Setelah malam gemilang menggelar gemintangnya. Mengapa tiba-tiba paras pagi begitu redup termangu berlumur ragu? Dan itu merambah ke segenap makhluk kreasi-Nya.
Tengoklah kasar wajah para petani menggurat peluh dan keluh. Tengoklah ayunan kaki sapi-sapinya yang berat melambat seperti mau sekarat.
Tataplah  gadis-gadis elok dusun, yang enggan merajut kembali mimpi-mimpinya. Tataplah para taruna melentuk terbatuk menggigil, lalu merebah tergolek ke bumi.
Bahkan kawanan elit negeri yang tadinya militan, kini kehilangan letupan ambisi dan gairah juangnya. Bahkan para pangeran pemilik masa depan takhta bangsa pun lunglai merunduk.
Pertanda apakah ini? Tapi apapun kelam kejam sinyalnya. Negeri ini tak boleh sakit! Tak boleh pailit!
Meski jadi bulan-bulanan agitasi dan persekusi para dedemit berdasi berlabel politisi. Ibu pertiwi harus tetap berdenyut tersenyum dan semarak kembali.
"Sebab itu, mari hai puan pujaanku, kita menari dan berkidung bersama. Bukankah di dadamu, melimpah berlaksa diksi indah, yang bisa kaurangkai jadi nyanyian hati bermutu tinggi? Bukankah kita bisa kolaborasi mencipta orkestrasi cantik bermuatan solusi? Aku percaya, kekompakan kita bisa meneduhkan sekaligus kobarkan lagi gairah anak-anak bangsa."
== Mari menarilah bersamaku, wahai puan pujaanku! ==
==000==
Â
Bambang Suwarno-Palangkaraya, 17 Mei 2019