Mohon tunggu...
Baldus Sae
Baldus Sae Mohon Tunggu... Penulis - Dekonstruktionis Jalang

Pemuda kampung. Tutor FIlsafat di Superprof. Jurnalis dan Blogger. Eks Field Education Consultant Ruangguru. Alumnus Filsafat Unwira. Bisa dihubungi via E-mail baldussae94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia, Bukan Rumah Kita Bersama

16 September 2017   22:05 Diperbarui: 16 September 2017   22:24 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Catatan untuk Pejabat Publik yang Tersandera KKN*)

Pengantar 

Sejarah perjuangan kemerdekaaan Indonesia mencatat bahwa cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama merupakan intensi dasar. Rumah bersama yang diimpikan itu mestinya harus bebas dari penindasan para penjajah. Kesadaran kolektif sebagai 'yang sama-sama terjajah', menyulutkobarkan semangat para pahlawan mengusir para penjajah dari bumi pertiwi. Di sini, bukan parsialitas kepentingan yang menjadi rujukan perjuangan melainkan kepentingan kolektif. Kepentingan bersama seluruh warga bangsa.

Tulisan sederhana ini mencoba memberikan secuil catatan refleksif kepada para pejabat public yang berusaha 'mengkapling' Indonesia menjadi rumah pribadi. Pasalnya, Indonesia dengan segala kekayaan dan potensi alamnya telah dikuras secara sepihak demi kepentingan parsial. Dengannya cita-cita awal para bapa pendiri bangsa dikhianati. Indonesia kini tak lagi menjadi rumah bersama seluruh rakyat. Seakan hanya milik para pejabat public. Hal ini menyata dalam malapraktek politik bertendensi KKN.

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)

Praktek Korupsi, kolusi dan nepotisme bukan hal baru dan asing di Indonesia. lingkaran setan praktek KKN pejabat public seakan melegitimasi eksistnensi KKN sebagai bagian dari kultur kehidupan negeri ini. Fenomena miris ini sudah sedemikian otomatis, sistematis, banal dan massif terjadi. Tentang korupsi sendiri, Presiden Joko Widodo dalam akun facebook-nya menulis demikian "Perlu saya ingatkan kepada semuanya, ya bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu harus kita berantas. Harus kita lawan yang namanya korupsi".

Korupsi dalam wacana politik terjadi ketika kekuasaan public (politik) disalahgunakan untuk kepentingan sectarian pejabat public. Sementara kolusi sebagaimana terdefinisi dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 adalah permufakatan melawan hukum antar penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara. Sementara nepotisme politik secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian perlakuan istimewa kepada keluarga sendiri dalam posisi  kekuasaan politik tertentu. 

Diferensiasi definisi Korupsi, kolusi dan nepotisme memang jelas. Namun demikian ketiganya sama-sama memiliki satu titik temu, destruksi. Sama-sama menghancurkan tatanan hidup bersama. Korbannya adalah rakyat. Ironisnya, praktek KKN di negeri ini sudah sedemikian sistematis dan massif terjadi. Dalam pengalaman Indonesia, sejak zaman Orde Baru, praktek KKN melibatkan perkawinan antara elit kekuatan politik dan para pengusaha sebagai representan kekuatan pasar. Jaringannya begitu kuat sehingga akan bertahan lama dalam jangka waktu yang panjang dan mampu mereplikasi dirinya.

Bukan untuk bernostalgia, mari kita sejenak melawan lupa terkait kerusuhan Mei 1998. Kasus Trisakti dan kerusuhan Mei 1998 adalah catatan suram perjalanan bangsa Indonesia. sebagai bagian dari gerakan reformasi, situasi kelam saat itu dilatarbelakangi oleh pelbagai factor terkait KKN.  factor politik; Hasil Pemilu 1997 dimenangkan Partai Golkar. Hal ini berarti bahwa Soeharto akan kembali meduduki takhta kepresidenan RI lagi dalam sidang MPR 1998. Soeharto lantas membentuk Kabinet Pembangunan VII yang sarat kolusi dan nepotisme.

Sejak dua tahun sebelumnya, krisis moneter melanda Negara-negara Asia Tenggara. Ekonomi Indonesia ternyata tidak mampu menghadapi krisis moneter ini. Akibatnya utang luar negeri meningkat drastis. Perekonomian rakyat merayap alias stagnan. Sementara pada ranah hukum, kekuasaan peradilan dilaksanakan untuk melayani kepentingan penguasa dan bahkan dijadikan alat pembenaran oleh penguasa. Hukum direkayasa serta sarat intervensi pihak pemerintah. Lagi-lagi rakyat yang menderita.

Kerusuhan Mei 1998 sebagai bagian dari krisis politik Indonesia merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik pemerintah Orde Baru yang selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Yang sebenarnya terjadi dan dikehendaki adalah mempertahankan kekuasaan Soeharto beserta kroni-kroninya. George Aditjondro dalam penelitiannya tentang korupsi Keprsidenan di masa Orde baru menggambarkan luasnya dampak korupsi (kolusi dan nepotisme juga tentunya) yang dilakukan terhadap ekonomi, Negara dan masyarakat Indonesia. Dampak ekonomi dirasakan mulai dengan penimbunan kekayaan yang tidak terkendali yang melibatkan tiga generasi keluarga Soeharto, paling tidak dengan tiga keluarga besannya dan keluarga kawan dekatnya.

Hal ini tentu menimbulkan keresahan pada rakyat. Terbukti, mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia menggelar demonstrasi, menuntut penurunan harga sembako, menghapus KKN dan menuntut lengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan RI. Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Trisakti terjadi bentrokan. Empat diantaranya mati tertembak, puluhan lainnya luka-luka bahkan diculik. Berlanjut ke 13-14 Mei, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal. Banyak toko dijarah lalu dibakar. Ratusan orang mati terbakar.

Penutup : Indonesia Bukan Rumah Kita Bersama

Hemat saya, hal ini tidak bisa terlepas dari paradigm politik pejabat publik Indonesia. Para pejabat publik masih melihat arena politik sebagai gelanggang perang kawan versus lawan. Praktek ini membenarkan tesis Carl Scmidt bahwa landasan semua politik adalah pemisahan tegas antara teman dan musuh politik. Politik menjadi mungkin karena kehadiran sosok musuh. Kehilangan sosok musuh menjadi lonceng kematian politik. Hubungan ontology teman -- musuh menjadi esensi substansial politik.

Praktek KKN oleh pejabat publik jelas mengadopsi pandangan Schmidt ini. Keluarga dan kroni-kroni diidentifikasi sebagai kawan sementara rakyat banyak adalah reprsentan musuh politik. Sehingga dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan, kepentingan rakyat tidak terakomodir. Rujukan perjuangan dan kinerja pejabat public berkiblat selalu pada kepentingan kelompok dan golongan. Dengannya dalam arti tegas dapat dikatakan Indonesia bukan lagi menjadi rumah bersama.

Rumah Indonesia yang adalah milik seluruh rakyat sebagaimana dicita-citakan bersama kini tinggal kenangan. Pemiliknya bukan lagi rakyat yang memiliki kedaulatan penuh atas Negara tetapi milik segelintir pejabat publik. Bonum commune sebagai esensi substansial politik dikerangkeng. Dinasti politik ada di seantero Nusantara. Korupsi berjamaah itu biasa. Ya, itulah cerita Indonesia kita saat ini. Kita yang hanya rakyat bisa apa?

*Tulisan ini merupakan refleksi kecil atas sikap pro hukuman mati bagi terpidana KKN dalam debat panel di Seminari Tinggi St. Mikhael pada tanggal 12 September 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun