Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nomor Kasus Saya

25 Maret 2020   09:01 Diperbarui: 26 Maret 2020   19:15 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Ria Algra dari Pixabay

Telah lebih tiga pekan saya mengurung diri, dalam kamar yang tak begitu luas, bersama perabot keseharian yang acak adul. Saya hanya terbaring di sebagian besar hari dari hari ke hari, sesekali melirik jam bundar yang berdetak di dinding kusam, yang pula tak berarti apa apa pada akhirnya. 

Entah semakin saya rasakan seperti rasa yang sayup di udara, ruang yang menyapa kulit saya, hanya menjelma dingin merayap yang tak menentu, di siang bolong ataupun ternyata serupa saja di kelam malam.

Hanya terbujur di ujung nuansa bagai di dalam atmosfir buatan, yang kelamaan tubuh saya seperti kelu, kalau gak bisa dibilang beku. Hanya satu rasa yang beberapa hari terakhir ini menuruni ke ubun ubun kepala saya.  

Terlalu lama 'stay home' barangkali, ketika saya coba mengorek kesadaran namun tanpa hasil. Saya pun mendiami saja. Hingga ketika datanglah hari puncak rasa, yang masuk ke seluruh daleman kepala saya tanpa hendak saya cegah. Lalu makin merasuk  dan .. saya merasakan sebuah pemakaman, di otak saya. 

Lalu melewati hari berikutnya, rasa itu semakin memadat, sementara tubuh saya diam saja di papan ranjang tak bergerak. Dan rasa penguburan di otak saya semakin menguasai,  ketika para pelayat mulai berdatangan. Langkah kaki mereka serasa menghujam hingga mendenyut  di kedua pelipis. 

Menguji kewarasan saya yang sudah mulai memudar, boro-boro geseran anggota tubuh, itu sudah no way, bro!. Namun indera dengar saya malah jadi sensitif, ya itu tadi, langkah alas alas kaki kesana kemari para pelayat, menjadi demikian kencang, srek, srek, srek.. memilukan. 

Apalagi ketika hadir para pengangkat jenasah, langkah langkah mereka seperti tentara bersepatu boot, bruk, bruk, bruk, membuat saya semakin pekok, dan linglung. Kerna saya tak bisa melihatnya, itu ada di otak saya, kan, jadi malah memaksa rasa indera saya mau menerabas keluar, namun tak daya. 

Sementara badanku sudah serasa mati, hanya kewarasan yang menggeh menggeh saya pertahankan seerat mungkin, yang malah menyiksa dan mulai seperti mengerat otak kepala saya. Yang membuat saya ingin memisahkan otak saya dari diri sendiri, kerna apa?  Pemakamn itu, pep! Yang semakin ingin memiliki diriku sendiri.     

Namun, saya masih beruntung. Ketika para 'perusuh' itu mengambil tempat duduknya masing masing dengan tenang, otak saya bisa sedikit rileks. Kepala tak lagi nyut nyut, indera telinga pun bagai bersemedi. Lalu menyisakan keheningan yang ternyata tidak berlangsung lama. 

Hadeeeh..! Pemimpin penggotong peti itu mulai berdiri dan berkata kata sopan seperti rapalan berirama. Dan ini lagi lagi, disambut indera tajam telinga saya. Irama kata orang itu, yang semula seperti detak detak jam dinding, dalam waktu singkat menjelma menjadi suara drum yang dipukul keras,berurutan dengan tempo sama. 

Drum! Drum! Drum!  Inilah berita buruk! Begitu sensor otak saya memberi alarm. Dan saya menjadi panik, barangkali mendekat ke gila. Kerna suara dentuman drum itu, mulai menguasai seluruh pikiran saya, menjajah otak saya. Membuat pikiran mati rasa, hanya mengikuti kemana aliran ini bertujuan, seperti dihanyut kali kecil sekehendak alurnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun