu nya menampilkan serpihan-serpihan masa lalu yang ingin selalu dipendamnya. 

Kolam itu kelihatan dari tempatnya berada. Nampaknya, terdapat sebuah pesta di tepi kolam. Tampak beberapa anak muda menari dan berteriak dengan riangnya. Seperti halnya dirinya dulu saat baru lulus SMP, saat dia, Sinta dan Rembayung merayakan kelulusan di Sungai belakang rumahnya. Tiba-tiba air mata Sika mengalir deras. Dia merasa sudah tidak lagi mampu menampilkan potong demi potong kenangannya itu.

" Sudah kami bilang, kami mahasiswa S3 di kampus itu." Bentak Dwi.

" Kami tetap harus menggeledah ruangan ini walaupun, kalian mahasiswa." Kata polisi yang berbaju preman itu.

Beberapa anggota kepolisian mulai melakukan penggeledahan. Mereka buka satu persatu lemari dan laci di seluruh ruangan. 

"Jangan sampai kalian merusak karya seni kami." Bentak Dwi.

Sika pandangannya mulai kabur. Ingatannya kembali menguat dan memunculkan wujudnya kembali. Sebuah gambaran tentang tiga orang anak berseragam SMP yang mandi di sungai tampak sedang tertawa bahagia. 

Tiba-tiba, enam orang anak laki-laki yang berseragam SMA masuk ke sungai dan menyeret mereka keluar. Ketiga anak perempuan berseragam itu meronta-ronta meminta tolong, namun tidak seorangpun menanggapinya. Gambaran itu tiba-tiba terhenti saat Rembayung memegang tangannya.

"Atas dasar apa dilakukan penggerbekan di sini?" Rembayung berdiri. Dia berjalan meninggalkan teman-temannya yang masih berjongkok. " Aku membutuhkan surat ijin penggeledahan kalian."

Rembayung terdiam cukup lama saat membaca surat itu. "Bahkan sekarang akupun bingung, bukti macam apa yang dapat dijadikan dasar untuk memperkuat dugaanmu." Rembayung lesu dan kembali ke sisi Sika.

" Buka saja google dan cari berita tentang kalian! Jika kalian ingin mengetahui alasan kami kesini." Perintah salah satu polisi.

Sika ingat betul dengan bau kandang itu. Kandang tempat ketiga anak bersereragam SMP itu diikat layaknya kambing yang hendak di sembelih. Padahal kambing yang ada di kandang itupun di ikat dengan sangat manusiawi. Begitu hujan mulai turun beberapa jam setelahnya, ketiga anak perempuan berseragam SMP itu bersimbah Peluh dan Air Mata. Tiba-tiba Sika tidak sadarkan diri. 

Rembayung memeluknya erat sambil tetap memperhatikan kolam. Dia tidak ingin membiarkan Sika terbangun tanpa mengetahui keberadaannya. Dia ingin, dirinyalah orang pertama yang dilihat Sika saat terbangun. 

"Jangan berpelukan kalian!" Bentak salah seorang polisi. " Sangat tidak patut perempuan menyukai sesama perempuan."

Sika sedikit tersadar. Dia berbisik pada Rembayung. "Aku tadi sebelum memulai pesta, membuka internet sebentar . Mereka telah banyak membicarakan kita. Mereka telah banyak menghujat kita. Bahkan mereka menganggapp kita parasit. Meskipun mereka sangat menikmati karya-karya kita." Sika menangis. "Padahal, belum tentu kita seperti yang mereka anggap."

"Dwi pasti akan menyelamatkan kita seperti hari itu." Rembayung menenangkannya.

Sika mengingat betapa hari itu begitu membekas. Bahkan bau keringat dari anak-anak SMA itupun tidak dengan mudah dia hilangkan dari tubuhnya. Setiap dia mandi, dia harus berulang kali membersihkan tubuhnya agar tidak lagi mencium bau itu. Bahkan saat dia duduk di samping seorang lelaki, dia akan dengan mudah mencium hadirnya bau keringat itu sehingga dia gemetar.

Dwi baru pulang sekolah dan berteduh dari hujan di kandang kambing itu, saat dia mendengar ketiga teman sekelasnya minta tolong. Dengan cepat dwi berlari menerobos hujan dan memanggil para tetua kampung. Hanya kurang dari 10 menit, seluruh warga sudah mengepung kandang itu. Mereka mendobrak pintu kandang dan menemukan tiga anak perempuan SMP yang terikat dengan tiap orangnya di jaga oleh dua orang anak laki-laki SMA. Semuanya dalam keadaan tanpa berpakaian.

Satu jam kemudian, kandang itu telah terbakar bersama dengan kambing dan seluruh isinya. Kecuali tiga anak SMP yang menangis dipangkuan kedua orang tua masing-masing.

"Apakah kamu ingin selamat namun tetap mendapat sanksi adat seperti sebelumnya" Sika menatap Mata Rembayung.

Rembayung mengingat bagaimana dulu kembang desa muda itu dicampakkan oleh masyarakatnya. Apalagi lelaki yang kerapkali berpapasan dengannya, mereka selalu meludah seolah sangat jijik dengannya. Belum lagi tetangganya, yang kerap kali menggunjingkan dirinya. Di sekolah, setiap anak yang ditemuinya menyebutnya pelacur. 

"Aku tidak ingin."

Suara pecahan kaca jendela terdengar menggema di kamar itu diikuti oleh dua orang yang terbang bebas keluar ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun