Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Neurosains dan Sistem Navigasi Pesawat Terbang

10 Maret 2020   08:29 Diperbarui: 10 Maret 2020   08:31 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Jakarta, 10 Maret 2020. Oleh: Deep Blue adalah komputer pertama yang memenangkan sebuah permainan catur melawan seorang juara dunia (Garry Kasparov) dalam waktu standar sebuah turnamen catur. Kemenangan pertamanya (dalam pertandingan atau babak pertama) terjadi pada 10 Februari 1996, dan merupakan permainan yang sangat terkenal. Namun Kasparov kemudian memenangkan 3 pertandingan lainnya dan memperoleh hasil remis pada 2 pertandingan selanjutnya, sehingga mengalahkan Deep Blue dengan hasil 4-2.

Deep Blue lalu diupgrade lagi secara besar-besaran dan kembali bertanding melawan Kasparov pada Mei 1997. Dalam pertandingan enam babak tersebut Deep Blue menang dengan hasil 3,5-2,5. Babak terakhirnya berakhir pada 11 Mei tahun itu. Deep Blue menjadi komputer pertama yang mengalahkan juara dunia bertahan.

Sekarang sudah di tahun 2020. Artinya sudah 22 tahun lebih dari kejadian tadi. Tentunya perkembangan teknologi komputer tersebut sudah mengalami kemajuan-kemajuan yang signifikan. Masih ingatkah, seperti pada perangkat pesawat baru Boeing tipe 737 MAX 8, yang belum terlalu lama ini jatuh mengalami kecelakaan dan menewaskan seluruh penumpang dan awak penerbangnya. Maskapai penerbangan Lion Air dengan kode pesawat JT 610 dengan pesawat produksi 2018 ini tentunya telah didukung oleh teknologi sistem komputerisasi yang jauh lebih canggih.

Belum lama ini viral video di medsos, pilot pesawat maskapai Etihad Airways yang mendapat pujian dari netizen, setelah tetap berhasil mendaratkan pesawat jumbo Airbus A380 di tengah terjangan Badai Dennis di Bandara Heathrow, London, Inggris. Pesawat tak bisa mendarat sempurna karena badai tersebut, menyebabkan dibatalkannya ratusan penerbangan (Minggu, 16/2/2020).

Menurut laporan Sky News saat itu angin dari arah depan pesawat bertiup 80 kilometer per jam. Seorang pembaca media UEA Khaleej Times, Ayesha Munawar, memuji kemampuan pilot dalam mengendalikan pesawat sampai berhasil mendarat. "Teknik yang benar-benar luar biasa dan tentu saja pilot terampil yang berpengalaman. Pekerjaan yang baik bisa mendaratkan dengan selamat," kata dia.

Sederhananya, AI dapat digambarkan sebagai upaya untuk membuat mesin berpikir seperti manusia. Gagasan yang berusia lebih dari 70 tahun, dan Airbus telah lama memiliki aplikasi AI. Helikopter Airbus telah menggunakan jaringan saraf tiruan (artificial neural network) sejak 2005 untuk menyesuaikan bilah rotornya.

Deep learning, yang merupakan sistem yang didasarkan pada deep neural network, adalah apa yang bertanggung jawab untuk ini, katanya. Jaringan ini dimodelkan pada otak manusia dan 'dalam' karena banyak lapisannya. Kita memberi makan jaringan ini dengan data dan contoh, yang kemudian diproses, sehingga memperoleh pengetahuan. Dan itu berhasil dengan banyak keberhasilan. Pada Maret 2016, Lee Sedol - juara Korea Selatan dalam game strategi Asia Go - ditantang untuk bertanding melawan perangkat lunak Google AlphaGo.

Go digambarkan sebagai salah satu permainan strategi paling kompleks di dunia, dan program Google mengejutkan lawannya dengan gerakan yang belum pernah dilakukan manusia sebelumnya. Itu memenangkan pertandingan 4-1, meninggalkan Lee Sedol yang terkejut dan kesadaran bahwa artificial neural network dengan kapasitas untuk belajar dapat menemukan solusi mereka sendiri yang sepenuhnya baru. Hal ini membuat teknologinya sangat menarik untuk beberapa sektor, dan Airbus juga menjajaki peluang baru yang AI buka.

"Menanamkan semakin banyak kecerdasan buatan ke dalam sistem kami akan memungkinkan kami untuk memulai dengan benar-benar membebaskan pilot dari tugas yang lebih biasa, tugas rutin - sehingga benar-benar menjaga elemen manusia dalam rantai untuk pemikiran strategis dan jenis tugas pengambilan keputusan, "Kata Grazia Vittadini, kepala petugas teknologi di Airbus.

Pada awal 1990-an, Gerald Tesauro, seorang pemrograman komputer di IBM, mulai mengembangkan jenis kercedasan artifisial (AI) baru. Menurutnya bahwa seluruh program AI konvensional, meskipun sangat canggih seperti Deep Blue, mempunyai suatu kelemahan, yakni cara pikir yang kaku (rigidity).

Tesauro coba menciptakan program AI yang berpikir seperti Garry Kasparov. Dia memilih permainan trik trak sebagai paradigmanya dan menamai komputernya; "the program TD-Gammon" (TD singkatan dari temporal difference). Bedanya dengan Deep Blue, TD-Gammon tak dibekali dengan pengetahuan sama sekali (berbeda dengan Deep Blue diprogram dengan kecerdasan untuk bermain catur).

TD-Gammon awalnya selalu kalah. Dan senantiasa membuat kesalahan-kesalahan yang bodoh. Namun itu sementara saja, komputer ini dirancang untuk belajar dari pengalaman-pengalamannya sendiri. Siang malam komputer ini bisa bermain trik trak sendiri. Secara tekun mempelajari langkah-langkah mana yang paling efisien.

Berbeda dengan Deep Blue, TD-Gammon tidak menghitung setiap kemungkinan permutasi. Sebaliknya TD-Garmon bahkan berpikir seperti Garry Kasparov membandingkan prediksi-prediksinya dengan apa yang sebenarnya terjadi. Selalu berusaha membuang "sinyal-sinyal kesalahan" sehingga prediksi-prediksinya semakin akurat, dan keputusan-keputusannya untuk memilih strategi semakin efektif dan cerdas.

Perbedaan pokok antara program pembelajaran dengan penguatan (reinforcement-learning) dan program tradisional adalah bahwa program baru dapat dengan sendirinya menemukan solusi-solusi yang tepat. Hal ini yang perlu dipahami oleh users - para pengguna teknologi, baik operator, driver, pilot dan user lainnya. Sikap dan perilaku mereka harus disesuaikan dengan kecerdasan "berpikir"nya mesin-mesin komputer ini (AI = Artifical Intelligence).

Tidak hanya pemahaman dan penguasaan teknologi. Namun hubungan antara manusia (sebagai pengguna) dengan alat-alat kecerdasan buatan tersebut. Sistem navigasi penerbangan terdiri dari dua sub sistem utama, yakni manusia (otak) dan mesin (komputer).

Jadi untuk menjadi pilot yang handal tidak cukup sekedar bagusnya nilai IQ, EQ, dan SQ (spiritual dan sosial) batasan persyaratannya. Tetapi, sedikitnya juga diharapkan dapat memahami ilmu neurosains. Terutama neurosains terapan di bidang komunikasi dan pengambilan keputusan di sini semakin penting. Komunikasi manusia ke mesin komputer, mesin ke mesin, dan mesin ke manusia. Belum lagi komunikasi langsung antar manusianya.

Komunikasi internal manusia proses berpikir juga yang paling terpenting (dalam hal ini seorang pilot). Dalam waktu yang sangat mendesak dan sesaat, harus membuat keputusan yang tepat. Semakin besar ukuran pesawatnya, semakin besar pula tanggung jawabnya dengan jumlah nyawa manusia penumpangnya yang tentunya lebih banyak. Sebanding dengan besar jumlah harga tiket yang harus dibayar penumpang. Tidak sekedar layanan yang ramah dan nyaman. Tapi juga garansi kepastian keselamatan sampai di tujuan yang sebagai syarat mutlak suatu maskapai penerbangan.

Sebagai contoh teknologi canggih (yang di tahun 2018 sekarang ini sudah tidak anyar lagi, alias usang, telah digantikan teknologi yang lebih super canggih) kedua mesin komputer tadi (TD-Gammon dan Deep Blue) dengan metode pemrograman yang sangat mencerminkan aktivitas neuron-neuron dopamin. Sel-sel otak ini juga mengukur kesenjangan antar harapan dan hasil. Mereka belajar dari kesalahan-kesalahan mereka sendiri untuk meningkatkan performa mereka; kegagalan akhirnya diubah jadi keberhasilan. Manusia tak kalah pintar dari komputer atau mesin-mesin yang juga dibuat manusia (Brain Making Machine).

Di dalam setiap keputusan penting, tidak hanya melibatkan logika PFC saja. Namun selalu harus hadir unsur emosi sedikitnya agar terjadi suatu keputusan. Pasien-pasien yang mengalami gangguan neurologis dan tak dapat merasakan emosi-emosi sama sekali - lazimnya karena kerusakan bagian organ otak yang disebut OFC (Orbito Frontal Cortex). Mesin komputer tak pernah menggunakan perasaan (kecuali dikembangkan). Dopamin - enzim neurotransmitter di dalam otak kita, molekul yang menciptakan perasaan-perasan tersebut.

Ilmuwan-ilmuwan di Universitas Iowa dan Universitas Caltech menemukan bahwa sel-sel otak manusia diprogram mirip sekali dengan TD-Gammon; mereka membuat prediksi-prediksi dopamin tentang apa yang akan terjadi dan kemudian mengukur perbedaan antara harapan-harapan mereka dan hasil-hasil nyatanya.

Bakat kognitif, neuron-neuron dopamin secara otomatis mendeteksi pola-pola subtil yang tak kita ketahui. Mereka menyerap semua data yang tak dapat kita tangkap secara sadar.

Menurut Tilman Betsch, emosi-emosi kita akan "menjadi sangat sensitif" terhadap performa riil dari suatu pilihan obyek yang membangkitkan perasaan-perasaan paling menyenangkan. Otak emosional kita sedang diuji di sini.

Perasaan-perasaan bijak yang tak terjelaskan ini merupakan bagian penting dari proses pembuatan keputusan. Meskipun ketika berpikir, kita tak tahu apa-apa; otak kita mengetahui sesuatu ("peran akal budi").

Namun perlu diingat, harus tetap eling (sadar) setiap saat, jangan sampai "tertipu oleh perasaan" dalam proses pengambilan keputusan. Selain kemungkinan terjadinya kesalahan atas prediksi-prediksi dopamin, juga diterjemahkan menjadi pengetahuan praktis yang mendorong mengikuti perasaan-perasaan yang benar tapi tak mudah dijelaskan.

Pesan elektrik di dalam kepala ini diteruskan dari satu neuron ke neuron lainnya sampai di ACC (Anterior Cingulate Cortex). Perasaan memang merupakan alat kognitif yang penting, tapi perlu diingat bahwa alat-alat yang paling bagus pun tak dapat menyelesaikan semua masalah.

Pembuat keputusan terbaik mengetahui situasi-situasi mana yang "kurang perlu" direspon dengan intuisi. Juga harus diingat; "intuisi pun tidak selalu benar".

Menurut Daniel Kahneman dan Amos Tversky; kelemahan mental - keengganan untuk kalah (loss aversion) pada saat dihadapkan suatu putusan pilihan. Keputusannya bergantung pada cara-cara pintas emosi, insting dan mental. Cara-cara pintas ini bukan perhitungan matematis yang lebih cepat, melainkan justru pengingkaran terhadap matematika.

Seperti hasil eksperimen Antonio Damasio dan George Loewinstein; "keengganan untuk kalah" merupakan sebuah kelemahan otak. Emosi-emosi kita telah menelikung akal sehat kita. Sering disebut dengan istilah "negativity bias", yakni pikiran merasa keburukan lebih kuat ketimbang kebaikan.

Tragedi United Airlines 232

Pada 19 Juli 1989, United Airlines 232 yang dikendarai oleh pilot Kapten Al Haynes dengan co-pilot William Records, yang terbang dari bandara Denver Stapleton menuju Chicago, mengalami kecelakaan akibat kerusakan salah satu engine-nya.

Saat pesawat ini terbang pada saat 37.000 kaki, dengan autopilot, Haynes sedang menikmati kopi sembari menikmati dan selalu mengangumi petak-petak ladang yang rata, sawah yang membentang membentuk garis-garis yang lurus benar. Tak pernah bosan walau seorang pilot AS ini telah mengantongi jam terbang lebih dari 30.000 jam. Namun naas, tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dari bagian belakang pesawat.

Badan pesawat terguncang ke kanan. Haynes sepontan berpikiran bahwa pesawat akan hancur berkeping-keping, bahwa dia bakal mati terbakar bola api besar bersama awak pesawat dan para penumpangnya. Namun, beberapa detik setelah guncangan itu, pesawatnya terbang dengan baik.

Haynes dan Records segera memeriksa seluruh instrumen dan untuk mencari indikasi kerusakan. Awalnya tak terbaca. Akhirnya diketemukan sumber masalah pada mesin nomor dua, yaitu mesin tengah di belakang pesawat rusak tak berfungsi. Sangat berbahaya, dan jarang terjadi pada pesawat jenis DC-10 yang mempunyai 2 mesin lagi yang berada di sayap-sayapnya.

Pada saat Records menoleh ke Haynes dan mengatakan sesuatu yang tak pernah ingin didengar pilot: "Al, saya tak dapat mengendalikan pesawat". Walau Haynes sudah menekan penuh kemudi guling kirinya dan mendorong yoke-nya jauh ke depan sehingga tombol-tombol kontrolnya tertekan ke batas kokpit. Dalam keadaan normal, manuver seperti ini akan menyebabkan pesawat turun dan berbelok ke kiri. Namun, kini pesawatnya malah naik terjal dan berbelok tajam ke kanan. Kalau diteruskan pesawatnya akan terbalik.

Kapten Haynes berpikir keras, dan mencoba mengunakan panggilan radio yang menghubungi ke United Airlines' System Aircraft Management (SAM). Sistem hidroliknya bermasalah. Dia segera membuka manualnya, tapi tak ada membahasnya. Akhirnya Haynes sadar bahwa mereka (Haynes & Records) harus berusaha sendiri. Tak ada orang lain yang dapat membantu mereka mendaratkan pesawatnya.

Haynes mencatat satu-satunya alat yang masih dapat bekerja, yaitu thrust lever, yang mengontrol kecepatan dan tenaga dua mesin yang ada. Akhirnya Haynes mendapat ide. Pada mulanya, pikirannya kacau. Tetapi makin keras berpikir, makin jelas solusinya. Idenya adalah menggunakan thrust lever untuk memgemudikan pesawatnya. Kuncinya pada gardan differential thrust. Dia mematikan satu mesinnya ketika mesin lain mendapat tenaga tambahan, pesawatnya akan berbelok ke arah mesin yang dimatikan (prinsip fisika sederhana).

Pada saat kritis Haynes menekan throttle-nya ke depan untuk mengoptimalkan mesin kanan dan mematikan mesin kiri. Pesawat tidak jadi terbalik dan jatuh.

Sewaktu kepercayaan diri para crew sedikit pulih, pesawat bergerak naik turun dengan kasar. Ini dikenal dengan phugoid pattern yang susah dikendalikan pada saat sistem hidroliknya rusak. Bila panik, mereka bisa mengulangi tragedi Japan Airlines 123. Saat pilot melihat indikator kecepatan udaranya, reaksi alamiahnya adalah berusaha menyeimbangkan pesawatnya. Namun, reaksi instingtif ini justru berkebalikan 180 derajat dengan apa yang semestinya dikakukan. Aerodinamika pesawat berlawanan akal sehat. Menurut Haynes bila menuruti impuls alamiahnya, dia akan kehilangan kendali. Pesawat akan menukik terjun bebas.

"Saya memang butuh waktu beberapa saat untuk berpikir jernih, tapi itulah yang menghindarkan saya dari kesalahan besar." begitu pengakuannya. Haynes harus menambah kecepatan saat pesawat meluncur ke bawah dan mengurangi kecepatan saat pesawat naik ke atas. Hal ini merupakan ide kontraintuitif yang sangat jarang dia lakukan. Bagian yang paling sulit, menurutnya.

Singkat cerita, pesawat berhasil mendarat di Sioux City dengan kecepatan tinggi 215 knots (normalnya 140 knots saat mendarat). Walau pesawat terpecah menjadi beberapa bagian dan menewaskan 112 penumpang, namun berhasil menyelamatkan 184 nyawa. National Transportation Safety Board memyimpulkan: "Kinerja yang patut mendapatkan penghargaan yang setinggi-tingginya dan melampui harapan-harapan rasional." Metode flight control yang digunakan Haynes dan Records sekarang menjadi salah satu standar pelatihan pilot.

Satu hal yang luar biasa dari kinerja para pilot tersebut adalah bahwa mereka berusaha menguasai emosi mereka. Tak gampang untuk bersikap tenang ketika kita sepenuhnya kehilangan kendali pesawat. Di bawah tekanan yang sangat berat, Haynes menggunakan prefrontal cortex (PFC)-nya untuk mengatur emosinya.

Emosi-emosi manusia sebenarnya piawai dalam menemukan pola-pola tertentu berdasarkan pengalamannya. Sehinnga kita dapat mendeteksi masalah yang terjadi. Tetapi ketika berhadapan dengan masalah yang belum pernah kita alami sebelumnya, ketika neuron-neuron dopamin kita tak tahu apa yang mesti dilakukan, seharusnya kita abaikan perasaan-perasaan kita. Langkah pertama untuk mengontrol emosi adalah tidak boleh panik!

Steven Predmore, manajer analis faktor manusia di Delta Airlines, telah sangat melakukan penelitian terkait proses pengambilan keputusan dalam United Airlines 232. Dia menganalisis percakapan selama 30 menit yang terekam oleh cockpit voice recorder ke dalam sejumlah topik pembicaraan atau potongan-potongan informasi. Hasil penelitian Pedmore ini menggambarkan heroisme dan kerja tim yang sungguh menarik.

Para pilot bisa saja membicangkan banyak sekali topik. Tetapi mereka cepat memusatkan perhatian pada data-data terpenting. Mereka selalu berpikir apa yang seharusnya mereka pikirkan, yang memungkinkan mereka meminimalisasi pembicaraan yang tak berguna.

Menurut Pedmore, kemampuan awak pesawat untuk memprioritaskan pekerjaan-pekerjaan penting mereka menjadi faktor penentu keberhasilan tersebut. Tentu saja, tak cukup memikirkan masalah; Haynes harus menyelesaikannya, yaitu mencari metode flight control yang benar-benar baru. Di sinilah PFC mempertontonkan kelebihannya yang unik. Dialah satu-satunya bagian otak yang dapat menangkap prinsip abstrak. Dalam hal ini prinsip kerja engine thrust.

PFC dapat menyelesaikan masalah-masalah pelik. Elemen pokoknya adalah working memory. Seperti hasil-hasil riset neurosains menunjukan bahwa neuron-neuron di daerah-daerah PFC dalam otak manusia akan menyala ketika merespon stimulus. Seperti lampu-lampu di kokpit, dan tetap menyala selama beberapa detik setelah stimulus itu lenyap.

Imbas dari aktivitas ini mendorong otak menciptakan asosiasi-asosiasi kreatif ketika sensasi-sensasi dan ide-ide yang tampaknya tak saling berkaitan bertemu. Kemudian sel-sel korteks mulai membentuk hubungan-hubungan yang tak pernah ada sebelumnya. Mengkait-kaitkan diri sel-sel itu dengan jaringan-jaringan baru. Seperti yang diungkapkan Haynes; "Ide cemerlang itu datang begitu saja, secara tiba-tiba, entah dari mana."

Dia membuang semua hal lain yang dapat membuatnya cemas. Pada saat itulah Haynes sadar bahwa mempercayai insting-instingnya dalam seperti itu adalah sebuah kesalahan besar. Pasca kejadian kecelakaan tersebut, pilot-pilot United Airlines diuji. Datanya menunjukan bahwa para pilot yang diuji tersebut gagal mendaratkan C-10 pada 57 simulasi pertama.

Berbeda, Haynes berhasil mencegah kecelakaan yang hampir pasti terjadi. Karena dia bisa memanfaatkan kelebihan PFCnya. Dia mampu bersikap tenang dan menganalisis situasi secara cermat sehingga dapat menemukan ide cerdas.

Pelajaran yang dapat dipetik; secuil pikiran rasional dapat menyelamatkan kita. Selama berpikir rasional, PFC bekerja secara khusus untuk mencari jawaban kreatif, untuk menciptakan gagasan kilat yang membimbing manusia kepada keputusan yang tepat.

Ringkasnya, orang-orang percaya bahwa keputusan yang diambil dengan pertimbangan rasional niscaya lebih baik ketimbang keputusan impulsif. Don't judge a book by its cover.

Plato meyakinkan kita bahwa dunia yang sepenuhnya rasional adalah dunia yang sempurna, sebuah Shangri-la (syurga imajiner) yang diatur oleh persamaan-persamaan statistik dan bukti-bukti empiris. Dia tau bahwa otak rasional tidak dapat menyelesaikan semua masalah. Atau dengan kata lain PFC mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang serius.

Neurosains dan Masa Depan Dunia Penerbangan

Pada abad ini kemajuan teknik pencitraan otak telah merevolusi pemahaman kita mengenal otak. Kita menjadi mengetahui lebih banyak mengenai struktur dan fungsi otak manusia di balik pengolahan panca indra, pikiran, dan gerakan tubuh.

Sebuah disiplin hibrid neuroergonomik baru, menggabungkan ilmu neurosains, teknik kognitif dan faktor manusia, akhirnya telah muncul. Hal itu untuk menguji interaksi manusia-teknologi secara jelas apa yang sekarang diketahui tentang otak manusia.

Neuroergonomics berlaku untuk penerbangan di berbagai bidang mulai dari kontrol motorik, perhatian, pembelajaran, kewaspadaan, kelelahan, beban kerja, pengambilan keputusan, kesadaran situasional dan kecemasan.

Kinerja manusia dan kesalahan manusia secara tradisional telah diteliti secara empiris, dengan peneliti menarik kesimpulan berdasarkan apa yang dikatakan atau dilakukan orang.

Metode-metode tersebut telah bekerja dengan cukup baik untuk memberikan kemajuan yang signifikan di beberapa area (pengembangan manajemen sumber daya lara awak pesawat, misalnya). Tetapi kesempatan untuk melihat dan mencatat apa yang dipikirkan orang adalah langkah perubahan dari metode ini. Psikolog abad ke duapuluh (dan pada tingkat lebih rendah, psikiater) menganggap pikiran sebagai kotak hitam, bukan dalam arti penerbangan sebagai alat perekam, tetapi sebagai objek misterius yang innernya tidak dapat diketahui.

"Kami tahu banyak tentang perilaku, dan teknik canggih untuk memvisualisasikan otak ini mengkonfirmasikan apa yang kami ketahui secara perilaku," spesialis faktor manusia, Profesor Ann Williamson dari University of NSW School of Aviation mengatakan. 'Dengan putus asa, banyak dari pengetahuan empiris ini telah diketahui, tetapi tidak ditindaklanjuti'.

Ahli saraf Frederick Dehais dan Daniel Callan mengatakan ilmu neurosains kognitif telah "membuka" kotak hitam "dan menjelaskan mekanisme saraf yang mendasari yang mendukung perilaku manusia".

Dehais dan Callan mengusulkan manifesto yang berani untuk neuroergonomics: untuk menggabungkan penelitian dunia nyata dari faktor manusia dengan akurasi dan ketelitian ilmu laboratorium. Ini menjadi mungkin karena alat untuk melihat otak menjadi lebih kecil dan lebih tajam.

Pikiran terbentang: teknik pencitraan otak

"Kami memiliki dasar-dasar kotor sejak tahun 1970-an," kata profesor asosiasi ilmuwan kognitif Universitas Tom Carlson. 'Tetapi pengetahuan kita terbatas pada kontras dasar: apakah area otak ini aktif atau tidak aktif? Sekarang kita bisa mendapatkan detail yang lebih rinci tentang apa yang mungkin diwakili oleh area otak tertentu --- objek, tempat, atau navigasi? "

Aktivitas otak dapat diukur secara tidak langsung, melalui Functional Near-Infrared Spectroscopy (fNIRS) atau Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) dan langsung oleh Electroencephalography (EEG) dan Magnetoencephalography (MEG).

fNIRS adalah teknik pemantauan otak optik non-invasif yang mengukur aliran dan oksigenasi darah melalui otak. Hal ini secara spasial cukup akurat tetapi memiliki resolusi temporal yang rendah; kelambatan waktu berarti tidak dapat mendeteksi perubahan cepat atau sementara dalam aktivitas otak.

Pencitraan resonansi magnetik fungsional juga secara tidak langsung mengukur aktivitas otak dengan melihat perubahan tingkat oksigenasi darah. Hal tersebut memiliki resolusi spasial yang sangat baik dari aktivitas otak tetapi seperti fNIRS, ia memiliki resolusi temporal lambat beberapa detik, dibatasi oleh kecepatan perubahan darah di otak.

Eroefenceografi (EEG) mengukur fluktuasi tegangan yang dihasilkan dari arus ionik dalam neuron otak yang menggunakan elektroda yang menempel pada kulit kepala. Teknik yang digunakan sejak tahun 1920-an, memiliki resolusi temporal yang sangat baik tetapi ketepatan spasial yang buruk.

Magnetoencephalography (MEG) secara langsung mengukur medan magnet yang dihasilkan oleh kelompok besar neuron yang berorientasi sama. Resolusi temporalnya cepat (sekitar 1 milidetik). Karena kulit, tulang dan cairan tulang belakang otak secara efektif transparan ke medan magnet, MEG dapat lebih akurat secara spasial daripada Electroencephalography (EEG). Resolusi spasial yang lebih rendah dari 1 cm dapat dicapai.

fMRI dan MEG adalah teknik pemindaian otak yang paling akurat tetapi memiliki kekurangan membutuhkan fasilitas yang besar, mahal dan tetap, termasuk ruang yang terlindung. Subyek juga harus menjaga kepala mereka tetap.

Namun, para peneliti telah menggabungkan metode pencitraan otak ini dengan penerbangan realistis dan simulasi mengemudi untuk menyelidiki aktivitas neuron yang terlibat dengan terbang atau mengemudi.

MEG, setidaknya, dapat menjadi lebih mudah di masa depan. Richard Bowtell dari Universitas Nottingham dan rekan-rekannya telah merancang perangkat MEG portabel yang dipakai seperti helm, memungkinkan orang untuk bergerak bebas selama pemindaian.

Ilmuwan otak mendapatkan batasan teknik masing-masing dengan menggunakannya dalam kombinasi.

Peneliti Perancis Dehais menjelaskan menggunakan kombinasi eksperimen, terkadang menggabungkan protokol yang dikontrol dengan baik dalam perangkat resolusi tinggi seperti fMRI dan MEG, dengan simulator personal computer berbasis kesetiaan yang rendah.

Dia juga menjelaskan menggunakan simulator penerbangan berbasis-kesetiaan tinggi dalam kombinasi dengan perangkat perekam otak resolusi rendah namun portabel seperti fNIRS dan EEG, dan akhirnya melakukan eksperimen dalam kondisi penerbangan nyata menggunakan perangkat portabel yang sama.

Otak Pilot

Di antara wawasan neurosains adalah bahwa otak pilot secara halus berbeda dari populasi umum. Ini mereka memiliki kesamaan dengan musisi, yang memiliki perbedaan volume materi abu-abu di motorik, pendengaran dan daerah spasial visual dan bersama dengan sopir taksi London, yang mengembangkan hippocampus diperbesar setelah bertahun-tahun dihabiskan mempelajari lebih dari 300 rute yang diperlukan untuk Pengetahuan tentang ujian London.

Callan dan rekannya menjalankan eksperimen fMRI pada tahun 2013, melihat eksekusi dan observasi pendaratan pesawat. Mereka menemukan bahwa pilot menunjukkan aktivitas yang lebih besar daripada non-pilot di daerah otak yang terlibat dengan pemikiran simulasi motor menjadi penting untuk pembelajaran berbasis imitasi.

Pada tahun 2014, Ahamed, Kawanabe, Ishii & Callan menemukan pilot glider dibandingkan dengan non-pilot menunjukkan kepadatan materi abu-abu yang lebih tinggi di ventral premotor cortex yang dianggap sebagai bagian dari 'Mirror Neuron System'.

Menariknya, pilot juga menunjukkan aktivitas otak yang lebih besar saat mengamati kinerja pendaratan pesawat sebelumnya dibandingkan dengan kinerja pendaratan pesawat orang lain.

Catatan tambahannya untuk industri penerbangan Indonesia yang sedikitnya terpengaruh oleh dampak virus corona dan berpotensi akan menurunkan lalu lintas penerbangan serta pendapatan maskapainya. Pada saat ekonomi airline tertekan, harus ada perhatian khusus kepada pilot dan keselamatan penerbangan. Jangan sampai tragedi kecelakaan pesawat terulang kembali.

Penulis juga pernah mendiskusikan oleh salah satu dirut perusahaan maskapai pernebangan lokal tentang perlunya membekali pilot ilmu neurosains. Dalam percakapan kami di ruang kerjanya juga dihadiri oleh salah satu pilot senior kita, beliau setuju neurosains diperlukan oleh terutama para pilot junior untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Walau pesawat telah dilengkapi dengan teknologi canggih, proses pengambilan keputusan pilot menjadi prioritas yang sangat penting dan diperlukan terutama pada saat-saat genting atau kritis hingga dapat mencegah terjadi kecelakaan jatuhnya pesawat yang dapat mendatangkan korban.

Hasil Penelitian

Alarm apa? Ketulian di luar perhatian. Neurosains mengkonfirmasi aspek perilaku pilot yang sebelumnya telah disimpulkan dari pengalaman, atau, kadang-kadang laporan kecelakaan. Salah satu hasil dari kekhawatiran adalah bahwa di bawah tekanan pilot benar-benar tidak mendengar alarm kokpit.

Pada tahun 2017, Dehais, Callan dan rekannya mengirim pilot melalui simulasi lomba pylon gaya Red Bull ketika mereka sedang dipantau dalam sistem fMRI. Peringatan Aural terdengar pada interval selama perlombaan. Hasilnya mengungkapkan bahwa pilot melewatkan sekitar 35 persen alarm, tetapi yang lebih menarik, analisis fMRI mengungkapkan bahwa auditory misses relative terhadap pendengaran yang menghasilkan aktivasi diferensial yang lebih besar dalam beberapa struktur otak yang terlibat dengan bottleneck atensi.

'Daerah-daerah terakhir ini juga sangat aktif ketika kinerja terbang rendah,' Dehais dan Callan menulis, 'menunjukkan bahwa ketika permintaan tugas utama adalah berlebihan, hambatan perhatian ini melemahkan pemrosesan tugas-tugas non-primer untuk mendukung pelaksanaan tugas uji coba visual. Hasil terakhir ini menunjukkan bahwa korteks pendengaran dapat secara harfiah dimatikan oleh mekanisme top-down ketika tugas terbang menjadi terlalu menuntut.'

Percobaan 2016 oleh Dehais dan rekan menempatkan tujuh peserta dalam simulator penerbangan gerak menghadapi situasi pendaratan kritis dengan asap di kabin yang membutuhkan pendaratan darurat malam dalam kondisi meteorologi yang merugikan. Pilot juga harus mengabaikan nada bernada rendah tetapi melaporkan alarm bernada tinggi. Sebelum percobaan, para relawan disaring untuk menentukan apakah mereka adalah orang 'visual' atau 'pendengaran'. Pilot kehilangan 56 persen dari alarm pendengaran. Menariknya, pilot yang disaring sebagai 'dominan visual' lebih cenderung mengabaikan dan melewatkan alarm.

Para peneliti juga menemukan bahwa alarm yang hilang terjadi setelah 100 milidetik, jauh sebelum munculnya kesadaran (300 milidetik). Secara bersama-sama, hasil menarik untuk mendukung mekanisme visual awal dan otomatis untuk mekanisme pendengaran yang secara harfiah menutup pendengaran mereka.

Callan dan Dehais (2018) melakukan percobaan ketiga dalam kondisi penerbangan yang sebenarnya untuk meningkatkan pemahaman mekanisme saraf yang mendasari kesalahan persepsi alarm.

Pilot VFR menerbangkan pesawat ringan sambil terhubung ke sistem EEG. Dalam penerbangan, mereka harus menghadapi tugas terbang yang menuntut sambil menanggapi alarm pendengaran. Temuan ini konsisten dengan penelitian fMRI; hambatan perhatian diaktifkan dan menyebabkan desynchronisation dari korteks pendengaran, mencegah pemrosesan akurat dari alarm.

Callan mengatakan, 'Rangkaian percobaan ini merupakan gambaran khas dari pendekatan neuroergonomics; dari eksperimen dasar yang dilakukan dengan alat pengukuran definisi tinggi di laboratorium, hingga pengukuran kognisi dalam pengaturan yang realistis. "

Pesawat Terbang yang Membaca Pikiran Pilot

Dalam novel bubur kertas dan kemudian fitur film Firefox, sebuah pesawat super fiktif Soviet dikendalikan oleh pemikiran pilot (yang dalam versi filmnya dikirimi telegraf oleh ekspresi wajah orang-orang yang tangguh dari Clint Eastwood). Di dunia nyata, mengubah pikiran menjadi tindakan adalah tugas yang sulit, meskipun banyak penelitian di bidang prostetik dan permainan komputer. "Pada sisi komersial, sering terjadi oversold," kata Carlson. "Mereka menunjukkan kepada Anda jendela yang sangat kecil dalam demonstrasi tetapi itu kurang berhasil dalam penggunaan dunia nyata."

Eksperimen 2016 menyelidiki cara berbeda untuk memanfaatkan impuls pilot. Callan, Terzibas, Cassel, Sato dan Parasuraman menggunakan fRMI dan MEG untuk merekam aktivitas otak selama tugas simulasi penerbangan. Tahap pertama dari percobaan melibatkan mendeteksi sinyal otak yang terkait dengan niat pilot untuk memindahkan tongkat kontrol. Pada paruh kedua percobaan, pilot menerbangkan jalur memutar melalui Grand Canyon. Ketika MEG mendeteksi sinyal tongkat bergerak (untuk defleksi elevator) di otak pilot, itu memulai gerakan itu sendiri.

'Tujuannya adalah untuk mengembangkan sistem yang meningkatkan kinerja ke tingkat manusia super selama operasi tangan normal dari sebuah pesawat terbang (kendaraan) dengan mengurangi waktu respon dengan langsung mengekstraksi dari otak niat gerakan dalam menanggapi peristiwa berbahaya,' para ilmuwan menulis dalam laporan mereka. Simulasi menemukan deteksi mesin niat pilot mengurangi kecepatan respon kontrol dari rata-rata 425,0 milidetik menjadi 352,7 milidetik, penghematan waktu rata-rata 72 milidetik, tanpa tambahan stres atau beban kerja pada pilot. Para penulis berpikir bahwa 'akan menarik untuk menentukan apakah pilot melihat keterlibatan otomatisasi neuroadaptif atau hanya merasa bahwa mereka benar-benar cepat bereaksi.'

Mengenal dek penerbangan neuroadaptif

Dehais dan Callan menyarankan kemungkinan untuk mengembangkan deck penerbangan neuroadaptive untuk mengurangi beban kerja pada pilot dan membantu mereka memproses informasi penting.

Sebuah pesawat yang dapat mendeteksi ketika pilotnya kelebihan beban atau terganggu dapat mengambil tindakan untuk mendapatkan kembali perhatian mereka, misalnya. "Telah ditunjukkan bahwa mematikan layar untuk waktu yang sangat singkat adalah cara yang efektif untuk mengurangi tunneling attentional," mereka menulis.

Mereka juga mengusulkan 'otomatisasi adaptif' yang secara otomatis membagi tugas antara manusia dan otomasi untuk mempertahankan beban tugas yang konstan, dapat diterima dan menstimulasi pilot.

Daftar kecelakaan pesawat Indonesia :

  • Garuda Indonesia - 16 Februari 1967
  • Garuda Indonesia - 24 September 1975
  • Garuda Indonesia - 4 April 1987
  • Mandala Airlines - 24 Juli 1992
  • Merpati Nusantara Airlines - 18 Oktober 1992
  • Merpati Nusantara Airlines - 10 Januari 1995
  • Garuda Indonesia - 26 September 1997
  • SilkAir - 19 Desember 1997
  • Merpati Nusantara Airlines - 20 April 1997
  • Garuda Indonesia - 16 Januari 2002
  • Lion Air - 30 November 2004
  • Mandala Airlines - 5 September 2005
  • Adam Air - 1 januari 2007
  • Garuda Indonesia - 7 Maret 2007
  • Sriwijaya Air - 27 Agustus 2008
  • Mimika Air - 17 April 2009
  • Hercules C-130H - 20 Mei 2009
  • Merpati Nusantara Airlines - 2 Agustus 2009
  • Merpati Nusantara Airlines - 13 April 2010
  • Merpati Nusantara Airlines - 7 Mei 2011
  • Nusantara Buana Air - 29 September 2011
  • Sukhoi Superjet 100 - 9 Mei 2012
  • Lion Air - 13 April 2013
  • Merpati Nusantara Airlines - 10 Juni 2013
  • AirAsia - 28 Desember 2014
  • Hercules C-130 - 30 Juni 2015
  • M-28 Skytruk - 3 Desember 2016
  • Hercules C-130HS - 18 Desember 2016
  • Wings Air - 26 Februari 2017
  • Wings Air dan Lion Air - 3 Agustus 2017
  • Batik Air - 13 Maret 2018
  • Lion Air - 29 April 2018
  • Martha Buana Abadi - 12 Agustus 2018
  • Jhonlin Air - 10 Oktober 2018
  • Wings Air - 21 Oktober 2018
  • Lion Air - 29 Oktober 2018

(BIS)

Sumber Literatur: 1) Neuroscience of Decision Making by Oshin Vartanian and David R. Mandel, 2) How We Decide by Jonah Lehrer, 3) flightsafetyaustralia.com, 4) Artificial Intelligence, AI and Aerospace, 5) cnbc.com, kaskus.co.id, inews.id, tekno.kompas.com, cnbcindonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun