Mohon tunggu...
Very Barus
Very Barus Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Writer, Traveler, Photographer, Videographer, Animal Lover

Mantan jurnalis yang masih cinta dengan dunia tulis menulis. Sudah menelurkan 7 buah buku. Suka traveling dan Mendaki Gunung dan hal-hal yang berbau petualangan. Karena sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan, maka berjalannya sejauh mana kaki melangkah. Kamu akan menemukan banyak hal yang membuat pikiran dan wawasanmu berbicara. Saya juga suka mengabadikan perjalan saya lewat visual. Anda bisa menyaksikannya di channel Youtube pribadi saya (www.youtube.com/verybarus). Saya menulis random, apa yang ingin saya tulis maka saya akan menulis. Tidak ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Obrolan di Warung Kopi Part 2

26 Februari 2020   11:00 Diperbarui: 26 Februari 2020   11:02 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sudah hampir dua pekan ini aku berada di sebuah kota kecil di Rantauprapat. Kota yang dikenal dengan kawasan perkebunan Kelapa Sawit. Kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan gemerlap, hedonis dan juga gegap gempita tehnologi dan kecanggihan elektronik.  Semua terlihat sederhana dan tampak apa adanya.

Tapi....

Dibalik semua itu, tersimpan rahasia yang membuat aku terdiam bodoh. Ya, aku yang merasa sudah lama tinggal di ibukota dan bertemu dengan orang-orang kota yang lebih memprioritaskan penampilan ketimbang isi kantong. Sedangkan mereka, orang yang tinggal di desa atau kota kecil ini, penampilan bukan lah hal yang utama. Bagi mereka penampilan tidak menjamin orang tersebut hidup mapan. Hmmm, betul juga, sih.  

Saat berada disana, aku sering bertemu dengan orang-orang yang bekerja di perkebunan Sawit atau juga pemilik perkebunan sawit yang luas kebunnya berhektar-hektar. 

Berada di warung kopi tanpa bandrol "internasional", duduk ditengah-tengah mereka, aku merasa orang paling bodoh di dunia persawitan. Mereka sangat faham akan naik turunnya harga sawit, juga tentang penyakit-penyakit apa yang menyerang pohon sawit serta pencegahannya.

Suatu hari, aku janjian dengan seorang kerabat untuk membahas soal kebun sawit. Tanpa basa-basi, melalui telepon dia berujar; "Kita ketemu di warung kopi yang dekat kebun saja." ujar  kerabat.  Aku pun menyanggupinya. Tapi, seperti biasa, sebelum pergi bertemu dengan kerabat tersebut, aku mempersiapkan diri dengan penampilan yang rapih, bersih dan wangi. 

Tidak ketinggalan memperhatikan penampilan dari atas hingga bawah. Mungkin karena sudah terbiasa, jika hendak bertemu meeeting dengan klien di sebuah kafe, aku akan melakukan hal yang sama. Tampil rapi dan wangi. Setelah yakin dengan penampilan, aku pun pergi ke tempat yang sudah di janjikan.

Sempat bertanya-tanya juga dimana letak pasti warung kopi tersebut. Karena, dibuka google map, nama warung kopi tersebut tidak terera. Akhirnya, atas petunjuk manual (mulut ke mulut) aku pun tiba di warung kopi. Sempat terdiam sejenak, karena melihat warung kopi yang benar-benar "WARUNG" yang menjual kopi.

Hampir semua pengunjung warung kopi yang ada disitu tampail apa adanya. Bahkan ada yang hanya pakai kaos dalam, celana pendek dan sandal swallow yang sudah sedikit usang. Ada juga yang datang tanpa pakai baju tapi bajunya hanya digenggam saja.

"Panas" katanya.

Wajar karena warung kopi itu tidak pakai AC. Hanya ada Angin Cepaoi-Cepoi. Meski ada juga yang mengenakan pakaian rapi lengkap dengan sepatunya. Ternyata dia seorang pegawai negeri yang merangkap juragan sawit.

Di halaman parkir pun hanya terparkir motor-motor matic tanpa mengenal merk dan kelasnya. Mereka memang tidak peduli dengan merk juga gaya hidup.  Mereka begitu asyik ngobrol satu sama lain. Semua hape tergeletak di atas meja. Berbeda kalau ngopi di kafe ibukota. Meski raga bertemu namun tangan sibuk dengan hape masing-masing. 

Disini justru hape mereka bukan hal yang prioritas. Apalagi rata-rata hape mereka model jadul yang bukan smartphone. Tidak ada Iphone atau  Samsung seri terbaru. Mereka tidak mengenal seri ter-gress. Bahkan, mereka juga bukan penikmat sosial media. Dalam hati aku berfikir, pantes saja kalau menghubungi mereka tidak pernah bisa pakai whatsup, harus pakai sms atau telepon langsung. Ternyata hape mereka pun ala kadarnya.

"Buat apa hape mahal dan canggih? Kalau mau ngobrol mending ketemu langsung disini. Bisa ngobrol sepuas puasnya. Kalau bicara pake hape nggak puas." ujarnya. "Lagian, beli hape canggih tapi nggak bisa memakainya buat apa?" Lanjutnya sambal memamerkan hape jadulnya.

Kehadiranku tidak mengusik obrolan mereka. Kebetulan, orang yang aku tunggu masih dalam perjalanan ke warung kopi itu. Telinga ini pun mendengarkan obrolan para pengunjung warung sambil pura-pura mainin smartphone.

Alangkah kagetnya aku ketika masing-masing membahas soal rencana beli kebun sawit, menambah kebun sawit atau juga soal uang mereka yang jumlahnya bikin kaget. Mereka bukan bicara tentang uang satu juta atau dua jutaan, melainkan Milyaran. Angka tertinggi nominalnya ratusan juta. Busyet!!!! Aku yang penampilan "kota" mungkin uang ditabungan tidak tembus ke angka milyaran. Boro-boro!

            "Ada kebun sawit mau dijual 20 hektar, penjualnya jual harga murah. Satu hektarnya Rp.100 juta. Jadi kalau 20 hektar dia buka harga 2 milyar."

            "Wah, sudah murah tuh. Pasaran, kebon sawit kalau sudah berbuah bagus sekitar Rp.200 juta/hektar. Ambil saja!"

            "Tapi uangku cuma ada 1,8 M. Kalau ditawar kira-kira mau nggak?"

            "Pasi mau lah, apalagi jual BU alias butuh uang."

Obrolan mereka begitu serius dan tampak asyik sambal minum teh manis dan kopi. Kaki diangkat satu ke kursi layaknya orang ngobrol di warung kopi. Satu persatu kuperhatikan penampilan mereka sambal senyum-senyum sendiri. Aku yakin, mungkin jika melihat penampilannya, orang akan mengira mereka tukang becak atau pengangguran yang kere. Ternyata masing-masing dari mereka sudah memiliki kebun sawit diatas 50 hektar.

            "Tapi harga sawit sekarang lagi turun ya. Masak, kebunku yang 30 hektar hasilnya tidak sapai sekian ton.."

            "Ya, memang begitu. Kebonku yang 10 hektar beda hasilnya dengan kebunku yang lain 10 hektar lagi. Beda lokasi beda hasil." Ujar yang lain.

Beberapa saat kemudian, orang yang aku tunggu-tunggu tiba. Seorang perempuan paruh baya dengan penampilan yang lagi-lagi sangat biasa-biasa saja. Hanya saja, di lehernya berjuntai kalung emas yang kelihatan cukup berat. DItangannya bergantung gelang emas hingga beberapa buah. Cincin emas melingkar di dua jarinya. Ya, layaknya penampilan orang daerah yang banyak duit tapi penampilan biasa-biasa saja.

            "Jadi beginilah, aku cuma bawa uang Rp. 500 juta. Kalau jadi kebon sodaramu mau dijual, peganglah dulu uang ini. Sisanya nanti aku ambil di bank."

Serasa menelan biji kedondong, leherku tiba-tiba sakit mendengar obrolan to the point perempuan paruh baya itu sambal mengeluarkan uang segepok dari tas-nya yang tidak ada mereknya. Mungkin tas berisi 500 juta itu harganya tidak sampai Rp. 100 ribu.Tapi, isinya?

Setelah hampir dua jam nongkrong di warung kopi dan asyik mendengar obrolan para pengunjung warung kopi, akhirnya aku pun bisa menyimpulkan kalau berada di dua "warung kopi" yang berbeda, kita bisa melihat perbedaan yang real diantara para pengunjung warung kopi. 

Perbedaan antara di desa dan di kota. Kota memang menjanjikan "kemilau" penampilan tapi belum tentu kemilau itu benar-benar menyilaukan mata, melainkan kepalsuan. Sedangkan di desa, sering dianggap tidak menjanjikan apa-apa, namun sesungguhnya disanalah sumber kemilauan yang real.

Sekarang, semua tergantung anda, mau memilih nongkrong warung kopi yang mana? Yang berlabel "coffee shop" atau "warung kopi" biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun